Wali Bromocorah
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Djoko Suud

Wali Bromocorah

Jumat, 07 Agu 2015 10:24 WIB
Djoko Suud Sukahar
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Wali Bromocorah
Foto: Djoko Suud Sukahar
Jakarta - Pilkada bakal digelar serentak. Siapa saja boleh daftar, termasuk bromocorah. Mantan rampok, begal, dan koruptor dipersilakan ikut. Inilah dagelan paling lucu di tengah wacana koruptor bakal dijatuhi hukuman mati, dan mayatnya tidak boleh disembahyangkan. Selamat datang Wali Bromocorah!
Β 
Hari-hari ini di beberapa daerah sudah punya calon pemimpin. Datang dari berbagai profesi. Ada sipil dan militer. Ada mantan narapidana dan calon napi. Tapi karena incumbent yang paling berpeluang, maka hari pendaftaran yang harusnya sudah tutup, kini diperpanjang. Itu karena calon tunggal belum diatur undang-undang.
Β 
Memang masih banyak daerah yang cuma punya calon tunggal. Malah ada yang belum punya calon sama sekali di satu daerah di Papua. Mereka merasa kalah sebelum bertanding. Dan berhitung untung-rugi, jika kalah atau menang nanti. Sebab transaksional kini makin diketati. Dan penggunaan uang daerah tidak selonggar dulu lagi.
Β 
Di tengah riuh daftar menjadi bupati dan walikota itu, juga sedang berlangsung muktamar dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Satu di Jombang, Jawa Timur, satu lagi di Makassar, Sulawesi. Satu riuh dalam sidang-sidangnya, satu terkesan teduh.
Β 
Namun di antara dinamisme itu, satu yang sama di dua ormas ini dalam menyikapi tema yang diusung soal koruptor. Keduanya sama menyetujuiΒ  koruptor dihukum mati. Malah ada yang menambahi mayatnya tidak boleh disembahyangkan. Mungkin nanti ditambahi lagi 'tidak boleh dikuburkan'. Dan jasadnya dibiarkan di alam terbuka untuk jadi santapan burung gagak.
Β 
Wacana ini patut diapresiasi. Itu karena sudah tak terbilang 'orang penting dan cerdas' masuk bui. Ada koruptor dan bandar sabu. Malah jika kita mengikuti kabar yang menyebar, 'kreatifitas' sekarang yang menonjol justru berasal dari balik terali besi. Lihat, di dalam bui mereka bisa tetap jadi bandar. Juga simak di penjara Sukamiskin, Bandung, yang bisa kuliah untuk meraih gelar doktor atau mungkin profesor, jika tidak segera dilarang.
Β 
Namun yang mengherankan itu Mahkamah Konstitusi (MK). Di pertengahan bulan puasa kemarin, institusi ini mengeluarkan keputusan penting. Mantan koruptor, mantan begal, mantan rampok, sah untuk maju sebagai peserta pilkada. Kemanusiaan yang adil memang begitu, tapi ini adakah beradab?
Β 
Sari hukum (manusia) rasanya kok tidak begitu. Tidak ada permisifitas terhadap yang sudah melanggar hukum. Bagi pelanggar, tentu ada ruang-ruang tertentu yang tidak diperkenankan dimasuki. Itu konsekuensi logis dari ulah yang telah dilakukan. Ngunduh wohing pakarti. Memanen yang ditanam. Apalagi koruptor yang akan nyalon sebagai kepala daerah.
Β 
Jika ketentuan pilkada serentak tahun ini berjalan mulus dan ada 'wali lewat', maka tidak hanya akan hadir bupati baru dan walikota baru, tetapi juga 'wali bromocorah'. Tetuah 'yang dipercaya dan dianggap paling baik' dari rakyat sebuah daerah yang berasal dari bromocorah. Β 
Dengan kata lain, jika pemimpin yang mereka pilih itu bromocorah, maka rakyat yang dipimpin, logikanya, tentu bromocorah kacangan. Bisa digeneralisasi sebagai mantan-mantan penjahat kelas 'ecek-ecek'. Bisa copet, pengutil, atau tukang gendam?Β  Β 
Β 
Memang belum ada jaminan 'orang baik' memimpin wilayah akan menjadi baik. Juga tidak menutup kemungkin bromocorah sukses memimpin daerah. Sebab orang bertabiat jelek menjadi baik juga banyak. Bahkan Australia yang dulu tempat buangan para penjahat itu sekarang toh menjadi negara baik. Tapi apa benar harus begitu, di tengah kader bangsa yang baik masih membeludak?
Β 
Maka kadang terpikir, adakahΒ  majelis hakim MK sebelum memutus itu, telah mendalami perjalanan Sunan Kalijaga? Putra Bupati Tuban itu menjadi begal dan rampok sebelum bertemu Sunan Bonang. Dia mengarungi hidup kelam di belantara kejahatan. Akhirnya beliau mendapat pencerahan, menjadi aulia yang kesohor di Tanah Jawa.
Β 
Juga mungkin teringat kisah Maling Cluring yang sakti mandraguna. Mencuri harta orag kaya, dan seperti Sunan Kalijaga, membagikan hasil curiannya itu untuk rakyat jelata. Tapi koruptor? Adakah yang diteteskan untuk rakyat? Adakah koruptor itu menguras harta negara (rakyat) untuk dibagi-bagikan pada rakyat yag paling papa?
Β 
Ya, walikota atau bupati harusnya berasal dari orang yang track-recordnya baik. Dia wali, wakil, aulia, yang berarti 'kekasih Allah'. Sebelum memerintah, ketika memerintah, dan setelah memerintah harusnya mereka tetap menjadi orang yang baik. Sebab jika tidak baik, maka dia bukanlah aulia. Β 
Β 
Di tengah wacana aneh-aneh menjelang pilkada serempak di tahun ini, bisa jadi akan ada usulan baru untuk calon bupati dan walikota mendatang, yaitu sertifikasi halal untuk mereka yang bakal maju. Tanda ke arah sana sudah ada. MKΒ  'mengambil' keputusan itu berdasar permisifitas 'hukum langit'. Orang sudah melanggar hukum, dibolehkan kembali mendaftar jadi pemimpin rakyat yang belum pernah melanggar hukum.
Β 
Tapi kemungkinan itu juga masih patut dipertanyakan. Jangan-jangan kejadiannya kayak BPJS yang semula diharamkan, tiba-tiba berubah dihalalkan. Memang masih ruwet dan mumet memikirkan aturan di negeri ini. Mudah-mudahan itu tidak lama lagi jadi lurus dan terang benderang. Tapi akankah?
Β 
*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya, tinggal di Jakarta.
Halaman 2 dari 1
(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads