Remisi untuk Koruptor
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Remisi untuk Koruptor

Minggu, 19 Jul 2015 13:46 WIB
Emerson Yuntho,
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Remisi untuk Koruptor
Foto: Rachman Haryanto
Jakarta - Setiap menjelang hari raya keagamaan –termasuk Hari Raya Idul Fitri-  akan muncul pertanyaan yang seragam dari wartawan kepada pejabat di Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), apakah narapidana perkara korupsi atau koruptor mendapat remisi?

Pemberian remisi atau pemotongan masa hukuman untuk koruptor selalu saja menarik diberitakan dan dipastikan menimbulkan kontroversi.  Pada hari raya Idul Fitri tahun 2015 ini, pihak Kementerian Hukum dan HAM menyatakan tetap memberikan remisi untuk koruptor.

Sejumlah media memberitakan terdapat 54.434 narapidana termasuk 2.000 terpidana korupsi yang menerima remisi Lebaran dari Kementerian Hukum dan HAM. Narapidana korupsi yang dikabarkan menerima remisi diantaranya M. Nazaruddin, terpidana korupsi proyek Wisma Atlet dan Gayus Tambunan, terpidana skandal mafia pajak. Beberapa nama terpidana korupsi lain juga disebut menerima remisi meskipun akhirnya diralat dan dikatakan masih diusulkan. Muncul juga nama terpidana korupsi seperti Anas Urbaningrum dan Andi Malaranggeng yang diberitakan ditolak remisinya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Adanya pemberian remisi menjadikan masa hukuman untuk koruptor akan mengalami pengurangan atau pemotongan dari yang semestinya harus dijalani. Namun berbeda dengan pelaku perkara pidana lainnya, pemberian remisi khusus narapidana korupsi selalu menimbulkan pro dan kontra sejumlah kalangan.  

Mereka yang mendukung menyatakan bahwa semua narapidana termasuk koruptor berhak mendapatkan remisi. Sedangkan pihak yang menolak menyatakan bahwa koruptor tidak perlu mendapat remisi karena tindakannya telah membuat rakyat sengsara.

Sesungguhnya remisi merupakan hak bagi narapidana. Hal tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1995 tetang Pemasyarakatan. Namun demikian dalam regulasi tersebut memberikan ketentuan bahwa prosedur pemberian remisi dan pembebasan bersyarat diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Khusus untuk aturan remisi dan pembebasan bersyarat untuk koruptor, saat ini setidaknya ada 2 (dua) regulasi yang mengaturnya. Pertama, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga binaan Pemasyarakatan.

Kedua, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Mengapa ada dua? hal ini akibat adanya Surat Edaran Menkumham yang dikeluarkan pada 12 Juli 2013. Dalam Surat Edaran disebutkan, PP 99 Tahun 2012 diberlakukan bagi terpidana korupsi, narkotika, kejahatan transnasional, terorisme, dan kejahatan HAM yang putusan pidananya telah berkekuatan hukum tetap setelah tanggal pengesahan PP 99/ 2012, yaitu 12 November 2012. Sedangkan terpidana yang divonis sebelum 12 November 2012 maka yang berlaku adalah ketentuan dalam PP 28 Tahun 2006.

Apa bedanya? Ketentuan dalam PP 99 Tahun 2012 lebih ketat daripada PP 28 Tahun 2006. Jika dalam PP 28 tahun 2006, syarat mendapatkan remisi cukup mudah yaitu berkelakukan baik dan telah menjalani 1/3 ( satu per tiga) masa pidana. 

Sedangkan PP 99 Tahun 2012 lebih memperketat pemberian remisi yaitu selain berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana, terpidana harus penuhi syarat antara lain bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya (justice collaborator); dan telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.

Pengetatan pemberian remisi untuk koruptor seharusnya tetap dipertahankan sebagai suatu cara luar biasa memperlakukan koruptor yang telah merugikan negara. Sebelum  ketentuan remisi diperketat, negara ini terkesan begitu luar biasa memperlakukan koruptor secara istimewa.

Salah satu contoh remisi kontroversial yang diberikan oleh pihak Kementrian Hukum dan HAM adalah untuk Anggodo Widjojo, terpidana perkara korupsi yang kasusnya ditangani oleh KPK. Anggodo pada tahun 2010 lalu divonis 10 tahun penjara oleh Mahkamah Agung.  Hingga tahun 2014, pihak KPK menyebut Anggodo menerima remisi sebanyak 29 bulan atau 2 tahun 5 bulan. Versi Kementrian, menyebutkan Anggodo menerima remisi 24 bulan.

Tradisi buruk pemerintah memberikan remisi untuk koruptor, nampaknya akan terus berlanjut di era Pemerintahan Jokowi. Kemungkinan ini muncul setelah Menteri Hukum dan HAM RI, Yasona Laoly menyatakan berupaya merevisi ketentuan PP 99 Tahun 2012 yang mengetatkan pemberian remisi kepada koruptor.  

Jika rencana untuk melonggarkan syarat pemberian remisi untuk koruptor direalisasikan maka dapat dikatakan sebagai langkah mundur pemerintah dalam upaya memerangi praktek korupsi. Rencana ini juga akan berbeda dengan pidato yang pernah disampaikan Jokowi saat kampanye calon Presiden maupun dalam program Nawa Cita yang menjadi pedoman pemerintahan Jokowi.

Dalam salah satu program Nawa Cita Jokowi secara tegas menyebutkan "Kami berkomitmen untuk membangun politik legislasi yang jelas, terbuka dan berpihak pada pemberantasan korupsi, penegakan HAM, perlindungan lingkungan hidup dan reformasi penegak hukum".  Dengan ketentuan diatas setidaknya dapat diartikan bahwa proses penyusunan perundang-undangan (termasuk dalam revisi aturan soal remisi) selain terbuka juga harus berpihak kepada upaya pemberantasan korupsi.

Pada sisi lain pelonggaran pemberian remisi untuk koruptor berpotensi membuka peluang terjadinya korupsi untuk mendapatkan remisi. Pelonggaran pemberian remisi berpotensi menghapus sejumlah syarat pemberian remisi yang dinilai ketat sebagaimana diatur dalam PP 99 Tahun 2012 seperti bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya (justice collaborator) dan telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.

Dengan demikian maka dimasa mendatang syarat mendapat remisi cukup hanya "berkelakukan baik". Padahal makna "berkelakuan baik" ukurannya masih layak diperdebatkan dan berpotensi terjadi penyimpangan. Penafsirannya bahkan dapat menjadi negatif seperti untuk mendapatkan remisi, seorang koruptor cukup "memperlakukan secara baik" kepada kepala penjara atau  pejabat dilingkungan Kementrian Hukum dan HAM.

Obral pemberian remisi untuk koruptor juga berpotensi melemahkan upaya penindakan KPK maupun lembaga penegak hukum lainnya. Pada saat KPK, Kejaksaan, Kepolisian memproses pelaku korupsi hingga ke pengadilan, dan hakim menghukum pelaku, justru  yang terjadi Menteri Hukum dan HAM terkesan berjuang agar koruptor segera dibebaskan dari penjara ataupun mengurangi hukumannya.

Dari sekian banyak institusi, KPK adalah pihak yang seringkali dirugikan oleh kebijakan yang dinilai tidak pro pemberantasan korupsi ini. Data ICW pada era Pemerintahan SBY 2004- 2014 saja sedikitnya 35 terpidana korupsi yang kasusnya ditangani oleh KPK -mendapatkan remisi dan akhirnya cepat keluar dari waktu yang ditentukan oleh pengadilan.

Pemberian remisi untuk koruptor juga berdampak pada berkurangnya upaya penjeraan terhadap pelaku. Dalam pantuan ICW terhadap perkara korupsi yang divonis di pengadilan selama 2013-2014 , hukuman untuk koruptor rata-rata hanya 2 tahun 9 bulan penjara. Hukuman diatas 10 tahun penjara sangat minim dan masih bisa dihitung jari.

Hukuman yang ringan ditambah dengan pengurangan hukuman melalui remisi sudah tentu tidak membuat pelaku menjadi jera. Padahal hukuman untuk koruptor dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi maksimal dapat mencapai 20 tahun penjara atau bahkan seumur hidup.

Oleh karenanya kecuali terhadap justice collaborator, maka pemberian remisi ataupun gagasan untuk melonggarkan syarat pemberian remisi untuk terpidana korupsi sebaiknya dibatalkan oleh Presiden Jokowi. Kesemuanya hanya akan menguntungkan koruptor, mengurangi efek jera terhadap pelaku dan sekaligus merusak kredibilitas pemerintah dimata masyarakat.

*) Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (dra/dra)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads