Libido di Balik Isu Reshuffle Kabinet
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Libido di Balik Isu Reshuffle Kabinet

Rabu, 01 Jul 2015 14:20 WIB
M Aji Surya
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Libido di Balik Isu Reshuffle Kabinet
Jakarta - Bagaikan api menyambar premium, urusan pergantian menteri semakin hari semakin santer saja disuarakan. Bukan hanya oleh Presiden Jokowi pasca inspeksi di pelabuhan Tanjung Priok, namun juga oleh para politisi dan juga pengamat politik. Di balik suara yang makin santer itu terdapat banyak 'udang' yang tersembunyi.

Bagi masyarakat sendiri, pergantian menteri bukanlah isu yang seksi. Bagi mereka, yang terpenting kebutuhan hidup di pasar terjangkau serta ada ketertiban dalam berkehidupan berbangsa. Ketika harga-harga mulai merangkak naik dan lapangan kerja semakin sulit, masyarakat menginginkan ada perubahan, tidak peduli apakah menteri berganti atau tidak. Inilah sebenarnya suara rakyat yang sebenarnya. Jadi, isu pergantian kabinet bukan isu yang panas bagi mereka.

Di negara-negara yang sudah relatif mapan demokrasinya, seperti Jepang, pergantian anggota kabinet merupakan hal yang sangat biasa. Bahkan pergantian PM pun tidak mengguncang jagat persilatan politik nasional. Tidak terlalu ramai diperbincangkan. Bahkan, kalau ada menteri yang kebijakannya tidak diterima masyarakat dengan baik, maka akan segera mengundurkan diri dan diganti yang lainnya. Tidak ada yang malu dan dipermalukan. Semua biasa-biasa saja.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara itu, ketika isu pergantian kabinet menjadi semacam angin puting beliung yang bertiup kesana-kemari dan sulit dikendalikan, maka ini pertanda ada yang tidak sehat dalam ketatanegaraan kita. Harus ada diagnosa yang tepat untuk mengetahui apa penyebabnya. Melihat gejala-gejala yang ada maka terdapat beberapa tesis yang diajukan.

Pertama, libido politik yang terlalu besar. Penempatan seorang menteri oleh partai politik pendukung pemerintah sering dianggap sebuah prestasi dan representasi yang kuat dari kekuasaan yang dimilikinya. Dengan demikian, perubahan kabinet pada hakekatnya merupakan peluang emas untuk meng-insert jagonya dalam kabinet. Secara teori, partai yang paling keras berteriak perubahan kabinet, maka partai itu layak ditengarai memiliki libido kekuasaan yang relatif nyata.

Meskipun demikian, bukan berarti juga bahwa partai politik yang diam seribu bahasa tidak punya gairah kekuasaan. Pertemuan dengan presiden secara langsung dan diam-diam misalnya, bisa dijadikan arena 'bisik-bisik' peluang kekuasaan. Ini jauh lebih efektif daripada menggoyang pohon dengan harapan muncul angin ribut.

Kedua, teori usang bahwa menempatkan anggota kabinet dapat memakmurkan partai. Di masa lalu, hal ini nyata-nyata terjadi dengan diseretnya beberapa menteri maupun petinggi partai yang main uang di kementerian ke hotel prodeo. Modusnya bisa jadi tidak lagi menggangsir uang kementerian, namun dengan dipegangnya kekuasaan salah satu kementerian maka jalur bisnis yang ada bisa dimainkan sedemikian rupa. Bukan uang negara yang berkurang, namun bisa jadi rakyat yang menanggung kenaikan harga. Di sini, libido duit menjadi sangat nyata.

Sekali lagi, berkaca pada beberapa kasus masa lalu, libido uang ini merupakan godaan yang sering muncul. Maklumlah, dengan sistem perpolitikan tanah air seperti sekarang ini maka biaya politik menjadi sangat besar. Bukan hanya untuk sang politisi namun juga untuk biaya birokrasi partai.

Tidak heran, walaupun sudah terlalu banyak politisi yang masuk bui karena urusan korupsi, namun para koruptor tetap saja bermunculan seperti jamur di musim penghujan. Utamanya, ingin mengembalikan uang yang telah dkeluarkan selama kampanye, namun kemudian terperosok pada penimbunan harta yang tidak mengenal kata puas. Urat takut dan urat patuh pada aturan disingkirkan dan menjelma menjadi urat nekad dan berani mencoba hal-hal yang tidak halal.

Ketiga, reshuffle kabinet bisa jadi ajang kompromi dalam dunia politik. Mereka yang awalnya berseteru lalu berakrabria setelah ada bagi-bagi keuasaan. Yang dulunya selalu menolak kemudian menjadi bersuara mendukung. Pragmatisme politik yang tidak dilandasi konsep dan pendirian yang kokoh kadang menjadikan kekuasaan sebagai daya tawar untuk memberikan dukungan. Hal ini tentu berbeda dengan partai politik yang telah memiliki platform yang khusus dan jelas sehingga bukan kekuasaan yang dijadikan bargaining melainkan soal kebijakan yang fundamentallah yang menjadikan pijakan. Partai yang pro lingkungan misalnya, akan bergeming dengan kursi menteri yang ditawarkan kecuali pemerintah yang berkuasa mau mengubah kebijakan tentang lingkungan.

Keempat, permainan para oportunis. Isu pergantian kabinet juga menjadi incaran banyak orang dengan maksud untuk meningkatkan eksistensi diri. Bagi mereka ini, kadangkala uang sudah masa lalu dan bukan isu yang ciamik lagi. Kekuasaan menteri diharapkan akan memberikan rasa bangga dan sekaligus meningkatkan citra diri di depan publik. Yang dulunya sekedar pengamat politik misalnya, akan lebih mendapatkan atensi publik manakala duduk di kursi menteri. Intinya seperti selfie dengan hape sendiri lalu di-upload di media sosial.

Terakhir dan ini yang mungkin masih kurang sering terdengar, yakni mau duduk di kursi menteri karena ingin mengabdi dan berbagi kebaikan tanpa pamrih, atau dengan kata lain ikhlas. Calon yang seperti ini biasanya tidak mau main politik sana-sini. Tidak biasa menggoyang pohon untuk menimbulkan angin ribut, dan tidak suka meniupkan isu yang membuat publik menjadi panik.

Tapi karena keikhlasannya pula orang hebat semacam ini seringkali tidak terdeteksi oleh radar presiden yang setiap hari sangat sibuk dengan aktivitas. Meski demikian, bukan berarti orang tersebut susah dicari. Orang profesional yang memiliki pengabdian tinggi bagi negeri ini banyak sekali jumlahnya dan ada dimana-mana. Kalau memang presiden mau, pasti menemukannya dalam waktu singkat.

Memilih seorang menteri dalam pemerintahan dengan lebih dari 250 juta penduduk haruslah ekstra berhati-hati. Banyak yang mau tapi banyak juga yang memiliki agenda terselubung. Ketika sudah duduk, nah baru ketahuan aslinya. Jadi mau model yang mana Mr. President yang Anda kehendaki?

*) M Aji Surya adalah pengamat politik dari Tanri Abeng University (TAU), tinggal di Jakarta.
Halaman 2 dari 1
(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads