Situasinya tentu akan berbeda dan publik tidak terlalu mempermasalahkan apabila fokus politik pertahanan Indonesia di bawah Jokowi tidak menitiktekankan pada pengembangan maritim dan kedirgantaraan. Sebab, titik tekan kealpaan Jokowi hanya pada keengganan mengikuti rotasi kepemimpinan TNI di antara ketiga matra sebagaimana ditekankan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Sebab, pemaknaan bergilir dijabat dapat gugur karena ada hak prerogatif presiden untuk memilih panglima angkatan perangnya.
Terlepas dari situasi dan tanda tanya yang berkembang di publik, pilihan atas Gatot harus dihormati. Sebab, pengajuan Gatot diyakini melalui proses pemikiran dan pengamatan yang panjang atas situasi politik, soliditas internal, dan fokus pengembangan postur pertahanan yang mampu menyokong kebijakan Poros Maritim Dunia. Sebab, disadari benar bahwa tanpa pemerintahan yang solid dan kuat, kebijakan Poros Maritim Dunia hanya akan terbatas pada wacana dan jargon semata.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rotasi ulang tersebut juga dimaksudkan untuk penguatan konsolidasi pemerintahannya selama lima tahun ke depan. Rotasi ulang kepemimpinan TNI tersebut bisa saja berupa TNI AD-TNI AU-TNI AL atau TNI AD-TNI AL-TNI AU dan kemudian kembali bergiliran pada tiga matra tersebut. Meski demikian, melihat bahwa TNI AU sebagai matra yang baru satu kali menjabat, hampir dipastikan bahwa rotasi pasca-Gatot akan dijabat oleh perwira terbaik dari TNI AU.
Mengacu pada penjelasan tersebut di atas, ada empat tahapan penguatan kepemimpinan dan konsolidasi pemerintahan Jokowi, terutama pada bidang politik pertahanan.
Pertama, pengajuan Gatot adalah bagian dari skema untuk mensolidkan kalangan internal TNI agar tetap profesional dan berfokus pada pertahanan negara. Sebab, harus diakui, bila mengacu pada kepemimpinan TNI yang bukan dari matra darat, seperti era Widodo A.S. (AL), Djoko Suyanto (AU), maupun Agus Suhartono (AL), sulit mensolidkan lingkup internal dengan berbagai pertimbangan. Salah satunya karena TNI AD memiliki personel terbesar dan berpengaruh dalam membangun soliditas di lingkup internal TNI.
Kedua, transisi visi negara yang ditegaskan dalam Nawacita, yang lebih berfokus pada bidang maritim serta penguatan kedirgantaraan membutuhkan figur yang kuat untuk dapat membangun irama gerak yang sama pada tiga matra tersebut. Perubahan doktrin, mulai doktrin pertahanan, doktrin TNI, sampai doktrin tiga matra untuk mengalihkan fokusnya dari pertahanan berbasis kontinen ke maritim akan menjadi tugas yang tidak mudah bagi Gatot. Apakah dia dapat menjadi Panglima TNI atau sekadar mendahulukan matra tertentu.
Ketiga, pergeseran fokus pembangunan politik pertahanan, dari pertahanan berbasis teritorial menjadi pertahanan maritim dan kedirgantaraan, akan mengakibatkan postur pertahanan pada pengembangan SDM pertahanan dan modernisasi alutsista. Persyaratan utama dari pembangunan politik pertahanan berbasis maritim dan dirgantara adalah sokongan anggaran untuk penguatan alutsista dan mengurangi belanja pegawai. Gatot akan dihadapkan pada situasi yang mengedepankan pada jiwa besar kepemimpinannya untuk mengantarkan tahapan ini sesuai dengan skenario yang diinginkan Jokowi.
Keempat, di samping penguatan kepemimpinan di TNI, Gatot diharapkan mampu menstimulasi ketiga kepala staf yang ada untuk berfokus pada penguatan pembangunan politik pertahanan berbasis maritim dan dirgantara serta kontinen secara simultan berdasarkan kebijakan pertahanan pemerintahan Jokowi. Pada konteks ini, menjadi masuk akal apabila Agus Supriatna (KSAU) dan Ade Supandi (KSAL) diminta berfokus dulu pada pengembangan maritim dan dirgantara.
Khusus untuk Agus, yang dianggap menjadi calon terkuat Panglima TNI sebelum Jokowi menunjuk Gatot, dapat membuktikan bahwa pengadaan alutsista bidang pertahanan udara bisa selaras dengan kebijakan politik pertahanan pemerintahan Jokowi. Bukan tidak mungkin pasca-Gatot, dirinya atau perwira terbaik dari TNI AU bisa memimpin TNI setelah fase transisi yang dilakukan oleh Gatot.
Dengan empat tahapan tersebut, kepemimpinan TNI dalam perspektif politik pertahanan menjadi keniscayaan apabila penegasan rotasi ulang yang diinginkan Jokowi adalah bagian dalam skema untuk penguatan konsolidasi pemerintahan dan soliditas TNI. Di mana keduanya dapat selaras untuk memperkokoh pertahanan negara dengan berbasis pada kebijakan politik pertahanan yang berasal dari kepemimpinan yang kokoh dan solid.
*) Muradi, PhD adalah Dosen di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Udara, Bandung (2007-sekarang), Dosen tamu di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian dan Sekolah Staf Pimpinan Polri (2006-sekarang), Dosen tamu Universitas Paramadina dan Universitas Pertahanan Indonesia.
*) Kolom ini sudah dimuat di majalah detik Edisi 185, 15 Juni 2015 (nwk/nwk)











































