Melalui putusan sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kewenangan KPK menyidik perkara korupsi dengan menggunakan tenaga penyidik non-kepolisian dan kejaksaan dinyatakan tidak sah. Menurut hakim Haswandi, yang memutus praperadilan tersebut, proses penyidikan perkara oleh KPK harus dianggap tidak sah karena bertentangan dengan hukum acara karena melibatkan penyidik bukan anggota institusi kepolisian atau kejaksaan.
Bila ditelusuri, setidaknya terdapat tiga kesalahan penting dari putusan praperadilan itu. Pertama, putusan itu melakukan perluasan norma terkait syarat penyidik dalam UU KPK. Sebab, ketentuan Pasal 45 Ayat (1) UU KPK menyatakan lembaga antikorupsi tersebut dapat mengangkat dan memberhentikan penyidik tanpa memerlukan prasyarat harus berasal dari institusi kepolisian atau kejaksaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemberhentian itu memiliki logika filosofis bahwa institusi asal para penyidik kepolisian dan/atau kejaksaan berpotensi disidik oleh KPK sehingga, tanpa diberhentikan dari keterkaitan administrasi kepangkatan, penyidik KPK yang berasal dari institusi kepolisian dan/atau kejaksaan tidak akan maksimal menyidik korupsi di institusi asalnya.
Berdasarkan ketentuan itu, jelaslah di tubuh KPK tidak terdapat satu pun penyidik kepolisian dan kejaksaan karena bagi mereka yang berasal dari institusi tersebut akan diberhentikan sementara. Namun ketentuan tersebut dibalikkan maknanya oleh Haswandi. Pasal 39 Ayat (3) UU KPK itu 'dibaca' memberikan syarat untuk dapat menjadi penyidik KPK, yaitu harus berasal dari institusi kepolisian dan/atau kejaksaan.
Pemberian syarat yang berdasarkan putusan praperadilan itu telah menyebabkan terjadinya perubahan makna Pasal 39 Ayat (3) UU KPK tersebut. Padahal hakim pengadilan yang berada di bawah lingkungan Mahkamah Agung tidak berwenang melakukan perluasan makna sebuah undang-undang (positive legislator) karena merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Kedua, putusan praperadilan Haswandi itu lemah dalam memahami norma UU KPK secara utuh. Seandainya Haswandi membaca dan mencoba memahami maksud Pasal 21 Ayat (4) UU KPK, tentu putusan praperadilan terkait keabsahan penetapan status tersangka Hadi Poernomo akan diputus berbeda.
Pasal 21 itu menentukan bahwa seluruh pimpinan KPK dari mana pun asal institusinya dapat menjadi penyidik dan penuntut umum dalam perkara-perkara korupsi yang ditangani KPK.
Artinya, penyidik KPK dapat berasal dari institusi/jabatan profesional apa pun karena sifat kekhususan lembaganya. Jika KPK diperkenankan mengangkat penyidik di luar institusi kepolisian/kejaksaan, tentu ketentuan Pasal 21 tersebut tidak akan pernah ada.
Akibatnya, putusan praperadilan Haswandi telah menghapuskan sifat extraordinary UU KPK. Jika pola putusan Haswandi dibiarkan, akan banyak hakim di bawah MK berpotensi menciptakan norma undang-undang baru. Alih-alih menjadi penegak aturan undang-undang, hakim di bawah MK berpotensi menjadi pelanggar norma undang-undang.
Kealpaan ketiga adalah konsistensi Haswandi dalam melihat kinerja penyidik KPK non-kepolisian atau kejaksaan. Sebab, sebelumnya Haswandi pernah menjatuhkan sanksi pidana terhadap beberapa tersangka kasus korupsi yang proses penyidikannya dilakukan penyidik KPK non-kepolisian/kejaksaan. Maknanya, Haswandi telah mengakui keabsahan penyidik KPK yang tidak berasal dari institusi kepolisian dan/atau kejaksaan.
Hakim tidak diperkenankan memiliki cara pandang berbeda terhadap obyek perkara yang sama. Jika diperkenankan melakukan putusan berbeda dalam obyek perkara yang sama, tentu jabatan hakim akan digunakan untuk memutus perkara sesuai dengan kepentingan hakim semata. Konsistensi hakim dalam menerapkan hukuman merupakan hal yang sangat prinsip. Di beberapa negara maju, hakim yang putusannya tidak konsisten dapat diberhentikan dari jabatannya dengan tidak hormat.
Pelanggaran Konstitusional
Terdapat putusan MK yang berkaitan dengan posisi kepolisian dan/atau kejaksaan sebagai penyidik perkara pidana. Melalui putusannya Nomor 16/PUU-X/2012 dan Nomor 28/PUU-V/2007, MK sama sekali tidak pernah memaknai bahwa kepolisian dan/atau kejaksaan sebagai lembaga mutlak yang berwenang menghasilkan para penyidik.
Tidak dibatasinya asal-usul penyidik memperlihatkan MK menyadari bahwa terdapat lembaga-lembaga khusus yang berkaitan dengan hukum acara pidana yang dibentuk dengan tujuan khusus dan memiliki penyidik yang khusus pula. Membatasi asal-usul penyidik dalam lembaga extraordinary seperti KPK adalah cara pandang yang dangkal, karena adakalanya lembaga antikorupsi tersebut akan menyidik institusi seperti kepolisian dan/atau kejaksaan. Artinya, keberadaan penyidik KPK yang tidak berasal dari institusi kepolisian dan/atau kejaksaan diakui statusnya secara konstitusional berdasarkan putusan MK. Mengabaikan aspek konstitusional kekhususan KPK merupakan kealpaan penting dalam memahami jiwa UUD 1945.
Para pelanggar UUD 1945 tentu patut diberi sanksi. Jika hakim Haswandi sengaja mengabaikan prinsip-prinsip konstitusional keberadaan lembaga khusus KPK, bukan tidak mungkin kepada yang bersangkutan diberikan sanksi yang tegas. Peran Komisi Yudisial untuk mengungkap pelanggaran yang dilakukan Haswandi menjadi begitu penting. Apabila KY bergerak lamban, publik tidak hanya akan melihat โkeruntuhanโ KPK dalam waktu dekat, tetapi juga menjadi saksi lahirnya hakim-hakim yang menerabas norma hukum, yaitu para hakim yang menciptakan polemik, bukan menyelesaikannya.
*) Feri Amsari adalah dosen hukum tata negara Universitas Andalas dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas.
*) Kolom ini sudah dimuat di Majalah Detik Edisi 184, 8-14 Juni 2015
(nwk/nwk)











































