Bagi Muhammadiyah, politik tidak identik dengan Parpol, walaupun Parpol pasti tidak bisa dipisahkan dari wacana dan praktek politik praktis plus kekuasaan. Sikap dan keberpihakan Muhammadiyah dalam persoalan-persoalan tertentu, terlebih untuk menentukan kepala negara atau kepala daerah adalah bentuk politik Muhammadiyah yang yang sangat penting dilakukan, dan sekali lagi tidak identik dengan politik praktis.
Muhammadiyah harus bisa memberikan porsi yang sama kepada ummat antara penerangan-penerangan yang sifatnya keagamaan (fiqih), dengan ekonomi, pendidikan, kesehatan, layanan sosial, termasuk politik di dalamnya. Saat ini mungkin sangat mudah bagi Muhammadiyah untuk menjawab pertanyaan berbagai praktek ibadah jika ada orang yang bertanya, begitupun dengan ekonomi, sosial, kesehatan dan pendidikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kita paham jika Muhammadiyah harus terhindar dari politik praktis. Tetapi apakah Muhammadiyah akan bungkam jika ada orang yang bertanya tentang keberpihakannya β walaupun keberpihakan itu tidak selalu identik dengan orang atau partai, tetapi bisa juga berupa kriteria atau idiologi β dalam proses demokrasi.
Jika Muhammadiyah adalah tenda besar, maka berbagai persoalan yang ada di dunia ini tidak lepas darinya. Jangan karena ingin kembali ke khittah, lalu Muhammadiyah tidak jelas sikapnya dalam kasus-kasus politik tertentu. Muhammadiyah sangat berwenang untuk memberi petunjuk dan penerangan yang mantap kepada umat untuk menentukan sikap-sikap politiknya.
Kata siapa kekuasaan struktural dan lembaga Legislatif itu tidak penting. Bagaimanapun, kedua lembaga ini sangat penting bagi tercapainya cita-cita Muhammadiyah dan Islam secara keseluruhan. Kalaupun tetap Muhammadiyah berjalan di jalur agama dan sosial, tetapi terkadang dalam kondisi-kondisi tertentu diperlukan semacam kekuatan raksasa untuk menetapkan beragam kebijakan yang menyangkut umat.
Misalnya, jika hari ini Muhammadiyah dan temen-temen AMM selalu mengkampanyekan perlawanan terhadap segala bentuk kemapanan, ketimpangan, diskriminasi, ekspolitasi, juga menyatakan keberpihakannya terhadap kaum mustadβafin, bagaimanapun ini sulit terwujud jika tidak dibantu oleh sebuah kebijakan yang memadai.
Untuk mewujudkan keadilan melalui jalur parlemen dan struktur tentu tidak kalah pentingnya. Hanya saja, kita sepakat bahwa Muhammadiyah secara institusi harus tetap bermain di luar, menjadi penjaga gawang yang tetap kritis, tanpa menceburkan diri pada politik praktis.
Walaupun tidak jarang kita menyaksikan struktur itu berjalan di atas ketidak adilan dan cenderung eksploitatif. Problem kemudian adalah menghadapi strktur yang timpang seperti ini, tidak cukup dilakukan dengan cara penyebaran teks-teks normatif. Penyebaran ayat dan teks normatif membela mustadβafin, tentu merupakan hal penting.
Namun, jika struktur sosial sangat eksploitatif, maka sulit para pendakwah teks suci itu melakukan perubahan yang berarti. Diperlukan upaya memperbaiki konfigurasi sosial, antara lain dengan cara sistematik menciptakan basis kekuatan demokrasi. Muhammadiyah tentu harus mengambil bagian dalam hal ini dengan mentransformasikan diri sebagai basis demokrasi.
Sebagai salah satu kekuatan demokrasi, Muhammadiyah harus mengagendakan pemberdayaan mereka yang lemah. Kaum tertindas akan tetap terpuruk dan tidak masuk dalam kalkulasi politik jika tidak bisa mengubah dirinya menjadi kekuatan penekan bagi para pengambil kebijakan publik. Di sinilah letak pentingnya mentransformasikan Muhammadiyah sebagai organisasi profetik dan basis demokrasi yang dibutuhkan β terutama oleh mustadβafn.
Pentingnya perluasan basis demokrasi semakin tak terelakkan karena state β yang mestinya bisa menjadi kendaraan wong cilik dalam praktiknya justru cenderung mengabdi ke pemilik modal. State sering inferior menghadapi pemilik modal, sebaliknya berubah menjadi superior dan arogan mengeksklusi kangan mustadβafin β baik secara ekonomi maupun politik.
Basis demokrasi dibutuhkan menurut Zainuddin Maliki (2005: 29), untuk membuka ruang partisipasi dan untuk menekan pengambil kebijakan. Mereka bisa didesak untuk menghindari praktik alokasi dan distribusi kekuasaan dengan selalu mempertimbangkan pihak yang kuat β dan mengabaikan yang lemah.
Kekuatan demokrasi dapat menekan para penentu kebijakan agar economic forces β kekuatan ekonomi tidak hanya berada di sektor modern, tetapi juga bisa dirasakan oleh mereka yang hanya bisa berkutat dengan mode ekonomi tradisional, industri rumah tangga, ekonomi bazar atau bakulan β tentu saja termasuk para petani dan kaum buruh.
Dalam rangka membangun basis demokrasi yang kuat dan mengakar, Muhammadiyah paling tidak mimiliki agenda penting berupa sosialisasi dan pencerdasan umat tentang apa itu politik. Kita saksikan bersama bagaimana gamang dan paniknya masyarakat ketika akan menghadapi hajatan demokrasi hari ini melalui pemilihan langsung. Walaupun sebagian lagi terkadang tidak mau ambil pusing, sehingga memilih golput.
Sikap-sikap ini wajar sesungguhnya, setelah sekian lama masyarakat dijauhkan dari dunia politik yang mencerdaskan oleh pemerintah Orde Baru. Dari dulu rakyat hanya menjadi objek penderita. Kini rakyat memiliki peranan sangat signifikan. Persoalannya, belum cukupnya wawasan masyarakat tentang politik, hingga sulit membedakan politik secara umum dengan politik praktis. Sehingga jelas, Muhammadiyah tetap berada di luar Parpol dan tidak terhindar dari politik praktis, tetapi memiliki kekuatan besar yang sangat berpengaruh secara politis.
*) Roni Tabroni adalah Dosen Komunikasi Politik Universitas Sangga Buana YPKP dan UIN SGD Bandung, juga Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah
(nwk/nwk)











































