Partai Golkar masih kisruh. Terbelah dalam dua kubu, Aburizal Bakri dan Agung Laksono. Itu bermula dari harapan terjadi regenerasi di partai ini, ternyata Ical-Akbar nyalon lagi. Dua kepentingan itu mengemuka, disusul munas kembar, kepengurusan kembar, dan saat masuk ranah hukum, ternyata keputusannya juga kembar. Ada yang memenangkan, juga ada yang mengalahkan.
Sekarang sedang digagas untuk islah. Menyatukan dua kubu agar kelihatan tidak berseteru. Itu karena pilkada akan digelar serentak tahun ini, dan supaya Partai Beringin ikut serta. Tawar-menawar masih berlangsung dan belum jelas sepakat-tidaknya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam sejarah, ada dua contoh yang bisa dipakai merenungkan kemungkinan Partai Golkar ke depan. Pertama adalah slogan Sambernyowo (Mangkunegara 1) yang heroik, ‘mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh’. Mati satu mati semua, sejahtera bermartabat satu, bermartabat semua.
Untuk menjadikan ini sebagai slogan perjuangan dibutuhkan tokoh sentral. Sosok yang bisa digugu (dipercaya) dan layak ditiru. Di Partai Golkar sudah kehilangan itu. Ical, Akbar, Agung, yang dulu menempati singgasana itu kini malah yang berseteru. Dan Wapres JK pun kartunya sama-sama tahu, dia partisan dalam konflik ini.
Jika padanan slogan Sambernyowo dipakai sebagai acuan untuk membangun Golkar baru, maka bukan ‘mukti siji mukti kabeh’ yang akan terjadi, tapi justru akan menjelma menjadi ‘perang bubat’ (perang habis-habisan). Hasilnya akan ‘mati siji mati kabeh’. Apalagi Tommy Soeharto yang menebar jala di putaran arus, Dolly Kurnia yang diwacanakan, serta yang lain, grade-nya masih jauh di bawah senior yang kini sedang berkelahi.
Sketsa kedua yang bisa dipakai sebagai rujukan untuk merenungkan Partai Golkar ke depan adalah Hanacaraka. Abjad Jawa ini tidak sekadar huruf, tetapi narasi dari sebuah kisah. Penuh filosofi hidup, kadang ada yang meyakini juga sebagai mantra.
Garis besarnya adalah, ada seorang utusan, membawa surat, tidak dipercaya, berkelahi, dan sama-sama mati. Kronologisnya, Ajisaka punya dua orang kepercayaan, yang satu ditinggalkan di Pulau Majethi dan diberi tugas menjaga pusaka, namanya Sembada. Yang satu bernama Dora, mengikuti Ajisaka mengembara ke berbagai negeri.
Bertahun-tahun kemudian, Ajisaka menjadi raja di Medhangkamulan. Dia menyuruh Dora mengambil keris pusaka yang dijaga Sembada. Surat yang dibawa ditunjukkan, tetapi Sembada tetap kukuh tidak percaya. Keduanya pun berkelahi sampai dua-duanya mati.
Esensi dari kisah itu adalah bahwa fanatisme sempit itu ‘membunuh’. Membunuh persaudaraan, kekerabatan, dan juga kebenaran. Golkar sedang mengalami itu. Merasa menjadi partai besar, menjadi orang-orang besar, hingga tidak mau saling mengalah. Masing-masing merasa mengemban amanah.
Sebagai politisi hebat, kitab suci mereka adalah The Prince Machiavelli dan Lord Acton. Ini diambil yang positif (baca : profan) dan jadilah mereka binatang politik. Tujuan akhir kekuasaan an sich. Lupa, bahwa ini Partai Golkar, Partai Beringin.
Partai ini dibangun dengan filosofi Jawa sebagai pengayom. Pohonnya rindang dan gampang tumbuh, dengan akar-akar yang menjangkung ke mana-mana. Pohon ini dijadikan simbol kekuatan dan keluhuran, jika di dalam pohon ini bersemayam Sang Mbaurekso. Ada roh penunggu. Roh itu adalah niat baik yang menjaga.
Jika sekarang Partai Golkar tetap kisruh, maka ada dua dugaan yang terjadi di partai ini. Satu tidak mengenal filosofi partai ini karena semuanya bukan orang Jawa (sorry), dan satunya, di Partai Golkar sekarang tidak ada yang punya niat baik. Semuanya cuma berebut kuasa, karena secara duniawi, memang itu tujuan berpolitik.
Untuk itu, kalau dalam waktu dekat ini tidak kunjung terjadi ‘penyatuan’ diri, entah dalam bentuk islah atau apa namanya, jangan kaget jika Partai Golkar hanya akan tinggal sejarah. Mati. Ma Ga Ba Tha Nga, yang berseteru sama-sama mati. Tidak percaya? Kita lihat sama-sama lima atau sepuluh tahun ke depan.
*Budayawan, menetap di Jakarta
(nrl/nrl)











































