Belanda Sialan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Belanda Sialan

Sabtu, 23 Mei 2015 12:00 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Den Haag -

Panjat Pinang mau dilarang. "Bikinan Belanda, pembodohan," demikian disimpulkan. Arsip-arsip ini membantah. Rupanya sejarawan mau jadi 'Belanda' pula: melakukan pembodohan.

Masyarakat Pekalongan menyebut Panjat Pinang dengan prebutan (berebut, rebutan). Praktiknya memang begitu, adu kuat, strategi, ketangguhan, kerjasama tim, untuk meraih hadiah di puncak. Tradisi ini masih hidup di sana, setidaknya sampai saya meninggalkan kota dengan komposisi dominan Jawa, Arab, Tionghoa itu pada awal 90-an. Sejak itu saya tidak pernah memperhatikannya lagi, sampai ramai berita seorang sejarawan dari Komunitas Historia menyimpulkan bahwa Panjat Pinang bikinan Belanda, merupakan pembodohan dan diusulkan agar dilarang.

Menelisik arsip-arsip di Koninklijke Bibliotheek nun jauh sampai awal abad ke-20, ternyata fakta mengenai Panjat Pinang mengarah sebaliknya dari kesimpulan sejarawan. Alih-alih bikinan Belanda, arsip-arsip liputan media pada masa itu malah menunjukkan bahwa Panjat Pinang adalah bagian dari rangkaian perayaan sembahyang, tepatnya Sembahyang Rebutan di kalangan masyarakat Tionghoa. Temuan ini secara mengejutkan juga sekaligus bisa menjadi asumsi awal dari mana istilah prebutan berasal. Prebutan, Sembahyang Rebutan.

"Zaterdagmiddag werd er op het erf van de Chineesche Kerk aan de Klentengstraat de jaarlijksche Sembahjang Reboetan gehouden. Van kwart over drie tot ruim vier uur werd er op het erf van Tjoa Hwie Kong gebeden. Vervolgens werd het vuurwerk afgestoken, waarna de armen den toren beklommen... Een pinangpaal was geheel ingesmeerd met vet, hetgeen dikwijls vermakelijke situaties schiep. (Pada Sabtu siang di pelataran rumah ibadah Tionghoa di Jl. Kelenteng diselenggarakan perayaan tahunan Sembahyang Rebutan. Dari pukul 15.15 sampai lewat pukul 16.00 dilakukan sembahyang di kelenteng Tjoa Hwie Kong. Selanjutnya disulut kembang api, kemudian warga miskin memanjat pokok pinang... Pokok pinang tersebut seluruhnya dilumuri lemak, sehingga seringkali menimbulkan situasi lucu, pen)," (Soerabaijasch Handelsblad, Rabu 01 September 1937 halaman 12, kolom 3). Harian De Indische Courant juga mewartakan pada edisi hari sama, halaman 10 kolom 5.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mencari lebih lanjut di Google, ternyata juga terdapat banyak sumber yang menyebutkan tradisi serupa Panjat Pinang telah ada dalam budaya masyarakat RRT bagian selatan dan Taiwan sejak ratusan tahun lalu, dengan peralatan, cara permainan dan hadiah-hadiah di puncak yang identik dengan Panjat Pinang. Bahkan sebaran budaya ini sampai ke wilayah India timur laut (Nepal dan sekitarnya), nota bene kawasan yang secara historis bukan jajahan Belanda.

Temuan-temuan sekilas sambil minum kopi tersebut membuat saya membayangkan, seandainya saya seorang sejarawan, ke sanalah saya akan terus menggali dan mencari pembuktian. Berkilo-kilometer arsip tersedia, karpet merah bagi sejarawan. Akan tetapi kalau menyimpulkan Panjat Pinang bikinan Belanda dari sumber sangat terbatas, apalagi cuma selembar foto di mana di dalamnya ada orang Belanda tertawa-tawa? Ini sejarawan atau Belanda yang sialan? Coba dalam foto itu Belanda jangan tertawa-tawa, tapi cemberut. Mungkin kesimpulan sejarawan bisa sebaliknya: Panjat Pinang bikin Belanda tersinggung, permainan ini menyindir Belanda, simbol ketangguhan perjuangan mencapai cita-cita puncak: kemerdekaan.

Terlalu sumir, sebagaimana balap karung juga diidentikkan dengan Tanam Paksa, sebab karung dari serat goni (Corchurus olitorius) tidak cuma ada di sini. British East India Company di India telah lebih dulu memproduksinya dan berkat penemuan teknologi mesin pintal di Dundee (1838) dimulailah era manufaktur karung goni dan diekspor ke seluruh dunia. Jauh sebelumnya serat goni juga sudah dibudidayakan di India (Ain-e-Akbari, Abul Fazal, 1590). Richard Allen menulis begini, "...balap karung berasal dari akhir abad ke-18, sekitar masa Perang Revolusi. Tentara Inggris dan warga desa melompat-lompat dengan karung kentang untuk membunuh waktu." Pada masanya, balap karung ini bahkan menjadi top sport dan dilombakan pada Olimpiade 1904. Hingga hari ini, balap karung masih hidup di Eropa dan Amerika untuk kegiatan outbound, BBQ-an atau pesta lingkungan warga.

Bagi sebagian masyarakat kita, tradisi Panjat Pinang adalah olimpiadenya mereka, festival mereka, kesempatan mereka untuk bergembira ria dan hiburan. Tradisi ini malah menjadi agenda pariwisata, contohnya seperti di Taiwan. Pekerjaan rumah bagi sejarawan Komunitas Historia untuk menyusun argumen yang lebih dapat dipertanggung jawabkan atas gagasan-gagasannya untuk melarang.

Oostpoort, 23 Mei 2015

* Penulis adalah koresponden detikcom di Belanda. Tulisan ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan redaksi

(es/es)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads