Tak cuma datang dan berdialog, Presiden Jokowi juga membuat keputusan penting bagi Papua, di antaranya memberikan grasi kepada lima narapidana politik, yang tersangkut kasus pembobolan gudang senjata Kodim Wamena pada 4 April 2003, di mana hukumannya berupa hukuman penjara yang lamanya mulai dari 19 tahun hingga seumur hidup. Di luar itu, masih ada sekitar 60 tahanan politik di Papua dan Maluku yang dipenjara karena menuntut kemerdekaan dari Indonesia.
Kebijakan lainnya adalah membuka akses kepada jurnalis asing untuk meliput di Bumi Cenderawasih. Selain soal dugaan pelanggaran HAM, pembatasan hak orang asli, pembatasan atau pelarangan jurnalis dan pekerja kemanusiaan internasional masuk ke Papua merupakan salah satu isu yang mendapat sorotan dunia internasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama ini yang disuarakan Papua adalah kesejahteraan, dan oleh Jokowi hendak diwujudkan antara lain lewat pembangunan berbagai proyek infrastruktur untuk membuka daerah-daerah yang masih terisolasi.
Tapi, terlepas dari hal itu, saya pribadi ingin memberikan sedikit catatan. Terkait kebebasan meliput di Papua bagi pers asing, saya kira hal itu memang konsekuensi logis di era globalisasi sekarang ini. Kehidupan pers yang bebas merupakan konsekuensi logis bagi Indonesia yang menganut demokrasi. Kenyataan ini harus diimbangi oleh kesiapsediaan segenap aparat, terutama yang duduk di birokrasi pemerintahan setempat maupun di Jakarta.
Siap-sedia dalam hal apa? Siap untuk bekerja tidak saja berlandaskan aturan-aturan yang hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga yang berlaku umum di dunia internasional. Apabila hal ini tidak dilakukan, perbedaan cara pandang antara pers asing dan para birokrat terhadap permasalahan yang ada di Papua pasti akan terjadi, dan pada akhirnya akan menjadikan pemerintah Indonesia bulan-bulanan pers asing di luar negeri. Apabila hal ini terjadi terus-menerus, sudah pasti pemerintah Indonesia pada akhirnya akan menutup pintu lagi bagi pers asing.
Saat ini perilaku pers di dalam negeri saja sudah demikian liarnya sehingga tak mudah dikontrol, apalagi dengan kalangan pers asing. Mereka pasti sulit dan tak mungkin diimbau untuk tidak menjadikan pemerintah Indonesia obyek pemberitaan negatif di luar negeri.
Demikian pula dengan TNI. Di Indonesia, selama ini operasi militer oleh TNI adalah obat mujarab untuk meredam gejolak di daerah yang tidak puas dengan kinerja pemerintah. Akan tetapi dunia sudah berubah, operasi militer oleh pasukan militer, termasuk TNI, tidak lagi bisa dilakukan sesuka hati oleh pemerintah di negara mana pun di dunia ini. Ada kondisi tertentu yang harus terpenuhi terlebih dahulu agar dapat mengirimkan TNI untuk melakukan operasi militer.
Kondisi di Papua sangat beda dengan kondisi di Aceh. Apabila di Aceh operasi militer oleh TNI dapat dibenarkan menurut hukum internasional, sangat berbeda dengan kondisi di Papua. Operasi militer di Papua justru bertabrakan dengan hukum internasional dan berpotensi menghasilkan pelanggaran HAM yang dapat berakibat lepasnya Papua dari Indonesia.
Terkait pembangunan infrastruktur, saya percaya tak akan ada yang menampik, sebab hal itu memang amat diperlukan. Hanya, dalam setiap pembangunan yang bersifat fisik, ada baiknya bila tidak dilakukan terlalu cepat, yang dapat meninggalkan jauh kemampuan masyarakat Papua untuk menguasainya. Pembangunan fisik hanya akan tercapai sesuai harapan bila pembangunan mental dan budaya masyarakat Papua juga digenjot secara maksimal.
Banyak orang bilang membangun fisik itu mudah, apalagi nilainya sampai triliunan rupiah. Banyak pihak pasti berkepentingan, entah tulus atau sekadar memburu rente. Tapi membangun mental dan budaya masyarakat itu yang sulit. Tak akan mungkin selesai dalam termin satu periode pemerintahan. Hitungannya adalah minimal satu generasi secara berkesinambungan. Agar semangat dan kesinambungan itu terjaga, pemerintahan Jokowi mau tak mau harus memiliki cetak biru atau strategi besar bagaimana membangun Papua. Sampai di titik ini sepertinya saya belum pernah mendengar.
Untuk pembangunan yang nonfisik, alangkah baiknya bila memanfaatkan para pakar, para pakar ilmu-ilmu sosial di bidang antropologi, sosiologi, dan psikologi sosial, misalnya. Saya teringat dengan sosok Profesor Astrid S. Susanto dan Meutia Hatta sebagai antropolog terkemuka yang, beberapa puluh tahun silam, banyak terlibat dalam pembangunan di Papua. Tapi saya tidak tahu apakah para ahli ilmu sosial turut dilibatkan pada era otonomi khusus seperti sekarang ini?
Bila pembangunan fisik dilakukan tanpa diikuti dengan pembangunan mental dan budaya masyarakat Papua, saya yakin berbagai persoalan sosial kemudian akan mengikuti, sehingga pendekatan kesejahteraan lewat pembangunan infrastruktur akan sia-sia. Yang terwujud kemudian bukan kesejahteraan, melainkan kecemburuan dan pertentangan antara kelompok masyarakat asli dan pendatang. Lalu masyarakat Papua akan kembali berteriak lantang menuntut pemisahan diri atau memerdekakan diri.
*) Laksda (Purnawirawan) Soleman B. Ponto, ST, MH adalah Kepala BAIS periode Januari 2011-2013
(nwk/nwk)











































