Ujian Elektoral PDIP Pasca-Megawati
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Ujian Elektoral PDIP Pasca-Megawati

Kamis, 16 Apr 2015 19:23 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ujian Elektoral PDIP Pasca-Megawati
Jakarta - Megawati Soekarnoputri mencatatkan diri sebagai ketua umum partai politik terlama dalam sejarah partai politik di Indonesia setelah dia kembali terpilih secara aklamasi dalam Kongres PDI Perjuangan di Sanur, Bali. Apa tantangan PDIP ke depan? Apakah PDIP bisa mempertahankan posisi sebagai pemenang pemilu pada pemilu presiden dan pemilu legislatif serentak pada 2019?

Setidaknya, ada beberapa tantangan yang akan dihadapi PDIP ke depan agar bisa kembali berpeluang memenangi Pemilu 2019. Pertama, PDIP harus mencari aktor baru yang dapat menjadi magnet elektoral partai di luar Joko Widodo. Semakin banyak aktor yang mampu meraup suara pemilih pada level nasional akan menguntungkan bagi PDIP. Banyaknya aktor yang menarik hati pemilih juga berguna agar partai bisa menghindari ketergantungan terhadap satu figur saja. Karena, di masa depan, ketergantungan yang akut pada satu aktor tidak elok bagi pelembagaan partai politik.

Dari hasil sensus nasional yang dilakukan CSIS pada seluruh ketua DPC PDIP di seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, 16-19 Februari, muncul beberapa nama yang dipertimbangkan elite untuk menjadi pemimpin di masa depan di luar nama Megawati. Dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, sensus berhasil mewawancarai secara tatap muka 467 ketua DPD PDIP.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari data terhadap PDIP, ditemukan beberapa aktor yang dianggap elite mampu membesarkan partai dan menjadi peraup suara di masa depan, di antaranya Joko Widodo (dengan indeks 26,6 dari indeks 1-100), Puan Maharani (22,8), Megawati (15,5), Ganjar Pranowo (9,1), dan Tjahjo Kumolo (8,9). Meskipun nama Jokowi dianggap mampu membesarkan partai, saat ditanyakan siapa yang pantas menjadi ketua umum PDIP, sekitar 320 DPC mengaku akan kembali memilih Megawati dan hanya 76 DPC yang akan memilih Jokowi.

Sensus nasional CSIS juga menemukan adanya elite-elite di luar Megawati yang selama ini bekerja untuk membangun partai. Pada variabel figur yang dianggap paling sering berkomunikasi dengan elite partai di daerah, muncul nama Tjahjo di urutan pertama, lalu Hasto dan Maruarar Sirait. Nama Puan dianggap sebagai figur yang paling sering memberikan bantuan ke daerah, disusul Megawati dan Maruarar. Pada aspek kepemimpinan, kemampuan manajerial organisasi, dan integritas, Megawati memang masih unggul dibandingkan nama lain.

Kedua, suksesi kepemimpinan pusat dan kelegawaan Megawati tidak lagi mencalonkan diri sebagai ketua umum partai pada periode 2020. Sebagai figur sentral partai, dia harus memastikan kompetisi politik berjalan secara demokratis, kompetitif, dan fair. Hal itu penting dilakukan agar proses demokratisasi internal bisa berjalan dengan baik dan regenerasi politik bisa berjalan.

Di daerah, regenerasi politik telah berjalan dengan baik ditandai dengan proporsi kelompok muda menjadi ketua DPC (kabupaten/kota). Data sensus menunjukkan sekitar 33,8 persen dari 467 ketua DPC berusia 36-45 tahun. Regenerasi juga ditandai cepatnya karier politik para kader di daerah. Sekitar 46,7 persen responden yang baru 5-10 tahun menjadi anggota partai sudah berhasil menjadi ketua DPC, 38 persen responden yang menjadi ketua DPC sudah menjadi anggota lebih dari 10 tahun, dan 11,7 persen ketua DPC baru aktif kurang dari 5 tahun.

Ketiga, pertumbuhan infrastruktur partai tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan. Keberadaan kantor di gedung hanya bertambah 2,8 persen, dari 33,9 persen DPC memiliki gedung pada 5 tahun yang lalu naik menjadi 36,7 persen pada 2015. Sementara, kepemilikan kantor DPC sendiri hanya naik 5,5 persen, dari 30,8 persen (lima tahun yang lalu) menjadi 36,3 persen pada tahun ini.

Isu Strategis

Ada beberapa isu strategis yang akan menjadi perhatian utama PDIP ke depan. Pertama, perbaikan hubungan yang kurang harmonis dengan pemerintah. Hal ini akibat kekecewaan PDIP terhadap alokasi kursi yang diperoleh dalam kabinet kerja. Kekecewaan itu bertambah karena, selain menjadi pemenang pemilu, PDIP juga menjadi partai pengusung utama pasangan Jokowi-Jusuf Kalla.

Kedua, isu reshuffle kabinet. Ke depan, PDIP akan mendorong isu reshuffle kabinet menyusul kekecewaan itu. Sinyal kekecewaan diperkuat oleh pernyataan Megawati dalam pembukaan Kongres PDIP, yang menyebut adanya penumpang gelap dalam pemerintah. Hal ini tentu akan membuat dilematik bagi Jokowi, apakah dia akan mencopot menteri dari partai politik atau dari kalangan profesional.

Memberhentikan menteri dari kalangan profesional akan menyulitkan posisinya di depan publik karena ia pernah berjanji untuk membentuk kabinet yang mayoritas berasal dari kelompok profesional. Bila Jokowi memberhentikan menteri dari partai politik, juga akan menyulitkan posisinya di hadapan partai koalisi pendukung. Partai yang kadernya dicopot mungkin akan mempertimbangkan kembali dukungan mereka terhadap pemerintahannya.

Reshuffle juga akan mempengaruhi hubungan antara partai-partai yang berada di koalisi pemerintah. Sejak pengumuman formasi kabinet kerja, sudah tercium hubungan antarpartai koalisi yang mengalami gesekan kecil. Terkait kinerja pemerintahan, PDIP sangat berkepentingan agar publik memberikan apresiasi positif. Sebab, apresiasi negatif akan memberikan petaka terhadap PDIP.

Kinerja pemerintahan juga terkait erat dengan dukungan parlemen. Kemampuan PDIP dan anggota koalisi untuk mengamankan kebijakan-kebijakan politik Jokowi akan menjadi ujian bagi soliditas kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH), menyusul bergulirnya hak angket terhadap Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly. Belum adanya keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terhadap konflik di internal Golkar dan PPP membuat posisi Jokowi belum sepenuhnya aman di Senayan. Hal itu tentu mempengaruhi dukungan Agung Laksono (Golkar) dan kubu M. Romahurmuziy (PPP) terhadap pemerintahan.

Di masa depan, cara agar PDIP bisa bertahan adalah memastikan demokratisasi di internal bisa bekerja secara alamiah dan regenerasi politik di tingkat nasional juga terjadi. Kepemimpinan karismatik Megawati harus ditransformasikan menjadi kepemimpinan yang demokratis dan terbuka. PDIP juga diharapkan dapat mempromosikan secara intensif para kader baru yang berpotensi menjadi magnet elektoral bagi partai. n

*) Arya Fernandes adalah peneliti di Departemen Politik dan Hubungan Internasional di Center for Strategic and International Studies (CSIS)

*) Kolom ini sudah dimuat di di majalah detik Edisi 176, 13-19 April 2015

(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads