Demokrasi koloni lebah itu tidak sepenuhnya bisa dianalogikan kepada proses demokrasi pada Kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Kecuali pada soal regenerasi kepemimpinan partai tersebut, Megawati Sukarnoputri adalah figur yang tidakakan turun dari singgasananya dengan mudah sebelum masanya atau 'dimatikan' para pesaingnya.
Mega laksana Ratu Lebah PDIP yang tangguh. Secara aklamasi, Mega terpilih dengan sangat meyakinkan sebagai Ketua Umum PDIP pada kongres partai pemenang Pemilu tersebut (Jumat, 10/4). Tanpa gejolak internal partai, Mega mengukuhkan dirinya sebagai pimpinan partai terlama sepanjang periode reformasi. Sebuah capaian luar biasa dari seorang perempuan bermental besi yang partainya pernah hendak dihancurkan Orde Baru tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sepertinya PDIP memang tidak memiliki kader lain yang mampu mengendalikan 'partai banteng' tersebut. Padahal jika menelisik kader partai yang berhasil menjadi kepala daerah, PDIP memiliki banyak opsi untuk memilih pengganti Mega.
Bertahannya Mega di puncak kekuasaan tentu membuat proses kaderisasi partai tersendat. Apalagi Mega juga membawa gerbong panjang kaderkader 'tua' (baca: pengurus lama) dalam kabinet baru partainya. Pilihan tersebut jelas akan menimbulkan konsekuensi tersendiri bagi PDIP. Setidaktidaknya, masyarakat nonmarhaen sulit tertarik untuk bergabung dalam keanggotaan partai, sebab sulit 'naik kelas' karena status quo kepengurusan partai.
Konsekuensi lain adalah potensi pertikaian kader di masa depan. Karena memaksakan Mega untuk terus bertahan, bukan tidak mungkin, akan menciptakan ketidakmampuan kader agar terbiasa melalui siklus pergantian kepemimpinan partai. Suatu saat, ketika Mega dimakan usia dan tidak sanggup lagi berkuasa, kader PDIP yang telah lama menunggu berkuasa akan bertikai merebut singgasana. Terpendamnya hasrat banyak
kader itu akan membuat perebutan kursi kekuasaan akan berlangsung lebih liar dibandingkan perebutan kekuasaan partaipartai lain yang berlangsung saat ini.
Seandainya Mega merelakan kepemimpinan partai diserahkan kepada kader berbakat pilihannya, maka potensi konflik masih dapat diredam dari sekarang. Jikapun terjadi pertikaian antar kader partai, Mega dapat menjadi figur yang menyelesaikan konflik tersebut.
Politik Dinasti
Bagi kader partai berlambang Banteng, Mega adalah ruh dari PDIP. Sebagai representasi tunggal Bung Karno, Mega dianggap paling mengerti ajaran marhaen karena dianggap 'kader biologis' maupun ideologis Bung Karno. Menyingkirkan kultus ide itu dari sosok Mega adalah pekerjaan sulit. Bagaimanapun, dalam banyak sisi, Mega adalah 'titisan Putra Sang Fajar'. Dinasti politik seperti itu tidak hanya berlangsung di PDIP dan Tanah Air saja. Di Amerika, dinasti Kennedy dan Bush (Kevin Phillips, American Dynasty; 2004) merupakan jaminan keterpilihan penting.
Dinasti Hatoyama dalam perpolitikan Jepang juga merupakan contoh yang menjelaskan betapa kuatnya pengaruh genbiologis dalam capaian politik (Mayumi Itoh, The Hatoyama Dynasty-Japanese Political Leadership Through the Generations; 2003). Namun regenerasi kader atas nama keturunan yang berlangsung di kedua negara itu tidak berjalan dengan mengkultuskan individu tertentu saja, tetapi juga capaian kerja dan pengabdian kepada partai dan masyarakat.
Jika berkaca kepada pola politik dinasti dibanyak negara tersebut, PDIP dapat dianggap gagal menemukan sosok yang memiliki kemampuan sebanding dengan Mega dari garis keturunan yang sama. Padahal membiarkan Mega larut menikmati kekuasaannya, maka partai dan mesin kaderisasi partai akan 'berkarat'. Mega harus segera menyadari bahwa empat periode berkuasa merupakan kondisi yang buruk bagi dirinya dan partai. Sebab, sebagaimana ditasbihkan Lord Acton, 'kekuasaan cenderung disimpangkan, sedangkan kekuasaan absolut maka pasti menyimpang'.
Pilihan Mega sesungguhnya mudah. Ia memiliki Puan Maharani dan Prananda Prabowo yang juga menyimpan 'darah biru' Bung Karno. Jika kultus proklamator begitu besar di kader PDIP, Mega setidaknya dapat memilih salah satu di antaranya untuk memimpin partai. Malangnya, kedua keturunan Mega itu dianggap internal partai Banteng belum mampu menjadi kader yang layak memimpin partai sebesar PDIP.
Soliditas
Kelebihan Mega terletak pada kemampuannya menjaga soliditas partai. Itu modal besar yang tidak dimiliki partai lainnya. Partaipartai tua besar seperti Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan yang terpecah dua memperlihatkan kegagalan membangun soliditas partai. Berbeda dengan PDIP, soliditas partai Banteng itu lahir dari perjuangan yang tidak mudah, bahkan berdarahdarah. Mega tidak membiarkan kadernya sendiri ketika masa sulit itu datang.
Pengalaman masa lalu itulah yang membuat kader PDIP rela terus berada dalam komando Mega. Namun sayangnya, Mega seakan lupa bahwa gejolak di tubuh partai juga penting untuk membuat kader partai menjadi lebih dewasa menerima perbedaan. Jangan sampai partai kaum marhaen tersebut tidak terbiasa mengalami gejolak dalam pemilihan ketua umumnya sendiri.
Kader PDIP harus belajar dari lebah. Ingat, suatu saat Ratu Lebah akan tua dan kalah. Regenerasi kader adalah hukum alam yang harus ditaati. Namun demikian ucapan selamat patut pula diucapkan kepada Ketua Umum PDIP Terpilih.
*) Feri Amsari, Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
(ndr/mad)











































