Inilah yang terjadi ketika pemerintah memblokir 22 situs yang dianggap menyebarkan ajaran Islam radikal. Di satu sisi, pemblokiran dianggap perlu karena beberapa situs memang digunakan untuk menyebarkan pesan-pesan permusuhan dan kebencian terhadap pihak atau identitas keagamaan tertentu. Di sisi lain, pemblokiran itu dianggap sebagai tindakan otoriter pemerintah yang mengancam iklim kebebasan berpendapat dan berbicara.
Tindakan tersebut, dalam hal cara yang digunakan, hanya layak terjadi pada rezim otoriter, seperti di masa Orde Baru. Namun, di era demokrasi seperti sekarang, tindakan tersebut sama sekali tidak populer dan akan kontraproduktif meskipun, sekali lagi perlu ditekankan, tujuannya masuk akal, bahkan perlu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, harus dirumuskan dengan jelas kriteria-kriteria yang membuat suatu situs layak untuk diblokir. Apa yang dimaksud “menyebarkan ajaran agama yang radikal?” Sejauh mana batasan radikalisme? Siapa yang otoritatif untuk merumuskan status radikal? Perlu dipertimbangkan untuk menggunakan kriteria yang lebih universal, katakanlah “penyebaran semangat permusuhan dan kebencian” dengan parameter yang rinci. Bukan hanya domain agama yang digunakan, tetapi juga domain suku, gender, dan lain-lain.
Kedua, harus dipastikan ada equal treatment untuk situs-situs yang menggunakan identitas agama lain. Asumsinya, yang berpotensi menyebarkan radikalisme bukan hanya situs-situs Islam. Bukankah potensi radikalisme sesungguhnya juga bersemayam di komunitas semua agama? Hal ini perlu ditekankan guna menghindari perdebatan yang tidak produktif tentang perbedaan agama. Jangan sampai berkembang isu murahan, seperti “Kali ini yang di-banned situs-situs Islam karena lembaga yang melakukan banned didominasi oleh orang-orang non-Islam.” Di media sosial, selentingan yang seperti ini sudah muncul.
Ketiga, hal yang tidak kalah penting, siapa yang otoritatif untuk menindak situs-situs yang dianggap radikal? BNPT atau Kemkominfo? Sejauh mana wewenangnya dan berdasarkan undang-undang apa? Jika ada situs atau operator yang balela tidak mau melakukan pemblokiran, apa langkah atau tindakan selanjutnya? Dari kasus ini kemudian menjadi jelas bahwa ketentuan perundang-undangan yang ada (katakanlah UU ITE) belum secara detail mengatur masalah itu. Sejauh mana wewenang Kemkominfo dalam konteks penertiban situs-situs radikal, porno, dan seterusnya? Bagaimana kedudukan lembaga seperti BNPT?
Keempat, bagaimana mekanisme penindakan situs-situs yang dianggap bermasalah? Apa iya langsung diblokir begitu saja tanpa klarifikasi dan pembelaan diri dari pengelola? Menurut penulis, langkah persuasif dan edukatif harus dilakukan kepada pengelola situs. Pemblokiran adalah langkah terakhir setelah persuasi dan edukasi gagal.
Kemkominfo harus mencari tahu siapa pengelola situs dan menghubungi mereka segera setelah muncul persoalan terkait dengan konten situs. Minta mereka segera mengoreksi konten-konten yang dianggap tidak layak, mengarah kepada semangat permusuhan dan kebencian, dan seterusnya. Jika persuasi dan edukasi gagal, baru ada alasan kuat bagi pemerintah untuk memblokir. Pemblokiran juga dapat dilakukan jika pengelola tidak diketahui sama sekali atau tidak dapat dihubungi. Pemblokiran ini pun tidak bersifat permanen.
Karena itu, Kemkominfo perlu segera merumuskan dan meresmikan mekanisme penanganan situs-situs yang dianggap bermasalah, bukan hanya dalam konteks radikalisme. Bagaimana penerimaan keluhan masyarakat dilakukan? Bagaimana memverifikasinya? Bagaimana memberikan kesempatan kepada pengelola situs untuk memberikan penjelasan atau pembelaan diri? Kapan pemblokiran dapat dilakukan, secara parsial (konten tertentu) atau sepenuhnya?
Kelima, perlu ada mekanisme agar pengelola dapat melakukan koreksi atau perlawanan atas keputusan pemblokiran situs yang dilakukan pemerintah. Mekanisme “banding” ini pada tahap pertama dilakukan kepada pemerintah secara langsung dan pada tahap berikutnya ke ranah hukum. Termasuk untuk kasus di mana ada operator yang balela tidak mau menutup situs yang terbukti sudah meresahkan masyarakat, perlu dibuka ruang untuk membawanya ke meja hijau.
Selain itu, masih ada masalah yang tidak kalah penting. Benarkah situs-situs Internet dapat membikin seseorang menjadi radikal? Menurut hemat penulis, situs, media massa, atau socmed mungkin mempengaruhi keyakinan agama seseorang, tapi bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi. Seseorang menjadi radikal atau moderat dipengaruhi banyak faktor. Alasan-alasan ekonomi (baca kemiskinan) bahkan dalam banyak kasus lebih determinan.
Seseorang yang telah punya kecenderungan radikal mungkin bisa dipengaruhi media menjadi radikal. Namun orang-orang biasa sulit dipengaruhi hanya menggunakan media. Pasti ada pengaruh-pengaruh lain.
*) Agus Sudibyo adalah Direktur Eksekutif Matriks Indonesia (lembaga riset sosial-politik dan konsultan media) dan Managing Editor Jurnal Pemikiran Sosial-Ekonomi Prisma
*) Kolom ini sudah dimuat di majalah detik edisi 175, 6-12 April 2015
(nwk/nwk)











































