19 situs Islam yang diblokir oleh Kemenkominfo diduga menyebar paham dan ajaran radikalisme terkait jaringan ISIS. Situs-situs Islam tersebut antara lain arrahmah.com, voa-islam.com, ghur4ba.blogspot.com, panjimas.com, thoriquna.com, dakwatuna.com, kafilahmujahid.com, an-najah.net, muslimdaily.net, hidayatullah.com, salam-online.com, aqlislamiccenter.com, kiblat.net, dakwahmedia.com, muqawamah.com, lasdipo.com, gemaislam.com, eramuslim.com, dan daulahislam.com.
Banyak pihak yang menyesalkan bahkan mengecam pemblokiran situs-situs Islam tersebut. Pasalnya Kemenkominfo melakukan pemblokiran tanpa adanya dialog dan klarifikasi sebelumnya dengan pengelola situs-situs Islam maupun tokoh-tokoh Islam. Seyogyanya pemerintah memberikan peringatan kepada pengelola situs Islam terlebih dahulu, kemudian mengadakan dialog untuk menemukan solusi yang tepat tentang permasalahan penyebaran paham radikal di Indonesia yang dikhawatirkan pemerintah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketidakjelasan informasi yang diberikan Kemenkominfo terkait alasan pemblokiran situs Islam memunculkan banyak asumsi dan reaksi dari masyarakat.
Ada yang mensinyalir bahwa penutupan situs Islam hanya digunakan sebagai tameng untuk meredam isu kenaikan BBM. Karena momen pemblokiran situs Islam berdekatan dengan momen pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan BBM. Kenaikan BBM seperti biasanya pasti menimbulkan gejolak di masyarakat, namun kali ini nampaknya isu pemblokirkan situs Islam bisa mengalihkan perhatian masyarakat dari isu kenaikan BBM.
Namun tidak sedikit yang menilai juga bahwa pemblokiran situs-situs Islam online adalah upaya pembatasan gerak umat Islam oleh pihak-pihak tertentu, mengingat geliat keberagamaan muslim di Indonesia yang semakin menguat. Seperti kita ketahui bahwa muslim Indonesia mengalami peningkatan gairah keberagamaan dalam waktu belakangan ini. Muslim Indonesia banyak menyelenggarakan kegiatan keagamaan yang sifatnya masif atau berjamaah.
Mulai dari sedekah wakaf qurban berjamaah, pengajian dan tabligh akbar di mana-mana, gerakan tilawah dan menghafal Alquran juga semakin meluas, pesantren modern dan pendidikan berbasis Islam yang semakin maju dan diminati masyarakat, umroh dan wisata rohani juga menjadi sesuatu yang nge-trend di masyarakat. Gaya hidup Islami kian populer di kalangan muslim di Indonesia. Muslim Indonesia semakin percaya diri menampakkan identitasnya sebagai pemeluk agama Islam. Dan hal ini nampaknya membuat pihak-pihak yang tidak menyukai perkembangan Islam di tanah air mencari cara untuk merusak iklim Islami di negeri ini.
Banyak pihak juga yang menganggap bahwa reaksi pemerintah menanggapi isu radikalisme dengan menutup situs Islam lah yang merupakan tindakan radikal. Selain dinilai melanggar UU kebebasan pers yaitu UU No 40 tahun 1999, penutupan situs Islam ini bisa dianggap melanggar HAM, pemerintah bisa dianggap menutup akses masyarakat untuk mendapatkan keterbukaan informasi publik Selama ini situs-situs Islam yang ada banyak diakses oleh umat Muslim untuk mendapatkan informasi seputar dunia Islam. Karena situs-situs tersebut tidak hanya berisi berita tetapi juga berisi ceramah atau tausiyah dari berbagai ustadz.
Seperti yang dilansir inet.detik.com, "19 Website tak bisa diakses. Situs itu berdasarkan daftar yang beredar, diblokir atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terkait penyebaran paham radikal". Namun pemblokiran website itu mendapat protes.
"Sampai saat ini tidak ada penjelasan resmi dari Kemenkominfo. Tapi tiba-tiba saja menyeruak di masyarakat. Maksudnya apa, apakah operasi, atau apa. Pemerintah sebaiknya terbuka saja. Jangan tiba-tiba saja dan diam-diam. Pemerintah harus jelaskan," ujar Anggota Komisi I DPR, Zainuddin di Jakarta, Senin (30/3/2015).
Zainuddin mendukung upaya pemerintah dalam melakukan upaya-upaya mencegah penyebaran paham ISIS. Namun dengan melakukan pemblokiran secara diam-diam dan tertutup, Zainuddin menegaskan, sama dengan membredel kebebasan pers. Kebebasan pers dijamin dalam UU No 40 tahun 1999:
Ayat 1 yang berbunyi "Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara"
Ayat 2 yang berbunyi "Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran"
Ayat 3 yang berbunyi "Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi". "
"Kita mencoba menegakkan demokrasi dan menolak radikalisme agama. Tapi dengan membredel media, itu membunuh kebebasan pers yang menjadi pilar demokrasi," imbuh politisi PKS ini.
Dalam situs islampos, mantan Jendral Polri Irjenpol (Purn) Anton menuturkan bahwa di era reformasi ini, termasuk bidang hukum dan informasi media cetak, elektronik, cyber media, tidak boleh asal bredel dan asal blokir. Harusnya, Kemenkominfo mengkaji secara mendalam dengan bukti dan alat bukti yang terukur, bukan cuma pesanan. Meskipun pemerintah mengatakan tindakan itu adalah pemblokiran. Tapi menurutnya, nantinya adalah pembredelan.
Sesuai UU Pers Nomor 40/1999, seharusnya sudah tidak boleh ada pembredelan lagi. Anton berpendapat bahwa pemblokiran situs pornografi pembuktiannya sangat mudah dan terukur, sedangkan masalah akidah sangat kompleks dan rumit. Karena itu, kata Anton jika akan memblokir atau membredel situs Islam, Kemenkominfo jangan gegabah. Kemenkominfo tidak boleh pembredelan dilakukan hanya atas laporan satu lembaga tertentu. Harus melalui kajian mendalam dan melibatkan beberapa lembaga yang berkompeten, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), perwakilan ormas-ormas Islam, dan pakar-pakar Islam.
Pemblokiran situs Islam mengindikasikan bahwa pemerintah bersikap terlalu berlebihan terhadap umat Islam. Padahal biasanya negara-negara Barat (Eropa dan Amerika) yang melakukan tindakan yang membatasi umat Islam dikarenakan mereka mempunyai stigma negatif terhadap Islam. Sehingga kemudian mereka merasakan ketakutan berlebihan (islamophobia) terhadap apapun yang berhubungan dengan Islam.
Yang paling kentara Islamophobia biasa terjadi di Amerika dan Eropa. Bentuk-bentuk Islamophobia yang terjadi di Eropa misalnya: pelarangan pemakaian burka (cadar penutup muka) bagi muslimah di Prancis, diskriminasi terhadap pelaksaan dan pembangunan tempat ibadah umat Islam, pemeriksaan extra ketat di setiap imigrasi transportasi darat, laut, dan udara terhadap mereka yang beragama Islam atau mereka yang berasal dari negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Konflik yang terjadi antara penduduk asli dengan pendatang yang beragama Islam memicu munculnya citra negatif bagi umat muslim dan semakin lama menjadi Islamophobia.
Namun ternyata tidak bisa dipungkiri bahwa Islamophobia masih ada di Indonesia. Dan justru dilakukan oleh pemerintah sendiri. Hal ini menjadi aneh karena pemerintah yang seharusnya mengayomi mayoritas penduduknya yang muslim justru mengambil kebijakan yang menggambarkan Islamophobia. Kebijakan yang seolah-olah mengekang kebebasan umat muslim untuk mendapatkan informasi dengan menutup akses media Islam.
Berbicara mengenai Islamophobia sebenarnya sejak zaman Belanda masih menjajah Indonesia sudah ada, namun lebih dilatarbelakangi kepentingan politik dan kekuasaan. Pada era Orde Lama dan Orde Baru juga demikian, kepentingan politik menjadi dasar para penguasa bertindak tidak adil pada ulama-ulama, aktivis-aktivis, gerakan-gerakan dan organisasi-organisasi Islam.
Seharusnya di era Reformasi, Islamophobia sudah tidak ada lagi di Indonesia. Semangat kebebasan yang diusung para pejuang reformasi seyogyanya juga memberikan ruang kebebasan bagi umat Islam di negeri ini untuk beribadah dan mengembangkan keislamannya sebebas mungkin tentunya sesuai dengan syariat Islam itu sendiri. Tetapi nyatanya setiap ada isu dari luar negri tentang gerakan sekelompok orang yang dianggap radikal, umat Islam di dalam negeri juga ikut terkena imbasnya, ikut dicurigai, ikut dibatasi, dan yang terbaru ditutup akses medianya.
Konferensi Internasional tentang Islamophobia bertajuk: Hukum dan Media, yang diselenggarakan pada 12-13 September di Grand Tarabya Hotel Istanbul, dilaporkan telah berakhir pada hari Jumat (13/9). Konferensi ini digelar oleh Direktorat Jenderal Pers dan Informasi (BYEGM) Turki dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI). “Islamophobia dianggap sebagai isu HAM, karena implikasinya pada intoleransi, pengucilan, dan diskriminasi, yang berujung pada kebencian dan kejahatan terhadap Muslim,” kata Direktur Jenderal BYEGM, Murat Karakaya.
Islamophobia bisa menimbulkan intoleransi, pengucilan dan diskriminasi yang berujung pada kebencian dan kejahatan terhadap muslim. Negara Indonesia terkenal dengan sikap toleransi antar umat beragama. Propaganda Islamophobia dapat merusak sikap toleransi yang selama ini sudah ada dan terjaga di masyarakat. Citra Islam menjadi tercoreng dan masyarakat menjadi takut untuk bergaul dengan anggota lainnya yang tidak sepaham dengan kelompok mereka.
Pemblokiran situs Islam adalah salah satu bentuk diskriminasi terhadap media Islam khususnya dan umat Islam pada umumnya. Ada banyak media yang lebih membahayakan generasi bangsa dengan mengedarkan konten pornografi dan kekerasan namun masih bebas diakses. Sedangkan media yang menyebarkan konten kebaikan dan ajaran agama justru ditutup.
Pemerintah sebaiknya segera mengambil langkah bijak terkait isu pemblokiran situs Islam ini agar tidak terjadi keresahan yang lebih besar di masyarakat. Berdialog dengan berbagai elemen masyarakat, tokoh masyarakat, ulama, organisasi Islam dan pengelola media Islam untuk mencari jalan keluar terbaik mencegah penyebaran paham radikal di masyarakat, agar keputusan yang diambil tidak merugikan bagi kepentingan seluruh bangsa ini.
*) Puji Hariyanti adalah Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia.
(nwk/nwk)











































