Meng-IT-kan Korupsi dan Meng-Korupsi-kan IT
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Meng-IT-kan Korupsi dan Meng-Korupsi-kan IT

Minggu, 29 Mar 2015 01:14 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Meng-IT-kan Korupsi dan Meng-Korupsi-kan IT
Jakarta - Pekan lalu, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana resmi berstatus tersangka. Status ini disematkan oleh Bareskrim Polri dalam proses penyidikan Payment Gateway. Payment Gateway ini adalah salah satu terobosan kementerian yang dipimpin Denny untuk pembayaran pengurusan dokumen. Salah satunya adalah dokumen paspor.

Melalui teknologi informasi, masyarakat dimudahkan dalam proses pembayaran, sehingga proses aplikasi paspor dapat lebih cepat diselesaikan.β€Ž Namun sayangnya, penegak hukum dalam hal ini Kepolisian menyangka terobosan ini mengandung aksi koruptif.

Sangkaan korupsi dari terobosan teknologi informasi juga dialami oleh perusahaan IM2 dan mantan direktur utamanya, Indar Atmanto. Anak perusahaan Indosat dan mantan pemimpinnya didakwa melakukan aksi korupsi dari aksi bisnis teknologi informasi. Saat ini, yang bersangkutan sudah divonis bersalah. Sebuah vonis yang dianggap sebagian pelaku bisnis teknologi informasi sebagai vonis ngawur. Upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali akhirnya dilakukan oleh Indar dan IM2.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sisi lain, teknologi informasi kerap diagungkan sebagai salah satu solusi dalam pencegahan korupsi. Teorinya, penggunaan teknologi informasi dalam proses pengadaan barang dan jasa (e- procurement) hingga penyusunan anggaran (e-budgeting) menjamin keterbukaan dan transparansi.

Namun faktanya, proses e-procurement pun tetap bisa "diakali" oleh oknum eksekutif dan legislatif. Buktinya, kehebohan proses pengadaan UPS di berbagai sekolah menengah negeri di Jakarta membuka tabir ada hal koruptif yang terjadi.

Menurut sumber internal KPK dalam sebuah diskusi, penggunaan teknologi informasi ternyata masih bisa diakali oleh oknum-oknum yang memang sejak awal berniat korupsi. Ada beberapa upaya melakukan korupsi melalui teknologi informasi. Salah satunya adalah mengaktifkan server database e-procurement di jam-jam tertentu dengan durasi relatif singkat. Penyedia barang dan jasa yang sudah dikondisikan untuk ikut serta akan memperoleh bocoran mengenai waktu server dihidupkan. Setelah itu server kembali dimatikan, sehingga penyedia barang dan jasa yang "tidak terkondisikan" gagal mengunggah dokumen penawaran harga.

Jika cara mematikan server dianggap terlalu frontal, admin server dapat menurunkan besaran bandwidth server hingga taraf minimal. Jadi, server tetap selalu aktif namun karena minimnya bandwidth, dokumen penawaran dari penyedia yang "tak terkondisikan" tetap tidak bisa masuk, karena umumnya ukuran byte dokumennya relatif besar.

Jelas sekali, ada kesalahan atau setidaknya ketidaksinkronan antara niat baik menggunakan fasilitas IT dengan upaya pencegahan korupsi. Ada yang tetap korupsi dengan "mendompleng" teknologi informasi atau saya sebut sebagai "meng-IT-kan korupsi", ada juga yang menyangka penggunaan IT dapat menjadi sebuah aksi korupsi atau saya sebut sebagai "meng-korupsi-kan IT".

Dalam hal meng-korupsi-kan IT, para penegak hukum harus dibekali pengetahuan mumpuni mengenai perkembangan teknologi informasi. Walaupun ada kecurigaan kriminalisasi, tulisan ini berupaya tidak masuk ke ranah politisasi atau kriminalisasi hukum. Logikanya, para penegak hukum atau dalam hal ini reserse kepolisian dan penyidik kejaksaan harus meng-update pengetahuannya mengenai teknologi informasi. Setidaknya, mendengar dan memperhatikan pandangan regulator yang bergerak di bidang teknologi informasi.

Kemudian, dalam hal meng-IT-kan korupsi, ini yang relatif lebih kompleks. Kalau korupsi memang sudah diniatkan, walau oknum-oknum tersebut sudah dicegah, mereka tetap berupaya mencari celah. Kita mungkin masih ingat slogan dari seorang politisi beberapa waktu lalu. If there is a will, there is a way. Jadi, jika ada kemauan (untuk korupsi), di situ ada jalan (untuk korupsi).

Korupsi dinilai terjadi karena 3 sebab. Karena kebutuhan finansial, karena sistem, dan karena keserakahan. Korupsi karena kebutuhan finansial dapat dicegah dengan perbaikan sistem remunerasi. Korupsi karena sistem atau budaya dapat dicegah dengan revitalisasi dan restrukturisasi sistem dan perubahan budaya. Salah satunya ya menggunakan sistem teknologi informasi.

Nah, kalau remunerasi sudah diperbaiki dan sistem sudah diperbaharui tapi korupsi masih terjadi, besar kemungkinan korupsi yang terjadi adalah karena keserakahan. Korupsi karena keserakahan tampaknya hanya ada dua solusi. Solusi pertama adalah sang pelaku diingatkan dan diberikan hidayah oleh Tuhan. Adapun solusi kedua adalah jikalau sudah diingatkan dan diberikan hidayah oleh Tuhan tetap tidak mempan, mungkin sang pelaku memang sebaiknya "dipanggil" Tuhan.

Keterangan Penulis:
Alumni Program Master ICT in Business, Leiden University, Belanda


(es/es)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads