Merespons ISIS, Belajar dari Strategi Negara Lain
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Merespons ISIS, Belajar dari Strategi Negara Lain

Kamis, 19 Mar 2015 10:34 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Merespons ISIS, Belajar dari Strategi Negara Lain
Jakarta - Perkembangan kelompok militan dan radikal Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) yang semakin menggemparkan dunia dewasa ini, telah menjadi fokus perhatian utama beberapa negara termasuk Indonesia. Terutama pasca 16 WNI yang berusaha ke Suriah yang diduga BIN akan bergabung dengan ISIS, dan dalam pemberitaan terakhir melalui media massa mereka juga menolak dideportasi ke Indonesia oleh Pemerintah Turki.

Fenomena ISIS memang sangat mencengangkan, bahkan kelompok ini benar-benar telah menjadi 'episentrum perlawanan' terutama dengan bergabungnya sejumlah kelompok radikal/militan dalam ISIS seperti yang dilakukan Boko Haram di Nigeria tanggal 7 Maret 2015 yang menyatakan sumpah setia kepada kelompok militan yang menamakan diri Negara Islam (ISIS). Dalam penyataannya yang disampaikan melalui audia dan diposting di akun Twitter Boko Haram, pemimpin Abubakar Shekau mengatakan, "Kami mengumumkan kesetiaan kami kepada khalifah Ibrahim dan akan mendengar, taat pada waktu suka dan duka".

Reuters memberitakan, Jubir ISIS, Abu Mohammad Al-Adhani melalui pesan audio menyatakan, pimpinan ISIS, Abu Bakar Al Bahgdadi telah menerima kesetiaan Boko Haram. Kesetiaan Boko Haram akan menjadi pintu untuk berjihad di Afrika bagi mereka yang belum bergabung dengan ISIS. Sebelumnya, janji setia Boko Haram diunggah di akun twitter dan dalam pesan audio pemimpin Boko Haram Abubakar Shekau mengatakan, kesetiaannya kepada khalifah Ibrahim dan akan mendengar serta taat pada waktu suka dan duka.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

'Kehebatan' ISIS lainnya adalah mereka mampu untuk merekrut atau 'menculik' atau 'mempengaruhi' beberapa orang dari berbagai negara untuk menjadi anggota atau simpatisannya. Kepolisian Malaysia mensinyalir sekitar 120 warga negara (WN) Malaysia memiliki keterkaitan dengan kelompok Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS), dikaitkan dengan adanya data penangkapan terhadap sekitar 70 orang WN Malaysia yang akan berangkat ke Suriah, sementara 50 orang lainnya telah bergabung dengan ISIS di Suriah. Sejak 2013, aparat kepolisian Malaysia telah menangkap 71 orang tersangka elemen ekstrimis yang ikut serta dalam ISIS, dimana 58 orang di antaranya berkewarganegaraan Malaysia.

PM Prancis Manuel Valls mengungkapkan perkiraannya sekitar 10 ribu orang Eropa akan bergabung dengan ISIS selama 2015. Penilaiannya tersebut didasarkan pada fakta bahwa, hingga Maret 2015, sudah 3.000 warga Eropa yang pergi ke Irak dan Suriah. PM Valls juga menyatakan sedikitnya 90 warga Prancis tewas sebagai anggota ISIS. Uni Eropa mencatat Prancis dan Belgia sebagai negara yang penduduknya paling terimbas oleh radikalisasi kelompok ISIS. Sejak Februari 2015, Prancis telah memberlakukan UU Anti-Terorisme guna mengantisipasi radikalisasi ISIS. Selain Perncis, Jerman juga dihadapkan pada kekhawatiran akan radikalisasi ISIS.

Sementara itu, Kepala Intelijen Militer Jerman Christof Gram menyatakan bahwa, instituti militer Jerman berpotensi menjadi tempat pelatihan bagi setiap orang sebelum bergabung dengan ISIS. Untuk itu, Jerman akan meningkatkan sistem seleksi dan pemeriksaan dan calon prajuritnya. Menurut Gram, sekitar 900 warga Jerman bergabung dengan ISIS di Suriah, dan 20 orang di antaranya eks anggota tentara. Dari 900 orang tersebut, 70 orang diperkirakan tewas, termasuk 10 orang yang melakukan bom bunuh diri. Jerman kini tengah mewaspadai 180 orang yang pulang dan akan menjadi penyebar paham radikalisme Islam bagi umat Muslim Jerman.

Pemerintah Bangladesh membenarkan bahwa seorang warganya menjadi salah satu dari 10 warga asing korban penculikan kelompok ISIS di Libya, saat terjadinya aksi penyerangan kelompok ISIS terhadap ladang minyak Al-Ghani pada awal Maret 2015. Sedangkan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Filipina, Charles Jose mengatakan, sejauh ini telah terjadi peningkatan ancaman terhadap keselamatan/keamanan warga negara (WN) Filipina yang bekerja di ladang minyak Libya, dan disinyalir menjadi target penculikan oleh kelompok ISIS. Sinyalemen tersebut didasari menyusul hilangnya 4 WN Philipina dalam insiden serangan di ladang minyak Al-Ghania pada 6 Maret 2015 dan 3 lainnya dalam insiden serupa di ladang minyak Al-Mabruk pada awal Februari 2015.

Strategi Negara Lain

Beberapa negara untuk meminimalisir ancaman radikalisme, terorisme dan perkembangan ISIS, telah melakukan sejumlah terobosan kebijakan, strategi dan regulasi, yang sebelumnya beberapa negara juga mengakui merebaknya ISIS juga disebut sebagai 'intelligence failure' yang terjadi di beberapa negara target ISIS.

Malaysia misalnya sedang menyusun Rancangan Undang-Undang (UU) Pencegahan Kegiatan Terorisme (The Prevention of Terrorism Activities/POTA), yang bertujuan untuk mengantisipasi dan mencegah kegiatan teror yang dilakukan oleh anggota ISIS dan teroris lainnya, baik dari dalam maupun luar Malaysia. RUU tersebut akan mengizinkan pihak berwenang untuk menahan tersangka teroris selama 2 tahun dengan kemungkinan perpanjangan 2 tahun.

Sementara itu, Pemerintah Pakistan juga akan meningkatkan kerja sama pertukaran informasi intelijen dengan beberapa negara untuk mengantisipasi masuknya pengaruh ISIS ke Pakistan. Langkah tersebut dilakukan karena adanya sinyalemen bahwa beberapa tokoh dari kelompok radikal Pakistan telah berbaiat kepada ISIS, di antaranya mantan Jubir kelompok Tehrik-e-Taliban Pakistan (TTP), Shahidullah Shahid.

Di New York, Kepala Staf Gabungan Jenderal Martin Dempsey, Menlu John Kerry dan Menhan Ash Carter meminta Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS memberi wewenang lebih besar kepada Presiden AS, Barack Obama untuk memerangi ISIS.

Sedangkan, Pemerintah Prancis memperpanjang kebijakan khusus tentang anti-terorisme hingga awal Juli 2015. Menurut Menhan Jean-Yves Le Drian, Prancis akan memberlakukan kebijakan anti-terorismenya selama diperlukan, mengingat tingkat ancaman terorisme terhadap Perancis masih tetap tinggi. Prancis memberlakukan kebijakan anti-terorisme sejak Januari 2015, setelah terjadi serangan teror terhadap majalah Charlie Hebdo.

Bagaimana dengan Indonesia?

Walaupun ada beberapa WNI yang menjadi anggota ISIS dan sejumlah daerah diduga sebagai basis perekrutan anggota ISIS di Indonesia, namun pemimpin tertinggi ISIS belum menargetkan Indonesia sebagai 'medan laganya', walaupun potensi untuk dilakukannya hal tersebut sangat memungkinkan, jika ini terjadi jelas akan menjadi 'dissaster' bagi Indonesia apalagi ditanah air ada persoalan Sunni vs Syiah, Ahmadiyah vs non Ahmadiyah, serta aliran sesat.

Diperlukan kebersamaan, pemahaman akan pentingnya pluralisme dan nasionalisme untuk mencegah radikalisme dan terorisme di Indonesia, termasuk sejumlah perubahan regulasi serta revitalisasi dan restrukturisasi pelaksanaan deradikalisasi dan disengaggement yang selama ini tampaknya belum maksimal hasilnya, karena pelaksanaannya masih tumpang tindih. Harus ada comprehensive and integrated national plan menghadapi ancaman teror dan radikal di Indonesia.

*) Amril Jambak adalah pemerhati masalah Indonesia, peneliti Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia.

(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads