Aneh bin ajaib. Jokowi lurus, tegas, populis, menyemaikan harapan rakyat tentang datangnya zaman gemilang, tiba-tiba dalam hitungan bulan telah berubah haluan. Puting beliung mengobrak-abrik suasana batin rakyat. Membelokkan secercah harapan itu pada kaca benggala kekelaman.
Ada yang tidak nyambung dengan semua itu. Kita pun dibuat tidak percaya, bahwa itu adalah langkah Presiden Jokowi. Presiden yang telah menyihir kita dengan tampilannya yang sederhana, ceplas-ceplos, dan bertindak mendekati naluri rakyat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ini makin memperpuruk keadaan dengan ‘ditangkapnya’ Bambang Widjojanto. Peristiwa susul-menyusul yang menempatkan KPK sebagai pihak yang dizolimi itu kian mengental. Bola salju itu semakin membesar. Ini yang memaksa siapa saja yang masih punya hati nurani, simpati dan berempati terhadap institusi penjerat koruptor itu.
Situasi itu menempatkan Presiden Jokowi menerima awu anget. Bola panas. Dia dipaksa untuk sigap dan bertindak tegas jika tidak ingin dirinya terbakar. Kendati sikap ini akan bentrok dengan ‘politik balas budi’ yang terlihat terang benderang dalam kasus ini, tetapi ketegasan itu sangat amat penting.
Dalam dunia wayang, gonjang-ganjing tidak karuan ini tersketsa dalam Petruk Kantong Bolong dan Pandu Dewanata. Petruk adalah anak menderita dibuang keluarga. Ditolong Lurah Semar bijak, diambil anak, dididik, untuk dikenalkan etika dan harga sebuah pengabdian.
Sedang Pandu Dewanata, dari keluarga terhormat yang menjaga kehormatan itu. Dia jujur dan berani demi kebenaran. Sampai-sampai dia disebut berdarah putih, saking suci dan bersihnya. Dia pun akhirnya menjadi raja tanpa batas.
Petruk menempati tahta tertinggi, itu ketika negara tertimpa musibah. Jimat Kalimasada (jati diri bangsa) berhasil dikuasai lawan. Saat situasi chaos, Petruk mendapat rembulan. Jimat itu terlempar padanya. Demi keselamatan negara dan dilandasi kesadaran ketidak-mampuan menghadapi lawan, maka jimat itu ditelan. Yang terjadi, Petruk yang rakyat biasa itu berubah wajah, dan sakti mandraguna.
Dia jadi sulit ditaklukkan. Satria mana saja, dari kerajaan lawan maupun kawan semuanya kalah. Kerajaan diserahkan. Petruk akhirnya diangkat menjadi raja. Raja dari rakyat jelata, yang bagi pembuat cerita, siapa tahu mengilhami dirinya, bahwa kemiskinan dan penderitaan yang pernah diderita tidak lagi terjadi pada rakyatnya.
Tetapi yang terjalani justru sebaliknya. Kuasa dan harta membuatnya loba dan pongah. Pesta dan foya-foya dilakukan di mana-mana. Sikap sopan dan luhur yang dulu mengkohesi menjadi sirna. Adigang dan adigung adalah waktu yang menyertainya.
Petruk, proletar itu ketika berkuasa, menggunakan kuasa dan harta sebagai pelampiasan dendam masalalu. Bukan mengentas kemiskinan, menghilangkan derita rakyat agar tidak lahir ‘Petruk-Petruk miskin’ baru. Tapi nyatanya, ketika ‘Petruk Raja’ berkuasa, justru bertumbuhan ‘Petruk-Petruk papa, teraniaya, dan semakin banyak rakyat tak berdaya.
Presiden Jokowi, dulu dipersonifikasikan sebagai Petruk yang jadi presiden. Itu karena latar belakang keluarganya. Namun sikapnya yang memenuhi unsur hastabrata memberi keyakinan pada rakyat, bahwa dialah Pandu kekinian. Pemimpin yang santun, anggun, dan berani demi kebenaran.
Sekarang pembuktian, sosok seperti apakah Presiden Jokowi itu, ketika negara sedang membutuhkan ketegasan. Beranikah Jokowi tampil ke depan seperti Pandu yang tidak punya pamrih? Atau dia telah berubah jadi Petruk beneran, yang nanti akhir ceritanya adalah ger-geran. Raja yang jadi guyonan.
*) Djoko Suud, budayawan dan pemerhati sosial
(asy/asy)