Sejak tahun 1977-1997 pelayanan air minum Jakarta dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Kita tau semua bahwa PDAM kala itu reputasinya buruk dan belum bisa memberikan pelayanan yang berkualitas bagi konsumen. Kala itu patut diduga PDAM juga menjadi sarang korupsi, misalnya korupsi pengadaan pipa dan meter. Sehingga sering pegawai PDAM tidak mengambil gaji bulanan karena sudah cukup dari pekerjaan ilegalnya.
Jadi jangan heran jika pada tahun 1997 Pemerintah akhirnya menyerahkan pengelolaan air minum di DKI Jakarta kepada pihak swasta nasional dan asing dengan berlandaskan adanya suatu Perjanjian Kerja Sama. Pihak swasta asing yang diundang kala itu adalah operator kelas dunia, seperti Thames Water Internastional (TWI) dari Inggris untuk wilayah Jakarta sebelah Barat Sungai Ciliwung dan Lyonnaise des Eaux (LDE) dari Prancis untuk wilayah Jakarta sebelah Timur Sungai Ciliwung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kawin paksa ini bukannya menyelesaikan masalah tetapi menimbulkan masalah baru. Sementara konsumen tetap tidak mendapatkan pelayanan air minum yang baik sampai hari ini. Lalu munculah gugatan Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) melalui Citizen Law Suit. Apa benar paska gugatan ini air minum (yang tidak bisa diminum) akan menjadi lebih baik?
Problem Sebenarnya Persoalan Air Minum di Jakarta
Ketersediaan air minum di wilayah DKI Jakarta tidak hanya tergantung sepenuhnya pada kualitas manajemen pelayanan 2 operator swasta pengelola air minum, namun sebagian besar tergantung pada kualitas dan volume sumber air baku serta jaringan utama air baku ke unit pengolahan air minum (Water Treatment Plant/WTP) milik kedua operator tersebut.
Pengolahan air minum di Jakarta sangat tergantung pada ketersedian air baku. Sekitar 90% tergantung pada Perum PJT II Jatiluhur. Sisanya menggunakan air curah dari Sungai Cisadane di Kabupaten Tangerang. Sebagai BUMN di bawah kendali Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Perum Jasa Tirta (PJT) II belum optimal menjadi pensuplai air baku ke wilayah DKI Jakarta.
Kualitas dan debit air baku minimum tidak bisa dijaga oleh Perum PJT II. Persoalan lain, air baku mengalir masuk ke wilayah DKI Jakarta melalui Tarum Barat (Kali Malang) yang dalam perjalanannya ke Jakarta, air juga diperlukan untuk irigasi sawah yang cukup besar apalagi di musim kemarau, sehingga debit bermasalah. Di tahun 2015 kedua operator akan mengalami defisit debit air sekitar 9.100 lps atau sekitar 9.1 m3/detik. Siapapun operatornya, masalah ini tidak akan terpecahkan dalam 5 tahun mendatang.
Air baku dalam perjalanannya ke wilayah DKI Jakarta juga tercampur dengan air Sungai Bekasi yang sangat tercemar dan bau di Bendung Bekasi, sehingga membuat pengolahan air minum di operator menjadi sangat mahal. Pembuatan siphon yang dimulai pada tahun 2010 di pertemuan Tarum Barat dengan Sungai Bekasi banyak kendalanya dan hingga hari ini belum bisa optimal memisahkan air baku dari Tarum Barat dengan air Sungai Bekasi yang tercemar.
Persoalan bertambah buruk ketika hujan, air baku akan dibuang ke laut karena kalau tidak akan menggenangi wilayah Kabupaten Bekasi. Otomatis meskipun musim penghujan, Jakarta akan tetap kekurangan air baku. Selain itu faktor kebocoran yang disebabkan oleh pencurian air melalui pipa utama oleh masyarakat, memodifikasi meter dan pencurian melalui hidran yang diperuntukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) oleh oknum tidak bertanggungjawab sangat tinggi, sehingga merugikan kedua operator dan tentunya konsumen.
Di wilayah operasi PT Aetra di tahun 2014 mencapai kebocoran yang tidak bisa ditagihkan (Non Revenue Water/NRW) mencapai 41,59%. Seangkan PT Palyja mencapai 39,60%. Kebocoran ini jika dihitung secara Rupiah nilainya sangat fantastis. Akibatnya pembangunan infrastruktur dan peningkatan pelayanan terganggu.
NRW merupakan dampak dari tindak kriminal yag harus diberantas oleh pihak yang berwajib/Kepolisian bersama PAM Jaya dan kedua operator. Siapapun operatornya akan mengalami hal yang sama.
Kalaupun upaya Pemprov DKI Jakarta melalui PAM Jaya (d/h PDAM), PT Pembangunan Jaya dan PT Jakarta Propertindo untuk mengambil alih pengelolaan air minum terlaksana, dapat dipastikan tidak akan memperbaiki kualitas air minum di wilayah DKI Jakarta. Mengapa? Karena sumber masalahnya bukan hanya di operator tetapi pada beberapa hal kritis diatas.
Kita sudah punya pengalaman bagaimana kualitas PAM Jaya mengelola air minum di Jakarta sampai tahun 1997. Sama dan bahkan lebih buruk dari sekarang. Saya khawatir jika pengelolaan air minum kembali diambil alih Pemprov DKI Jakarta melalui PAM Jaya atau BUMD baru, selama persoalan diatas tidak dapat diselesaikan, adanya air minum yang berkualitas akan sebatas mimpi.
Begitupula dengan upaya Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) memenangkan gugatan CLS (Citizen Law Suit) di Pengadilan Negeri baik, namun saya khawatir akan sia-sia kalau permasalahan diatas belum diselesaikan. Warga DKI Jakarta tetap akan kesulitan air bersih. Siapapun dan sehebat apapun pengelolanya.
Penyelesaiannya
Pertama, pastikan Perum PJT 2 bersama Direktorat Sumber Daya Air, Kementrian PU mempunyai strategi dan langkah-langkah nyata untuk menjaga lingkungan sekitar Waduk Jatiluhur dan aliran utama air baku ke DKI Jakarta.
Kedua, manajemen air baku ke Jakarta harus dilakukan dengan baik, misalnya bangun pipanisasi air baku dari Waduk Jatiluhur menuju unit pengolahan air milik PAM Jaya/operator swasta. Sehingga kepastian debit dan kulitas terjaga.
Untuk itu supaya harga air terjangkau pipanisasi harus dibangun menggunakan dana multi tahun APBN sebagai sunk cost pembangunan infrastruktur. Sehingga investasi pipa tidak perlu dihitung dan dibebankan pada tarif.
Ketiga, persoalan pencurian air yang menyebabkan NRW membengkak harus ditindak secara tegas bersama aparat Pemprov dan Kepolisian melalui denda yang cukup tinggi maupun kurungan untuk efek jera.
Keempat, laksanakan semua Undang Undang tentang Air beserta aturan pelaksanaannya termasuk Peraturan Daerahnya, seperti : UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2008 Tentang Air Tanah, Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Nasional Pengelolan Sumber Daya Air dan sebagainya.
*) Agus Pambagio, Pengamat Kebijakan Publik
(nwk/nwk)