Menunggu Palembang Tenggelam
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Menunggu Palembang Tenggelam

Rabu, 26 Jan 2005 12:03 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Kalau saja kakekku masih hidup dan menyaksikan Kota Palembang pada hari ini, mungkin dia sama sekali tidak menyangka, bekas ibukota Kesultanan Palembang Darussalam ini kebanjiran. Apalagi disebabkan meluapnya Sungai Musi.Saat kakekku hidup, sekitar akhir Abad ke-19, Palembang dikenal sebagai kota air. Bahkan, berdasarkan beberapa catatan dari pengelana Cina, Belanda atau Arab, Palembang merupakan kota air yang paling aman dan indah yang diramaikan para pedagang dari berbagai penjuru. Benar-benar darussalam, tempat yang aman dan tentram."Jumlah penduduknya sekitar 100 ribu orang, sekitar 25 ribu orang di Palembang dan sekitar 75 ribu orang tersebar di daerah-daerah. Di Palembang, kita tidak melihat penduduk yang tanpa rumah atau si miskin yang kelaparan, semua orangnya penuh kecerahan. Pelabuhan Palembang dibandingkan dengan pelabuhan bangsa Melayu lainnya, menurut pendapat orang-orang pribumi dan Eropa, adalah pelabuhan yang paling aman dan teratur."Demikian laporan Mayor M.H. Court, mantan Residen Palembang dan Komandan Pulau Bangka pada zaman pendudukan Inggris (1812-1816), yang dikutip dari catatan budayawan Djohan Hanafiah.Bahkan, sekitar 1.300 tahun lalu, sebelum sejumlah kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan lahir, Palembang telah menjadi kota terbesar di kawasan Nusantara. Ini seperti dikatakan It-sing, seorang penjelajah dari Cina.Menurut It-sing, Palembang adalah pusat pendidikan agam Budha, jumlah pendetanya mencapai kurang lebih seribu orang. Sebagai pusat kekuatan maritim, penguasanya yang bernama Depunta Hyang, mampu memobilisasi pasukannya sebanyak 20 ribu orang tak kurang dari sebulan.Itu kekuatan Palembang pada 682 Masehi. Coba bandingkan dengan Jakarta pada 1623 atau setelah berumur 100 tahun hanya mempunyai penduduk sebanyak 6.000 orang. Jadi, jika Palembang dulunya bukan daerah yang aman, dalam hal ini aman dari ancaman bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, mungkinkah dia akan menjadi pusat kegiatan ekonomi, pendidikan dan politik itu.Lalu, berdasarkan catatan seorang pelaut Arab yang bernama Abu Zaid Hasan di awal Abad ke-10, menyebutkan, "Pantas dapat dipercaya bahwa ayam jantan di negeri ini (Palembang) berkokok pada subuh dan terus menerus berkokok ini bersahutan dengan ayam jantan lainnya yang berjarak lebih dari 100 parasang (satu parasang kurang lebih 6,25 kilometer), karena kampung-kampungnya berkesinambungan sama satu sama lain tanpa putus."Gambaran Abu Zaid Hasan itu terus bertahan hingga kunjungan Alfred Russel Wallace, seorang pakar biologi dan pesaing Charles Darwin, ke Palembang pada 1862. Menurut Wallace, Melayu tulen di Palembang tidak akan membangun sebuah rumah di atas tanah kering, selagi mereka masih dapat membangun di atas air, dan tidak akan pergi ke mana-mana dengan berjalan kaki selagi mereka dapat mencapainya dengan perahu.Lalu, mengapa Palembang seperti sekarang ini, menjadi daerah yang rawan banjir setiap musim hujan seperti juga Jakarta?Dalam satu perbincangan, Djohan Hanafiah bertutur, saat Pemerintah Kolonial Belanda berkuasa di Palembang pada 1906, Kesultanan Palembang diubah menjadi Kotapraja alias Gemeente atau menurut lidah pribumi disebut Haminte. Lantaran tuntutan para kapitalis yang menanamkan investasinya di Palembang dan di daerah pedalaman, modernisasi dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.Mereka menimbun banyak rawa-rawa dan sungai, termasuk menimbun Sungai Tengkuruk dan mematikan Sungai Sekanak, anak sungai terbesar dan terpanjang milik Sungai Musi. Akibatnya, selain merusak tatanan kehidupan masyarakat Palembang, yang terombang-ambing bertahan hidup di air atau di darat, juga membuat sejumlah kawasan yang ditimbun menjadi tergenang saat musim hujan dan berdebu saat musim kemarau.Ternyata konsep pengembangan kota oleh kolonial Belanda itu diteruskan oleh Pemerintah Indonesia. Baik di era Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi, pemerintah terus menimbun rawa-rawa dan sungai. Kini, aku menunggu Palembang tenggelam... (/)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads