Partai Golkar pecah. Satu kubu diketuai Ical. Kubu lain dipimpin Agung Laksono. Jika tidak secepatnya islah, partai ini akan lumpuh. Bingung memerankan fungsinya di legislatif. Juga kehilangan kesempatan dalam perebutan kuasa di daerah.
Tapi untuk melakukan islah bukan persoalan sederhana. Sebab konflik tidak hanya memunculkan dualisme kepengurusan, tapi juga melahirkan deretan panjang sosok-sosok sakit hati. Baik karena dipecat maupun yang merasa tidak diberikan ruang untuk berkompetisi dalam partai ini.
Kalau memasuki ranah hukum, memang kemungkinan kelompok Ical yang akan menang. Tapi yang perlu disadari, kemenangan itu hanyalah bentuk lain dari kekalahan partai ini. Sebab proses hukum itu memakan waktu lama. Segalanya bisa berubah. Dan selama menunggu itu biduk besar akan tenggelam yang berimbas kekalahan di Pemilu mendatang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi orang luar, tidak ada yang mengira, partai besar ini bisa tercabik seperti sekarang. Partai yang dipandegani orang-orang ‘pinter’ berpolitik itu telah teruji waktu, tetap survive. Mereka jenius menyikapi zaman, dan jeli melihat bahaya yang bakal mengancam.
Namun mengapa kejelian, kepekaan, dan kejeniusan itu kini berubah menjadi labyrin yang pekat dan sulit untuk dilihat? Itu rasanya karena ambisi dan egoisme pribadi. Ambisi personal di elit partai ini, dan ego yang mengasumsikan ‘lawan’ dalam diri sendiri tidak perlu diakomodasi. Padahal, menyudahi lawan itu sama artinya dengan mencalonkan kawan sebagai negator baru.
Agung Laksono adalah tokoh yang mengisi peran itu. Selain Yorris, Priyo, yang belakangan mengikuti langkah serupa karena merasakan perlakuan yang sama. Tapi kenapa Agung Laksono mendapat atribut itu? Ini tidak lepas dari berubahnya peta politik di partai ini di puluhan tahun lalu. Akbar Tandjung sebagai incumbent kalah di Munas Bali tahun 2004. Di balik kekalahan itu, Agung-lah yang memuluskan jalan Jusuf Kalla (JK) menuju Ketum Partai Golkar baru kala itu.
Sejak itu Agung dianggap sebagai ‘tukang salip’ di tikungan. Dia tidak bisa dianggap enteng. Dia perusak skenario jika tidak diberi peran. Ini pula yang melatari Agung Laksono masuk dalam jajaran ‘kabinet Ical-Akbar’ dalam Munas Pekanbaru yang ketat. Memenangkan pasangan ini, mengalahkan Surya Paloh.
Agung yang sudah lama berkiprah sebagai bayang-bayang itu, dalam Munas kali ini ingin maju memperebutkan jabatan Ketum. Dia minta diberi kesempatan itu. Bersaing secara fair dengan kandidat lain, seperti MS Hidayat, Syarif Cicip, Priyo Budi dan yang lain.
Tapi para senior enggan bergeser. Mereka tetap maju. Memaksa secara pseudo agar para yunior membatalkan niatnya. Agung pun melakukan pemberontakan. Bersama kandidat ketum yang lain, tokoh-tokoh muda, dan mereka yang disingkirkan, akhirnya Agung berhasil ‘men-dualisme-kan’ Partai Golkar melalui Munas Ancol.
Kronologi peristiwa ini bak ‘nyeret carang soko pucuk’. Menarik ranting bambu dari ujung. Tidak hanya kesulitan yang didapat, tetapi muskil untuk berhasil. Lelah pasti. Dan kesia-siaan adalah buah dari konflik yang terjadi dalam Partai Beringin ini.
Kini, beringin yang secara metafisis menjadi rumah Sang Mbaurekso itu mulai kehilangan yoni (tuah)-nya. Simbol dari penguasa adi-kodrati itu telah lowong. Ambisi dan egoisme yang melebihi batas membuatnya ditinggal roh kuasa. Untuk itu jika tidak secepatnya terjadi islah, pada pemilu nanti Partai Golkar akan jadi macan ompong.
Itu karena kata Machiavelli, kekuasaan itu boleh sesekali berbohong. Tapi jika terus-terusan bohong, yang terjadi justru perlawanan. Bohong yang dimaksud adalah janji para senior memberi ruang yang muda untuk berkontribusi dalam Partai Golkar yang tidak kunjung ditepati.
Benarkah jika proses hukum nanti berjalan di ‘Golkar Kembar’ ini akan dimenangi Ical cs? Rasanya kok tidak begitu. Yang paling moderat adalah digelar munas ulangan. Bukan Ical dan Agung yang menang, tetapi MS Hidayat atau Erlangga Hartarto yang madeg keprabon. Benarkah begitu? Kita ikuti sekuel gonjang-ganjing Partai Golkar ini berikutnya.
*) Djoko Suud, Budayawan, tinggal di Jakarta
(asy/asy)