Monitoring Kinerja Kabinet Kerja
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Catatan Agus Pambagio

Monitoring Kinerja Kabinet Kerja

Senin, 22 Des 2014 15:49 WIB
Agus Pambagio
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Sejak dilantik oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) tanggal 27 Oktober 2014, Kabinet Kerja (KK) yang terdiri dari 34 Menteri (8 diantaranya wanita) sudah mempunyai cukup banyak sepak terjangnya. Namun berdasarkan monitoring independen melalui media, pertemuan-pertemuan saya langsung dengan beberapa Menteri, dan komunikasi melalui telepon, sms, WA dan BBM banyak hal dapat kita diskusikan bersama.

Memang dalam dua (2) bulan ini publik belum dapat berharap banyak terhadap kinerja para menteri KK ini. Sebagian dari para menteri memang sudah terlihat kinerjanya dan di dukung oleh publik, meskipun kadang-kadang keputusannya sering tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Namun publik senang melihat atau membaca sepak terjang beberapa menteri. Pujian terhadap menteri bersangkutan bertebaran di media sosial. Menteri model ini harus segera diingatkan untuk lebih berhati-hati supaya tidak mengabaikan peraturan perundang-undangan yang ada.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam koordinasi antar kementerian juga tampak sudah ada kemajuan dibandingkan dengan saat negara diatur oleh Kabinet Indonesia Bersatu jilid I dan II lalu. Keputusan yang diambil lebih komprehensif, meskipun masih perlu dilakukan koordinasi yang lebih lengkap dan ciamik prosedurnya. Yang masih perlu diingatkan adalah selalu melibatkan Menteri Sekretaris Negara dan Menteri Dalam Negeri dalam rapat koordinasi.

Dari sisi Presiden Jokowi dalam dua (2) bulan ini terlihat bahwa Presiden memang mengambil tanggungjawab terhadap beberapa keputusan penting Pemerintah, misalnya saat mengumumkan pengurangan subsidi yang berakibat ada kenaikan harga BBM bersubsidi.

Dalam gesture sehari-hari, Presiden Jokowi terkesan seolah-olah mengatakan, "Jangan salahkan menteri saya karena mereka hanya menjalankan perintah Presiden. Jika ingin menyalahkan Keputusan yang diambil Pemerintah, maka sayalah orang yang paling bertanggungjawab".

Gesture ini tentunya menyejukan publik. Apakah pernyataan Presiden itu cukup? Belum karena ada beberapa Keputusan Presiden yang juga mengkhawatirkan dan perlu diingatkan karena bisa menjadi sasaran empuk lawan politiknya di parlemen.
Sepak Terjang Presiden dan Menteri Kabinet Kerja

Dari monitoring yang saya lakukan secara independen dan terfokus dari tata cara Presiden JKW dan para Menteri KK mengambil Keputusan, perlu saya sampaikan beberapa hal dibawah ini:
 

Pertama, ketika Presiden JKW meluncurkan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar, dan Program Indonesia Sehat pada tanggal 3 Nopember 2014 di kantor pos Pasar Baru, Jakarta banyak membuat kebingungan di masyarakat. Peluncuran ditandai dengan penyerahan kartu kepada sejumlah warga miskin yang akan terdampak langsung atas naiknya harga BBM bersubsidi.

Dari ketiga kartu tersebut, Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang paling membingungkan publik. Seperti kita pahami bersama bahwa pelayanan kesehatan untuk seluruh masyarakat Indonesia, termasuk miskin dan tuna wisma, telah diatur oleh dua (2) UU, yaitu UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Programnya sendiri bernama BPJS Kesehatan (d/h ASKES) dan BPJS Ketenagakerjaan (d/h JAMSOSTEK) buka Kartu Indonesia Sehat (KIS).

Memang secara hukum tidak terlalu bermasalah namun bila masuk pada pembahasan anggaran bisa menyulitkan Kementrian terkait ketika membahas APBNP di DPR-RI. KIS dan BPJS tidak ada bedanya kecuali bentuk kartunya. Di sisi lain nomenklatur KIS di APBN 2015 juga tidak ada dan ini bisa dijadikan komoditas politik oleh lawan-lawan politik Presiden ketika membahas Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 di DPR-RI. Bisa jadi isu politik yang melelahkan.
 

Kedua, langkah yang diambil oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mengurangi penangkapan ikan ilegal sangat diapresiasi oleh publik. Hanya saja perlu diperhatikan serius oleh Menteri KKP terkait dengan kesiapan TNI AL dan Kementerian KKP sendiri, misalnya terkait ketersediaan anggaran untuk BBM dan perawatan kapal TNI AL dan KKP.

Sebagai informasi, hutang BBM TNI AL terhadap PT Pertamina sangat besar dan belum jelas bagaimana membayarnya. Tanpa anggaran yang jelas dari KKP, saya khawatir penangkapan kapal pencuri ikan akan terkendala di tahun 2015.

Selain itu peledakan kapal pencuri ikan tanpa proses pengadilan juga bisa bermasalah secara Internasional. Pertanyaannya, apakah kapal-kapal ikan ilegal yang dibakar/diledakkan itu sudah diputus oleh pengadilan? Perlu kejelasan juga apakah pelanggarannya termasuk kategori ilegal, tidak diatur atau tidak dilaporkan atau hanya perselisihan bisnis. Kalau tidak maka Pemerintah RI bisa dibawa ke International Tribunal Convention on the Law of Sea (ITCLOS) dan kalau kalah memalukan.
 

Ketiga, keputusan Presiden Jokowi untuk menghapus Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) setelah tele conference dengan TKI di luar negeri harus dibatalkan, karena keputusan tersebut melanggar Pasal 62.1 UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Perlindungan dan Penempatan tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Keputusan ini dibuat setelah TKI mengadu pada Presiden bahwa untuk pembuatan KTKLN dikenakan biaya Rp 100.000 - Rp 300.000 per TKI oleh oknum Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Harusnya jangan menghapus KTKLN tetapi berantas pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh oknum PPTKIS.
 

Keempat, soal keluarnya Surat Edaran (SE) Menteri PAN-RB No. 10/2014 yang secara legal tidak berkekuatan hukum karena SE tidak masuk dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan sebagai suatu produk hukum yang dapat memberikan sanksi hukum dan administratif.
 

Di sisi lain keluarnya SE ini telah mengakibatkan sektor industri perhotelan dan ikutannya menurun drastis hingga rata-rata 40% di saat peak season di akhir tahun karena semua Kementrian, BUMN dan kantor Pemerintah yang dibiayai oleh APBN membatalkan pertemuan/rapat di hotel-hotel.

Saran Publik

Supaya kerja keras Kabinet Kerja ini lebih baik dan lebih bermanfaat untuk publik, sebaiknya semua keputusan jangan spontan diputuskan di tempat saat itu juga, tetapi lakukan kajian singkat dan komprehensif terkait dengan peraturan perundang undangan yang ada dan kaji dampak negatif dan positif jika dimunculkan kebijakan baru.

Kemudian sebelum diambil keputusan, lakukan koordinasi lintas Kementerian dan yang utama selalu libatkan Menteri Sekretaris Negara dan Menteri Dalam Negeri karena kebijakan yang akan diubah atau dibuat berlaku di seluruh daerah Indonesia. Mendagri diperlukan supaya Mendagri bisa menginstruksikan ke seluruh Kepala Daerah dan dapat mengawasi jalannya kebijakan sejak awal. Mensesneg diperlukan untuk memastikan peraturan perundang-undangannya tidak tumpang tindih. 

*) Agus Pambagio, pemerhati kebijakan publik.

(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads