Pollycarpus dan Mengakhiri Polemik Penyunatan Pemidanaan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Pollycarpus dan Mengakhiri Polemik Penyunatan Pemidanaan

Selasa, 09 Des 2014 10:31 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Permasalahan penyunatan pemidanaan kembali menjadi sorotan usai Menkum HAM memberikan pembebasan bersyarat kepada Pollycarpus Budihari Prijanto. Sebelumnya penyunatan ini juga menuai kontroversi saat pemerintah memberikan remisi kepada terpidana narkoba dan korupsi.

Puncak polemik yaitu dibakarnya LP Tanjung Gusta, Sumatera Utara oleh para penghuni LP pada 11 Juli 2013 karena dipicu PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Tata Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Adapun terpidana korupsi melakukan aksi perlawanan dengan cara mengajukan uji materi PP itu ke Mahkamah Agung (MA). Ketiga terpidana korupsi yang mengajukan judicial review itu adalah Rebino, Drs Abdul Hamid M.Pd.I, dan Jumanto yang memberikan kuasa khusus kepada Prof Dr Yusril Ihza Mahendra dkk. Hasilnya MA memutuskan menolak judicial review tersebut.

Penyunatan pidana yang dijatuhkan pengadilan selalu membelah publik dan mempertanyakan apakah pengetatan remisi atau pembebasan bersyarat tersebut boleh atau tidak. Tetapi publik hanya mempertanyakan remisi/pembebasan bersyarat kepada terpidana kasus korupsi, terpidana narkotika dan terakhir Pollycarpus. Publik tidak mempertanyakan hakikat penyunatan pemidanaan yang telah dijatuhkan oleh amat putusan pengadilan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam tulisan ini, penulis bertujuan untuk menunjukan apakah remisi/pembebasan bersyarat melanggar kekuasaan kehakiman yang diberikan UUD 1945 atau tidak.

Asal Mula Kekuasaan Kehakiman

Pada abad ke-5 hingga abad ke-16, muncul dua organisasi kekuasaan di Eropa yaitu organisasi kekuasaan negara yang dipimpin oleh raja dan organisasi kekuasaan gereja yang dipimpin oleh Paus. Negara memandang bahwa yang menjadi wakil Tuhan di dunia adalah Raja, sedangkan organisasi kekuasaan gereja berasumsi bahwa yang menjadi wakil Tuhan adalah Paus.

Dalam perjalanannya, Raja menyatakan diri mendapat legitimasi dari langit dan merampas fungsi kekuasaan dari tokoh agama (Paus). Setelah itu, kekuasaan Raja menjadi absolut dan mempunyai kewewangan sebagai pembuat aturan, pelaksana aturan dan penghukum bagi orang yang melanggar aturan.

Namun sistem ini perlahan memudar dan perlahan runtuh seiring hancurnya sistem monarki absolut pada abad ke-17. Perlahan terbentuklah negara modern yang membagi kekuasaan itu kepada tiga lembaga yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif dengan berbagai variannya.

Di beberapa negara, kekuasaan eksekutif masih dipertahankan dipegang oleh Raja atau Sultan tetapi dengan mengambil sebagian besar kekuasaan raja dan memberikannya kepada perwakilan rakyat. Adapula yang menghancurkan lembaga kerajaan dan menggantinya menjadi republik dengan kepala pemerintahan yang dipilih dari rakyat dan membentuk lembaga perwakilan rakyat sebagai pengontrolnya.

Adapun kekuasaan yudikatif dikembalikan kepada kekuasaan keagamaan dengan memodifikasi ulang dalam lembaga modern sebagai bentuk transendental negara, rakyat dengan Tuhan. Alhasil, pelaksana fungsi kehakiman akhirnya diartikulasikan sebagai pemegang kekuasaan ketuhanan di dunia. Konsekuensi legitimasi dari langit itu menjadikan kekuasaan hakim sebagai kekuasaan tertinggi yang tidak dapat diganggu gugat. Bahkan kedaulatan rakyat juga tidak bisa mengoreksi kedaulatan Tuhan itu.

Tetapi runtuhnya rezim monarki absolut juga menyisakan sedikit kekuasaan tidak terbatas bagi Raja sebagai kepala negara yaitu menganulir putusan pengadilan. Sebab Raja masih diberikan legitimasi dari langit yaitu memiliki hak prerogratif untuk menganulir putusan pengadilan dengan memberikan pengampunan kepada masyarakatnya. Dalam negara modern, Raja ini bisa bernama Raja, Presiden, Sultan, Kaisar dan sebaginya dengan fungsi kepala negara, bukan kepala pemerintahan karena Raja juga dianggap sebagai perwakilan Tuhan kedua di muka bumi setelah hakim.

Oleh sebab itu, di antara ketiga kekuasaan itu tidak ada yang bersifat mutlak saling mengawasi tetapi saling mengontrol. Legislatif mempunyai kekuasaan membuat UU, tetapi UU itu juga dikontrol oleh pengadilan dan pengadilan bisa membatalkan sebuah UU. Demikian juga dengan eksekutif, peraturan yang dikeluarkan pemerintah bisa dibatalkan sebagaimana peraturan yang dibuat oleh eksekutif dan keputusannya juga bisa dibatalkan. Adapun kekuasaan kehakiman berupa putusan pengadilan hanya bisa dibatalkan oleh kekuasaan yang setara yaitu oleh kepala negara sebagai representasi legitimasi transendental.

Bagaimana dengan di Indonesia? Kekuasaan kehakiman sebelum amandemen UUD 1945 atau kurun kemerdekaan hingga dilakukan amandemen UUD 1945 pada 1999-2002 sangat terpengaruh dengan politik pemerintahan. Pada rezim Demokrasi Terpimpin, Soekarno memasukan lembaga peradilan menjadi bagian dari eksekutif dan mengangkat Ketua Mahkamah Agung sebagai salah satu anggota kabinet. Adapun pada era Orde Baru dengan menempatkan posisi hakim sebagai PNS dan memberikan kewenangan Departemen Kehakiman untuk menyeleksi hakim dan mengatur keuangan MA.

Pascaamandemen UUD 1945, negara memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas, merdeka bagi hakim dengan memberikan kekuasaan itu kepada dua lembaga pengadilan yaitu MA dan Mahkamah Konstitusi (MK). Semangat memberikan kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat dilihat dari rapat-rapat dalam amandemen UUD 1945. Salah satu anggota Panja amandemen UUD 1945, Abdul Khaliq Ahmad menyatakan:

"Kekuasaan kehakiman yang merdeka, mandiri dan profesional harus secara eksplisit dan profesional harus secara eksplisit tercantum di dalam UUD 1945 hasil perubahan kedua nanti. Hal ini dimaksudkan agar supremasi hukum dapat segera terwujud, keadilan dan kepastian hukum dapat secepatnya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat dan Mahkamah Agung dan badan-badan kehakiman secara institusional tak mudah diintervensi oleh kekuatan apapun, termasuk kekuatan birokrasi dan kekuasaan uang"

Sementara itu, Hamdan Zoelva yang berasal dari Fraksi Partai Bulan Bintang (PBB) tegas menyatakan MA sebagai lembaga yang mandiri dan pengawasan terhadap kemandirian hakim oleh hakim itu sendiri. Untuk menyelesaikan pelanggaran yustisial dalam penerapan hukum oleh hakim, Hamdan yang kini menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu, mengusulkan adanya lembaga pengawas hakim yang dibentuk oleh hakim itu sendiri.

MA sebagai user diwakili oleh hakim agung Iskandar Kamil yang menyampaikan ke peserta rapat perlunya kemandirian hakim. Namun kemandirian itu dibatasi oleh UU yang dibentuk oleh DPR dan hakim akan menjalankan produk DPR itu. Akhirnya Badan Pekerja MPR memutuskan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang independen dan mandiri. Puncak dari keinginan bangsa Indonesia melahirkan amandemen ketiga Pasal 24 ayat 1 yang berbunyi:

"Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan".

Dalam melaksanakan kekuasan kehakiman, hakim menuangkannya dalam putusan pengadilan. Kewenangan dan kekuasaan majelis hakim dalam memutus diberi batasan atas nama keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Oleh sebab itu, hakim dalam memutus diberikan kewenangan menyimpangi UU sepanjang sesuai dengan rasa keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yanga Maha Esa. Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan:

"Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila".

Bahkan dalam Pasal 5 ayat 1 disebutkan:

"Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat".

Ketua MA Hatta Ali menyatakan kekuasaan kehakiman bersifat otonom yang hanya bisa dinilai dan dikoreksi oleh hakim sendiri lewat jenjang pengadilan yaitu banding, kasasi dan peninjauan kembali (PK).

Kemandirian hakim dikukuhkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapuskan ancaman pidana bagi hakim yang salah dalam menerapkan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) pada 2013. MK menilai, jika ada kesalahan dalam penerapan UU SPPA, maka hakim tersebut tidak bisa dipidana tetapi kesalahan itu dikoreksi oleh pengadilan di atasnya.

Penyunatan Putusan Pengadilan

Penyunatan putusan pengadilan dilegalkan seiring dengan lahirnya UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pasal 14 menyebutkan hak-hak terpidana yaitu:

a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. menyampaikan keluhan;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;
i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat;
l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pemberian remisi sangat terkait dengan politik hukum dan politik pemerintahan di Indonesia. Dalam sejarah Republik Indonesia pemerintah telah 6 kali mengeluarkan keputusan tentang remisi dan ini menunjukkan adanya perkembangan politik dalam penyelenggaraan hukum yang menyangkut perlakuan kepada narapidana di Indonesia

Dinamika peraturan tentang remisi sebagiamana disebutkan di atas menunjukan remisi bukanlah hak asasi narapidana karena hak itu bisa direvisi sesuai dengan politik hukum pemerintahan. Selain itu, dinamika itu juga menunjukan definisi remisi tergantung selera penguasa dan tergantung arah politik penguasa saat itu.

Remisi/Pembebasan Bersyarat Menggerus Kekuasaan Kehakiman

Putusan pidana yang dijatuhkan pengadilan adalah perintah yang harus dilaksanakan tanpa kompromi karena putusan tersebut telah mendapat legitimasi Tuhan. Kekuasaan kehakiman itu sesuai amanah UUD 1945 sehingga remisi yang diberikan oleh pemerintah telah mereduksi kekuasaan kehakiman tersebut. Kekuasaan kehakiman yang diberikan oleh konstitusi hanya bisa direduksi oleh konstitusi itu sendiri yaitu grasi dan rehabilitasi. Hal itu sesuai dengan pasal Pasal 14 UUD 1945:

"Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung".

Grasi dan rehabilitasi itu diberikan oleh presiden sebagai kepala negara, bukan sebagai kepala pemerintahan karena kepala negara merupakan sisa kedaulatan Tuhan yang dimiliki oleh presiden dan karenanyalah hanya presiden yang bisa memangkas kedaulatan Tuhan lainnya yaitu putusan pengadilan.

Hak remisi/pembebasan bersyarat yang dituangkan dalam UU Pemasyarakatan juga bertentangan UU No 12 tahun 2011 tentang Tata Urutan Perundang-undangan. Dilihat dari substansinya, maka remisi/pembebasan bersyarat tidak memenuhi salah syarat dari pasal 10 UU Nomor 12 tahun 2011 di atas. Maka remisi/pembebasan bersyarat bukanlah hak yang lahir dari UUD 1945 sehingga tidak selayaknya dijadikan UU. Remisi juga tindak lanjut dari pengesahan perjanjian internasional, bukan amanat putusan MK dan juga bukan pemenuhan hak dalam masyarakat.

Remisi/pembebasan bersyarat juga bukan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) sebab tujuan pemidanaan adalah mengambil sebagian HAM seseorang oleh negara untuk ditempatkan di penjara karena negara memiliki hak untuk mencabut HAM seseorang. Pidana sengaja dijatuhkan oleh negara sebagai nestapa kepada seseorang karena melakukan tindak pidana. Pidana penjara dijatuhkan pengadilan dengan tegas dalam ukuran hari, bulan dan tahun.

Remisi/pembebasan bersyarat merupakan bentuk contempt of court terselubung karena pemerintah menyunat perintah pengadilan secara sepihak. Remisi/pembebasan bersyarat juga merongrong kewibawaan hakim yang telah memutuskan seseorang bersalah setelah memeriksa dan mengadili terdakwa atas nama โ€˜Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esaโ€™ sehingga pemerintah telah mengingkari Kedaulatan Tuhan. Dalam jangka panjang, remisi akhirnya bisa melecehkan dan menafikan eksistensi pengadilan.

UU Pemasyarakatan yang diundangkan pada tahun 1995 tidak sinkron dan tidak harmonis dengan semangat perubahan UUD 1945 yang telah diamandemen pada tahun 1999-2002 terutama Pasal 24 ayat 1. Hak remisi/pembebasan bersyarat berbanding terbalik dengan hasil amandemen UUD 1945 yang memberikan kekuasaan kehakiman bersifat mandiri, merdeka dan independen. Oleh sebab itu, perlu dilakukan judicial review UU Pemasyarakat ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapus aturan remisi/pembebasan bersyarat tersebut. Putusan MK itu nantinya tidak berlaku surut dan hanya berlaku bagi kejahatan yang dilakukan sejak amar putusan dibacakan.

*) Andi Saputra, Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta

(asp/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads