Seks Kemukus
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Djoko Suud

Seks Kemukus

Senin, 01 Des 2014 13:36 WIB
Djoko Suud
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Kemukus disoal. Ritus seks yang sudah biasa di daerah ini menjadi bahasan. Padahal itu sudah berlangsung puluhan tahun dan tidak ada yang perduli. Benarkah itu wujud dari bangsa yang mulai berbudaya?

Jika kita ke Sragen, ada bukit kecil yang sekarang berubah menjadi pulau akibat waduk Kedungombo di era Orde Baru. Bukit ini menggelitik. Itu karena bukit ini banyak didatangi orang. Laki-laki maupun perempuan yang mau selingkuh.

Daerah ini juga berkembang pesat. Jalanannya mulus beraspal. Rumah megah berdiri berjajar. Kehidupan semarak. Perekonomian lancar. Itu karena di area ini berdiri lokalisasi pelacuran. Pelacur, bagian dari uborampe (kelengkapan) ritus seks yang disyaratkan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tahun 70-80-an saya sering ke daerah ini. Kondisi jalannya masih tanah liat. Ada dua warung kecil berdiri di gigir waduk. Ada perahu yang mengantar ke bukit. Ada ibu-ibu tua berjualan bunga. Dan kondisi rumah penduduk masih sangat sederhana kalau tidak boleh dibilang miskin.

Jika kita ingin ‘nakal’, tahun-tahun itu, dari mulut desa ini kita perhatikan perempuan-perempuan yang datang. Kalau wajah mereka sendu sambil membawa sebungkus kembang, itu pertanda bahwa perempuan itu sedang ngalap berkah. Mencari peruntungan melalui ritus sakral.

Ritus itu dimulai dari melapor pada juru kunci. Menerangkan maksud dan tujuan datang. Habis itu mandi di Sendang Ontrowulan. Menabur kembang di makam Pangeran Samudera sambil merapal doa. Diakhiri dengan bobok mesra yang dulu dilakukan di semak-semak yang ada. (Baca buku saya: Sakralitas Yoni, Penerbit Narasi Jogyakarta, tahun 2012).

Akibat makin lama kian jarang perempuan yang melakukan ritus itu, sisi lain lelaki yang berminat semakin banyak, hukum dagang pun berlaku. Sekarang kalau datang ke Kemukus, terbanyak adalah lelaki hidung belang. Itu karena di areal ini sudah berdiri lokalisasi pelacuran. Tidak jelas, sekadar memuaskan nafsu atau bagian dari ritus itu.

Ritus ini memang aneh. Mereka harus merelakan tubuhnya untuk diserahkan pada laki-laki yang bukan muhrimnya. Itu seaneh gadis-gadis yang melakukan uzlah di Gua Jodoh yang terdapat di seputaran Gua Langse, Parang Endog, yang masuk segitiga pantai bernuansa mistis, Parang Kusuma dan Parang Tritis.

Keanehan ritus ini bermula dari sebuah legenda. Di era Kerajaan Demak, hidup Pangeran Samudera, putra mahkota yang menjalin hubungan asmara dengan Dewi Ontrowulan. Gadis jelita, kembang kerajaan ini, memikat hati para lelaki yang menghargai kecantikan.

Suatu hari, Raja Demak, ayah Pangeran Samudera, meilhat sosok gadis ini. Dia tidak tertarik menjodohkan dengan sang putra. Dia jatuh hati dan melamarnya untuk dijadikan permaisuri. Ini pangkal huru-hara di kerajaan ini.

Saat gelar perkawinan akbar dilakukan, Dewi Ontrowulan kabur dari keputren. Dia melarikan diri bersama Pangeran Samudera. Raja murka. Dia menyuruh pasukan kerajaan memburu. Titah raja, prajurit harus menangkap hidup-hidup atau membunuhnya. Jika gagal tidak boleh balik ke istana.

Beberapa tahun kemudian muncul Kemukus. Sebuah daerah perdikan yang ramai didatangi penduduk dari kerajaan-kerajaan lain. Saat itu sang penguasa dan permaisurinya (Pangeran Samudera dan Dewi Ontrowulan) asyik bercinta. Keduanya bugil bertindihan.

Pasukan pemburu dari Demak telah menaklukkan para pengawal. Mereka kini menemukan buruan yang diincar agar bisa kembali ke kerajaan. Maka ketika sejoli ini sedang merenda kasih, prajurit Demak itu menancapkan tombaknya ke tubuh mulus itu.

Tombak itu tembus ke badan keduanya. Mereka mati gancet. Konon sebelum meninggal, Pangeran Samudera berucap, siapa saja, anak keturunannya, jika ingin meraih sukses diharuskan meniru langkahnya. Ini yang ‘menjadi’ acuan ritus di Kemukus dulu dan sekarang.

Ini masih untung. Legenda itu ditafsir dengan ritus ‘hubungan intim tidak se-muhrim’. Lah kalau ditafsirkan sebagai hubungan antara anak dan ibu makin runyam lagi. Adakah dengan begitu ritus ini perlu dihapus dalam sejarah?

Saya tidak setuju dengan itu. Biarpun saya juga tidak sepakat kalau ritus itu terus dibiarkan. Sebab terlalu banyak hal-hal seperti ini ada di negeri ini. Kisah Toar dan Lumimuut yang dipercaya sebagai cikal-bakal etnis Minahasa di Manado juga sama. Termasuk Sangkuriang dan Dayang Sumbi di Tatar Sunda.

*Budayawan, tinggal di Jakarta

(nrl/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads