Dalam Reine Rechtslehre atau Teori Hukum Murni yang dicetuskan Hans Kalsen, tidak ada pemisahan kekuasaan yang absolut antara lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif dan mereka saling terkait satu dengan lainnya. Khusus pengadilan, pemisahan yang tegas dari kedua fungsi kekuasaan lainnya tidaklah mungkin. Hakim memegang tiga fungsi itu dan menerapkan tiga peran itu sekaligus saat merumuskan, menetapkan dan memutuskan satu perkara.
Fungsi yudikatif itu terlihat saat Mahkamah Agung (MA) memilah fakta untuk kemudian merumuskan dan memutuskan delik pidana apa yang akan diterapkan dan berapa hukuman yang kenakan. Tapi pada waktu yang bersamaan, MA juga telah melahirkan fungsi legislatif yaitu memunculkan norma baru tentang syarat-syarat hukuman mati yaitu tidak berperikemanusiaan dan sadis. Dua syarat itu tidak akan ditemukan dalam pasal 365 ayat 4 KUHP tentang Perampokan yang Mengakibatkan Kematian atau pasal-pasal lain dengan ancaman hukuman mati.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yang membedakan fungsi legislatif di DPR dan di MA adalah proses pembentukan dan bentuk norma tersebut. Fungsi legislatif DPR itu dilakukan dengan terbuka dan menyerap langsung aspirasi masyarakat, sedangkan di pengadilan fungsi ini dilakukan dalam ruang hampa dan keheningan yang dilakukan oleh hakim. Dalam bentuknya, norma yang dilahirkan DPR harus dideklarasikan dalam sebuah UU atau disebut dengan hukum positif, sedangkan norma yang dilahirkan pengadilan berupa yurisprudensi yang mencerminkan semangat hukum yang ada dalam masyarakat.
MA dalam sebuah putusan juga berperan sebagai eksekutif yaitu dengan amar putusan memvonis mati Wawan dan serta merta melahirkan fungsi memerintah bagi eksekutor untuk mengeksekusi mati Wawan. Fungsi eksekutif dari lembaga yudikatif tersebut tidak bisa ditawar dan hanya bisa diaudit dan diperbaiki oleh proses yudikatif yang lebih tinggi. Hal itu berbeda dengan fungsi yudikatif yang dimiliki oleh eksekutif yang bisa diaudit oleh lembaga yudikatif, seperti memecat PNS, menerbitkan izin, melantik Gubernur, melarang orang masuk ke jalan tertentu dan sebagainya.
Lembaga MA -- karena melahirkan fungsi legislatif dan eksekutif-- maka harus berperan aktif menjelaskan ke masyarakat apa-apa yang diputusnya. Tidak hanya soal hukuman mati, tetapi juga masalah pencabutan hak politik, hukuman percobaan dalam kasus korupsi, kasus narkoba dan sebagainya.
Pengadilan bukan menjelaskan sebagai pejabat yudikatif, tetapi sebagai organ yang mempunyai peran membentuk norma dan memerintah. Selain itu, sangat riskan dan bisa menimbulkan konflik kepentingan jika hakim atau hakim agung sendiri yang menerangkan ke masyarakat akan norma baru dan perintah itu. Secara tegas larangan itu diatur dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang juga diakui oleh hakim seluruh dunia yang dituangkan Bangalore Principles 2002.
Di sinilah pentingnya peran spokesperson (juru bicara-red) lembaga pengadilan. Di era kepemimpinan Ketua MA Harifin Tumpa, spokesperson itu dipegang oleh hakim agung Hatta Ali. Namun saat Hatta Ali naik menjadi Ketua MA, fungsi spokesperson itu dihilangkan. Padahal, dengan perkembangan dinamika masyarakat dan putusan pengadilan yang bervariatif, spokesperson itu menjadi kunci fungsi legislatif dan eksekutif peradilan untuk dijelaskan ke publik. Rambu-rambunya, spokesperson itu tidak boleh mengomentari atau mengaudit ulang sebuah putusan, tetapi menjelaskan makna dan substansi sebuah norma baru yang dihasilkan oleh putusan pengadilan.
Jika fungsi di atas berjalan secara maksimal, tentu gegar vonis mati pembunuh Sisca Yofie bisa diminimalisir.
*) Andi Saputra, Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta
(nwk/nwk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini