Sebelumnya, saat pelantikan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) menjadi RI-1 dan RI-2 di Gedung DPR/MPR, suasana berjalan dengan damai, aman dan tentram. Tidak hanya seluruh anggota dewan yang hadir, BJ Habibie, Megawati Soekarnoputri, Tri Sutrisno dan Hamzah Haz duduk saling berdampingan. Selain itu, sejumlah utusan dari negeri sahabat juga datang dan lebih takzimnya Prabowo-Hatta selaku rival dalam pilpres kemarin turut datang hadir serta memberi hormat dalam peristiwa bersejarah itu.
Β
Semuanya itu menandakan demokrasi di negeri ini kian membaik dari tahun ke tahun, terlebih dengan penghargaan oleh Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) yang di berikan langsung kepada Jokowi atas Syukuran Rakyat di atas panggung utama usai potong tumpeng sebagai tradisi asli Indonesia yang sekaligus memperkuat identitas kebudayaan.
Namun, euphoria masyarakat tersebut kini sedikit terhenti dengan hiruk pikuk daftar calon menteri yang masuk ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Langkah baru ini harus ditafsiri sebagai niat baik dan upaya preventif dalam mencari pejabat yang bersih guna membantu dan menjalankan visi misi pemerintahan Jokowi-JK.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jokowi yang kini Presiden telah melekat padanya prerogatif yaitu hak istimewa yang dimiliki Presiden sebagai kepala negara mengenai hukum dan undang-undang di luar kekuasaan badan-badan perwakilan. Dengan kata lain, tidak ada intervensi dari pihak manapun, begitu juga dengan kasus menggandengkan KPK dan PPATK dalam meminta pandangan, catatan, lebih jauh lagi upaya melacak track record para pejabat dan professional akan kepatutan mengisi pos-pos kementerian dalam kabinet baru ini, termasuk dalam hak prerogatif Presiden dan bukan bentuk campur tangan, karena keputusan tetap di tangan Jokowi.
Patut dipahami oleh kita semua, pola rekruitmen calon menteri yang melibatkan lembaga anti rasuah ini merupakan bentuk keseriusan Jokowi dalam menciptakan kabinet yang bersih sekaligus upaya nyata dari revolusi mental sebagaimana didengungkan saat kampanye kemarin. Maka tidaklah berlebihan atau salah kaprah, Jokowi melayangkan daftar nama calon menteri kepada KPK.
Pasalnya, rekam jejak lembaga ini memiliki public commons sense yang tinggi disertai ketegasan dalam penegakan hukum, dimana tajam ke atas bukan tumpul ke atas. Selayaknya hal ini dimaknai sebagai niat baik Presiden dalam check and balances system menuju good governance.
Selain itu, Jokowi bisa saja melibatkan Badan Intelejen Negara (BIN) sebagai lembaga non kementerian untuk menggali informasi calon pejabat yang dirasa miliki rahasia, misterius, tertutup dan klandestin ataupun Kejaksaan dalam menjamin kepastian hukum, kewibawaan pemerintahΒ dan penyelamatan kekayaanΒ Negara. Namun tantangan paling krusial saat ini dan mendatang setelah merasakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 10 tahun terakhir adalah terjerat dan tersandungnya beberapa menteri maupun pejabat Negara lainnya akan rayuan manis korupsi. Maka, KPK sejatinya memanggul beban berat dari Presiden untuk menjamin para menterinya bersih dari noda hitam. KKN.
Bukan Hadiah Politik
Saat ini, jabatan menteri menjadi perhatian utama publik dan seluruh media dalam menguji kinerja pemerintahan baru. Jika di lihat dari sisi lain, rakyat juga tengah menagih janji Jokowi, siapa saja yang mau dan siap untuk mengimbangi gaya kepemimpinan blusukan Presiden RI ke-7.
Harus diingat, dalam pidato kenegaraan pertamanya, Jokowi secara lantang menyerukan seluruh elemen masyarakat untuk bekerja keras, bahu-membahu, bergotong royong, karena inilah momen sejarah bagi kita semua untuk bergerak bersama-sama untuk berkerja, bekerja dan bekerja. Maka harapan yang muncul dari masyarakatpun, bergabungnya menteri-menteri sebagai petarung sejati dan bukan penikmat korupsi.
Ada hal yang kadang terlupakan atau memang sengaja dilupakan oleh sejumlah pejabat kita, esensi dari jabatan termasuk posisi menteri, bukanlah semata mata door prize, kado, ataupun bingkisan istimewa dari pergulatan politik. Maka tidak pantas, tidak etis juga bahkan lebih ekstrem lagi tidak boleh posisi menteri tersebut diobral atau dijadikan sebagai hadiah kepada partai politik terlebih partai pemenang. Pemahaman seperti inilah seharusnya di pahami dan dilakukan oleh para elit politik kita demi tercipta Indonesia hebat.
Untuk itu, Jokowi dalam rangka revolusi mental harus berkomitmen dengan menunjukkan bukti konkret melalui kabinet bentukannya. Di samping itu juga, masyarakat juga harus siap dan bersikap arif serta legowo bahwa Jokowi-JK tidak bisa menyenangkan semua orang.
Namun setidaknya mereka yang merapat dengan Jokowi-JK kelak, orang-orang yang memahami betul arti abdi negara, rela berkorban waktu, keluarga, dan perasaan. Begitu juga jabatan menteri bukanlah sebuah tujuan melainkan sarana untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa serta memakmurkan seluruh rakyat Indonesia.
*) Agus Dwi Saputro, Alumni Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor Ponorogo, Mantan Koordinator Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), Pegiat di Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (Pimpin) Bandung.
(nwk/nwk)











































