Hasil sidang paripurna memutus RUU Pilkada sudah terbayang jauh siapa yang bakal menang dan kalah. Itu didasari asumsi, pengalaman pilkada langsung menyedot dana tinggi. Bacagub dan bacabup diporoti partai politik untuk 'membeli kendaraan'. Dan rakyat juga meminta jatah jika ingin menang.
Realitas itu menjadikan posisi partai politik menjadi lemah. Dia hanya bisa menentukan jago dalam pilkada, tetapi tidak bisa memberi jaminan calonnya akan menduduki tahta. Tidak jarang calon yang diusung, sudah setor mahar dan bayar upeti pada partai politik itu gagal jadi gubernur atau bupati. Soalnya rakyat yang menentukan itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sikap seperti itu mending. Memilih yang memberi uang. Di pileg lalu, politisi yang sudah licin seperti belut itu kalah licin dengan 'politik' rakyat. Mereka berubah menjadi belut yang dikasih oli. Sangat-sangat licin. Orang-orang partai yang ingin menjadi wakil rakyat itu menebar uang. Duit diterima, tapi suaranya tidak diberikan pada yang memberinya uang.
Politik rakyat itu membuat pemangku partai politik dan wakil rakyat, yang jadi atau gagal, menjadi geram. Mereka merasa telah menjadi bulan-bulanan. Ada dendam pada rakyat. Mereka berusaha mengembalikan derajat rakyat pada posisinya semula, hanya sebagai obyek penderita.
Dengan diputusnya UU Pilkada melalui DPRD ini, maka dalam pilkada nanti, rakyat hanya 'haga' kata orang Manado. Lolhak-lholok. Tidak punya hak dan kewenangan untuk menentukan pemimpin daerah yang akan memimpinnya. Pemimpin-pemimpin itu kembali datang dari langit seperti era Orde Baru, kebijakannya melangit, tidak membumi, tidak menyentuh kepentingan rakyatnya.
UU ini memang aneh, kendati ditafsir senafas dengan demokrasi keterwakilan. Wakil rakyat yang memutusnya juga seperti mesin. Tidak punya hati. Hanya diprogram untuk kepentingan partai. Buta terhadap kebenaran dan keadilan yang ada. Dan tidak malu merampas hak rakyat konstituennya atau bukan.
UU Pilkada yang memenangkan pilkada tidak langsung merupakan pelajaran kelam untuk yang kesekian kali dari 'lembaga' wakil rakyat. Dari sikap koruptif, oknum yang korupsi, dan kini terang-terangan mengambil kedaulatan rakyat.
Dengan UU yang baru ini, maka pemimpin daerah tidak perlu lagi dekat dengan rakyat. Dia tidak harus mendengarkan keluhan, memikirkan kebutuhan, apalagi memperjuangkannya. Wakil rakyat telah mengakuisi amanah rakyat. Saham itu dipakai untuk berbuat sesukanya atas nama rakyat.
UU ini telah mematikan rakyat. Membuatnya tidak ada dan tidak berguna. Jika tidak diajukan uji ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk digugurkan, maka layak jika hari-hari ini dan ke depan kita mengerek bendera setengah tiang. Matinya vox populi vox dei. Matinya suara tuhan.
Berbagai aksi demo mengawal sidang ini sebagai indikasi, bahwa kelompok pendukung pilkada langsung bisa menang sangat tipis. Utopis.
Rakyat hanyalah obyek penderita.
*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya. Penulis tinggal di Jakarta.
(nwk/nwk)