Berdasarkan putusan kasasi nomor 345 K/Pid.Sus/2013, tragedi hukum ini dialami oleh seorang siswi SMA di Surabaya yang berkenalan dengan Teddy sejak 2011. Dari perkenalan itu, Teddy melakukan bujuk rayu untuk bisa bersetubuh dengan korban. Niat jahat itu pun terlaksana dan korban pun hamil.
Pada Februari 2011, Teddy meminta korban untuk meneruskan kehamilannya tapi ditolak. Alasannya, korban ingin tetap sekolah sehingga bayi yang di kandungan harus digugurkan. Atas permintaan itu, Teddy pun menyanggupi dan dilakukan proses pengguguran dengan memberikan obat ke dalam rahim korban.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kasus ini pun bergulir ke pengadilan. Jaksa hanya mendalilkan dakwaan tunggal yaitu pasal 80 ayat 3 UU Perlindungan Anak. Pasal tersebut menyatakan:
Pasal 80
1. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3,5 tahun bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta.
2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100 juta.
3. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200 juta.
Pada 25 Juli 2012, jaksa penuntut umum (JPU) lalu mengajukan tuntutan 3 tahun penjara. Namun pada 3 September 2012 Pengadilan Negeri (PN) Surabaya hanya menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara. Atas vonis itu, Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya menambah hukuman menjadi 7 tahun penjara. Tidak terima, Teddy pun mengajukan kasasi dan dikabulkan.
Pada 14 Mei 2013, MA mengkorting hukuman menjadi 4 tahun penjara. Duduk sebagai ketua majelis hakim yaitu Imron Anwari dengan hakim anggota Dr Salman Luthan dan Dr Andi Samsan Nganro.
Nah, dalam pertimbangan hukum dalam mengurangi nestapa yang diberikan ke Teddy, ternyata hati nurani para hakim agung belum mencerminkan rasa keadilan korban pemerkosaan. Di halaman 9 disebutkan:
"Terjadinya pengguguran terhadap anak yang menyebabkan kematian tidak semata-mata dilakukan atas kehendak terdakwa. Melainkan perbuatan itu dilakukan atas kehendak bersama dengan saksi korban karena masih ingin melanjutkan sekolah."
Korban yang Jadi Pelaku
Berdasarkan kronologi dan argumen hukum yang dibangun ketiga hakim agung, terjadi pertukaran peran dan manipulasi fakta.
Pertama, siswi SMA itu masih berusia 17 tahun sehingga setiap hukum yang diterapkan kepadanya harus berperspektif perlindungan anak. Berdasarkan UU Perlindungan Anak, siswi SMA itu adalah korban dari kejahatan seksual yang dilakukan Teddy sebagaimana diatur dalam pasal 81 ayat 2 UU Perlindungan Anak.
Pasal 81 ayat 2 menyatakan:
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak Rp 300 juta dan paling sedikit Rp 60 juta.
Adapun pasal 81 ayat 2 menyatakan:
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Dari kedua pasal tersebut, maka siswi dalam perkara a quo nyata-nyata korban 'perkosaan dalam arti luas' karena korban masih anak-anak.
Kedua, akibat pemerkosaan itu korban pun hamil yang mengakibatkan masa depannya hancur. Hal itu terbukti dengan kekhawatiran korban jika kehamilannya akan menyebabkan dirinya dikeluarkan dari sekolah. Sebagai anak-anak, kekhawatiran tersebut sangat manusiawi sehingga dia meminta jabang bayi tersebut untuk digugurkan.
Ketiga, sebagai anak-anak, maka niat korban seharusnya dikesampingkan oleh majelis hakim agung. Pertimbangan majelis kasasi yaitu "melainkan perbuatan itu dilakukan atas kehendak bersama dengan saksi korban karena masih ingin melanjutkan sekolah" mencerminkan mendudukkan korban anak setara dengan pelaku kejahatan orang dewasa.
Di depan altar pengadilan kasasi, tertukarlah peran tersebut. Anak yang sebelumnya menjadi korban tiba-tiba di mata MA menjadi pelaku kejahatan aborsi. Putusan 7 tahun penjara yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya malah disunat dengan dalih anak tersebut berperan. Padahal anak tersebut korban perkosaan.
Komposisi Majelis Kasasi Bias Gender
Bias gender tampak dalam komposisi majelis hakim kasasi kasus Teddy. Dari tiga hakim agung yang mengadili kasus tersebut, semuanya berjenis kelamin laki-laki. Mereka yaitu dr Imron Anwari dengan Dr Salman Luthan dan Dr Andi Samsan Nganro.
Dalam kasus-kasus anak dan kejahatan seksual, alangkah eloknya jika seorang hakim agung perempuan bisa hadir di tengah-tengah persidangan. Selain untuk memberikan nuansa keberpihakan terhadap perempuan juga semangat keadilan yang berperspektif gender.
Apalagi, dalam catatan penulis, hakim agung Imron Anwari pernah membuat putusan yang sangat tidak sensitif gender. Imron menjadi ketua majelis perkara nomor 137 K/PDT/2008 dengan Timur Manurung dan Hakim Nyak Pha sebagai anggota.
Kasus itu mengadili perkara gugatan perdata orang tua korban yang menggugat Mami Marni karena telah melacurkan anak mereka. Dalam putusannya, Imron menjatuhkan hukuman ganti rugi kepada Mami Marni sebesar Rp 10 juta untuk kerugian materil dan Rp 20 juta untuk kerugian moril masa depan anak yang dilacurkan.
Apakah harga keperawanan hanya Rp 10 juta dan masa depan anak korban pelacuran hanya seharga Rp 20 juta? Lagi-lagi, tidak ada hakim agung perempuan dalam perkara yang terjadi di Riau itu.
*) Andi Saputra adalah redaktur bidang hukum di detikcom. Tulisan ini mewakili pendapat pribadi, bukan pendapat institusi di mana penulis bekerja.
(asp/nrl)











































