Sastra Jendra Pilpres
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Djoko Suud

Sastra Jendra Pilpres

Senin, 25 Agu 2014 14:08 WIB
Djoko Suud Sukahar
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Sastra Jendra Pilpres
Jakarta -  Hasil sidang Mahkamah Konstitusi (MK) sudah selesai diumumkan dan berjalan aman. Rumor rusuh tidak terbukti. Geger-kepati-pati apalagi. Ini bukan kemenangan pihak Jokowi atau kekalahan Prabowo. Ini kemenangan rakyat Indonesia. Kita semua. Sastra jendranya pilpres. Paripurnanya pesta demokrasi negeri ini, yang tentu masih menyimpan kerikil tajam.

Hari Kamis (21/8) lalu adalah puncak penentuan bara dalam sekam. Adakah bara itu membakar negeri ini dengan anarkhisme dan kebiadaban yang berminggu-minggu sebelumnya mencekam rakyat negeri ini. Ataukah api dari ketidak-puasan coblosan di Pilpres itu mereda berkat kesadaran berbangsa dan bernegara.

Beberapa minggu sejak Pilpres memang situasi politik dalam negeri panas. Ada kegembiraan bagi yang menang, dan ada ketidakpuasan bagi yang kalah. Itu wajar dan manusiawi. Apalagi dalam Pilpres kali ini hanya diikuti dua kandidat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebelum keputusan MK, di berbagai daerah muncul isu akan terjadi kerusuhan massal. Masa lalu kelam negeri ini bakal terjadi lagi. Ada yang bernuansa SARA, dan juga yang berbentuk amuk massa. Isu itu menyebar, sebagai ekspresi dari ketidak-puasan terhadap hasil Pilpres.

Akibat itu, hari Kamis yang lalu, Jakarta lengang. Jalanan sepi. Kantor-kantor memang tidak meliburkan karyawan, tetapi nyaris tidak ada aktifitas berarti. Karyawan yang masuk, kerjanya hanya memonitor yang terjadi di MK. Sekecil apapun peristiwa yang berasal dari sekitaran gedung itu lengkap diketahui. Magnet ada di gedung ini, karena apa yang diputuskan tidak hanya menentukan aman dan tidaknya Jakarta, tetapi juga negeri ini.

Ketika ekses pengumuman sidang MK kondusif, tidak hanya aparat yang sibuk bertugas yang mengucap syukur. Seluruh rakyat Jakarta dalam hati menyebut itu. Rakyat negeri ini semuanya mengamini. Tabik diberikan pada semua yang terlibat dalam proses ini.

Memang, kerikil masih akan ada. Dalam bahasa Fritjof Cappra, sesuatu yang sudah selesai dan hilang itu tidak hilang. Dia hanya berpindah ruang. Jika diperluas, asumsi ini kendati beda persepsi, tetapi punya kesamaan nafas dengan Serat Wirid Hidayat Jati. 'Ruang migrasi' manusia itu tidak mono atau duo, tetapi trio. Itu yang disebutnya sebagai "Sangkan paraning dumadi". Dari dan kemana manusia datang dan pergi.

Ketenteraman pasca Pilpres ini terus terang memberi kedamaian jiwa. Rakyat negeri ini menjiwai kebhinnekaan Empu Prapanca itu. Mengapresiasi Sumpah Palapa Gajah Mada. Dan menyadari dengan haqqul yakin, bahwa "archipelago" bukan sekadar jajaran pulau-pulau, tetapi juga mukimnya suku, ras, bahasa, budaya, keyakinan, yang sangat heterogen. Dengan begitu butuh cawan penampung yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kesempurnaan semacam ini dalam budaya Jawa dikenal sebagai maujutnya "sastra jendra hayuningrat pangruwat diyu". 'Ilmu Tuhan’ untuk kedamaian dan kesejahteraan umat manusia. Ilmu yang hanya dipunyai segelintir orang, tabu untuk diajarkan sembarangan. Ilmu ini punya risiko besar jika itu dilakukan.

Dalam sketsa wayang, ilmu ini diingini Dewi Sukesi. Para raja dan pangeran yang ingin meminang gadis cantik ini semua ditolak karena tidak punya ilmu itu. Di antara yang gandrung terhadap Sukesi itu adalah Danareja, putera Begawan Wisrawa. Dia minta sang ayah memenuhi keinginan Sukesi itu demi cintanya. Ketika ilmu kesempurnaan ini dibabar, alam bergejolak. Mendung berarak. Hujan angin turun. Kilat berpendaran. Halilintar menggelegar. Istana para dewa goncang. Bethara Guru dan permaisurinya, Dewi Uma terbangkitkan nafsu birahinya.

Dewa-dewi itu memasuki wadag Wisrawa dan Sukesi. Keduanya lupa diri. Apa yang tidak seharusnya dilakukan menjadi keniscayaan. Di tengah alpa, kedua insan itu bergumul mesra. Dari perbuatan itu lahirlah Rahwana, raksasa yang diidentifikasi punya sepuluh wajah, bengis dan buas.

Cerita carangan yang diinspirasi dari Arjunawijaya karya Empu Prapanca itu menyiratkan, bahwa tidak ada kesempurnaan mutlak di dunia. Sempurna itu masih punya celah. Juga cerita tentang Rahwana ini sendiri, menjadi petaka bila dikisahkan di Negeri Srilanka. Sang lawan bebuyutan Rama itu 'di-herokan' Negeri Buddha itu. Namun apa kaitan Pilpres dan kemenangan Jokowi?

Ini adalah simbol, bahwa kemenangan Jokowi itu akan paripurna, kalau nafsu itu bisa ditekan. Nafsu ini dalam peradaban hanya terpintal dalam 'petang kilan'. Empat tapak jemari tangan. Tapak pertama adalah nafsu seks sebagai yang terendah. Tapak kedua adalah perut, nafsu makan. Bukan hanya makan nasi, tetapi juga makan proyek dan korupsi. Tapak ketiga merasai, mengingat sebelum membuat kebijakan, dan keempat adalah berpikir sebelum berbuat. Jika itu dilakukan, maka pemerintahannya akan panjang, dan rakyat senang.

Jokowi menang bukan karena kegagahan, kegantengan, dan pemikirannya yang cemerlang. Dia menang karena keistimewaan yang dipunyai. Dia tampil polos dan lugas, tidak omong ndakik-ndakik (tinggi-tinggi dan sok intelek), namun menunjukkan diri sebagai pekerja keras yang konsisten. Maka di tengah zaman banyak orang pinter yang minteri itu, Jokowi menang.

Adakah Jokowi mampu menangkal nafsu-nafsu itu? Nafsu yang tidak hanya datang dari wewe gombel, gendruwo, demit, dan kemamang lambang dari setan kelas bawah, tetapi juga sampai rajanya para dewa? Jika mampu, maka Jokowi memang manusia pilihan. Pilihan Gusti Allah untuk membawa negeri besar ini memasuki Zaman Kalasuba. Zaman keemasan di era global.

Namun jika tidak, maka Dewi Sukesi akan kembali menjadi korban. Ibu pertiwi itu akan rusak. Dirusak oleh dirinya sendiri, oleh anak darah dagingnya, yang adigang-adigung, arogan, mengobarkan permusuhan, yang disimbolkan sebagai Rahwana yang raksasa.

Ilmu kesempurnaan memang akan sempurna jika ada kebaikan budi disertai azimat Ronggowarsito, "eling lan waspada". Ingat dan waspada. Adakah Jokowi akan selalu eling dan waspada di saat memimpin nanti?

*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya. Penulis tinggal di Jakarta.


(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads