Dalam realitasnya, UU dimaksud sudah tidak selaras dengan perkembangan demokrasi di Indonesia yang memberi kebebasan berorganisasi kepada warga negaranya dan tidak mencerminkan aspirasi sebagian besar advokat yang sulit disatukan dalam satu wadah tunggal organisasi.
Secara historis bisa dilihat faktanya. Pada tahun 1964, berdiri organisasi Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), yang di zamanya dapat dianggap sebagai satu-satunya wadah organisasi bagi para advokat. Peradin saat itu banyak melahirkan advokat-Advokat pejuang kenamaan, seperti Sukardjo Adijoyo, M Tasrif, Yap Thiam Hien, Haryono Tjitro Subowo dan Adnan Buyung Nasution.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ternyata, Ikadin yang dimaksudkan sebagai wadah tunggal organisasi advokat tidak dapat bertahan lama karena pada bulan Mei 1987 berdiri Organisasi Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) di Surabaya. Pada tahun 1989/1990 berdiri Organisasi Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) yang merupakan pecahan dari Ikadin.
Pada tahun 1993 berdiri Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), yang merupakan pecahan IPHI. Tahun-tahun berikutnya berdiri Organisasi Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (AKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Jumlah Organisasi Advokat menjadi 8 Organisasi.
Setelah berlaku UU Advokat Nomor 18 tahun 2003 yang juga menghendaki organisasi advokat dalam satu wadah tunggal, maka berdasarkan deklarasi 8 organisasi advokat yang diwakili ketua umum dan sekjennya, pada sekitar tahun 2005 berdiri Organisasi Persatuan Advokat Indonesia (Peradi).
Kesepakatan yang terjadi di antara organisasi pendiri Peradi pada saat itu ditunjuk pengurus sementara selama 2 tahun dalam rangka mempersiapkan munas/kongres advokat, sesuai dengan perintah pasal 28 UU Advokat, yang mengatur bahwa organisasi wadah tunggal advokat itu dibentuk berdasarkan musyawarah para advokat. Dan bukan berdasarkan musyawarah para pengurus organisasi saja.
Ternyata kemudian pengurus Peradi tidak kunjung melakukan munas setelah berdiri sejak 2 tahun lebih. Akibanya terjadi perpecahan di tubuh Peradi, empat pengurus organisasi pendirinya yakni dari IPHI, Ikadin pimpinan Teguh Samudra, HAPI dan APSI mengundurkan diri dari Peradi. Bahkan membuat pengumuman pembubaran Peradi di koran.
Pada 30 Mei 2008 dilaksanakan kongres advokat di Jakarta, yang didukung oleh Ikadin pimpinan Teguh Samudra (sekarang pimpinan Todung Mulya Lubis), IPHI, HAPI dan HPSI dan para advokat senior, antara lain Adnan Buyung Nasution, Ronggur Hatagalung dan lainya. Kongres Advokat waktu itu dihadiri lebih dari 3.000 advokat dan ribuan surat-surat dukungan dari advokat di seluruh Indonesia yang tidak bisa menghadiri kongres advokat tersebut.
Hasil kongres advokat yang jumlah pesertanya sangat besar itu (sangat legitimate) menghasilkan berdirinya Organisasi Kongres Advokat Indonesia (KAI).
Perlu diketahui bahwa UU No 18/2003 tentang Advokat tersebut, juga teledor menyalahi perinsip independen yang merupakan perinsip dasar dari profesi advokat, dengan dimasukkanya aturan yang menyangkut kewajiban seorang calon advokat sebelum menjalankan praktek, diambil sumpahnya dihadapan sidang terbuka Pengadilan Tinggi.
Aturan ini dapat mengakibatkan profesi advokat berada di bawah pengaruh MA, PT, dan hakim-hakim pengadilan. Sebagai perbandingan, untuk profesi penegak Hukum lainya yaitu polisi, jaksa dan hakim, sebelum mereka menjalankan profesinya mereka disumpah oleh instansi masing_masing. Ironis, advokat disumpah oleh Pengadilan Tinggi.
Aturan mengenai sumpah advokat ini terbukti telah menimbulkan dampak yakni merusak independensi dan martabat profesi advokat. Karena, ketua pengadilan tinggi di seluruh Indonesia tidak mau mengambil sumpah calon advokat KAI yang sudah memenuhi syarat, yang menurut info yang berkembang di kalangan pengadilan tinggi, ketua pengadilan tinggi tidak berani mengabil sumpah anggota KAI maupun organisasi advokat lainya karena takut kena sangsi oleh pihak Mahkamah Agung. Seperti yang di alami mantan Ketua Pengadilan Tinggi Ambon.
Pengadilan Tinggi hanya bersedia mengambil sumpah calon advokat Peradi. Padahal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 101 tahun 2009 menyatakan, bahwa Pengadilan Tinggi wajib mengambil sumpah calon advokat tanpa melihat dari organisasi manapun yang mengajukanya. Baik yang di ajukan Peradi maupun KAI, mengingat belum terbentuknya organisasi wadah tunggal sebagaimana dimaksud UU Advokat.
Keadaan bertambah parah ketika para advokat KAI maupun advokat dari organisasi lainya banyak yang ditolak hakim pengadilan pada saat mereka menjalankan profesi membela kliennya. Baik atas keberatan advokat dari Peradi atau atas inisiatif majelis hakim yang memimpin sidang. Dengan alasan advokat tersebut belum memiliki berita acara sumpah (BAS).
Akibatnya sering terjadi ketegangan antara majelis hakim dengan advokat yang ditolak tersebut. Padahal advokat tersebut tidak salah, karena yang tidak bersedia mengambil sumpah advokat adalah pihak pengadilan tinggi.
Akibat lebih jauh timbul persepsi negative di kalangan advokat yang ditolak sidang terhadap hakim pengadilan yaitu hakim pengadilan dianggap bertindak diskriminatif dan melanggar HAM serta Ketua Pengadilan Tinggi tidak mentaati hukum (Putusan MK).
Perkembangan terkini yang dialami profesi advokat tergerusnya independen dan martabat advokat serta lunturnya solidaritas sesama advokat. Seakan-akan advokat yang sudah memiliki BAS senang dan bangga mempermalukan rekan sejawatnya yang tidak diperkenankan mengikuti sidang pengadilan.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas maka para advokat yang belum mendapatkan BAS dan yang selalu terjegal menjalankan profesinya menaruh harapan besar agar revisi UU Advokat dapat segera disahkan pada akhir masa tugas DPR saat ini. Dengan revisi UU Advokat tersebut akan terlaksana pengambilan sumpah calon advokat yang sudah memenuhi syarat tanpa hambatan dan tanpa diskriminasai sebagaimana yang dialami selama ini. Karena dalam revisi UU Advokat diakomodir multi organisasi advokat dan pengambilan sumpah advokat dilakukan oleh organisasi advokat secara independen.
Sekalipun revisi UU Advokat tersebut mengakomodir adanya multi organisasi advokat, namun persyaratan diakunya suatu organisasi advokat tersebut tidaklah mudah. Karena organisasi yang diakui sah adalah yang mempunyai pengurus di semua propinsi di Indonesia ditambah minimal mempunyai pengurus 30 persen di kabupaten /kota di setiap profinsi.
Dengan persyaratan yang demikian ketat, tentu tidah banyak organisasi yang dapat diakui menjadi organisasi advokat yang sah.
Mengenai standar pendidikan khusus profesi advokat maupun ujian advokat, dalam revisi UU advokat kurikulum tentu mengacu kepada kurikulum dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, oleh karenanya diyakini bahwa mutu pendidikan dan ujian akan lebih baik.
Sehingga kekhwatiran Peradi dan kalangan unsur Pengadilan Tinggi bahwa dengan multi organisasi akan menimbulkan banyak advokat nakal yang akan merugikan pencari keadilan, tidak akan terjadi. Nakal tidaknya seorang advokat bukan karena sistim wadah tunggal atau multi organisasi. Tetapi tergantung integritas pribadi advokat yang bersangkutan dan pengawasan dari organisasi, masyarakat dan pemerintah.
Di samping itu revisi UU tersebut juga mengenal adanya lembaga Dewan Advokat Nasional (DAN) yang akan bertugas menjaga/mengawal etika profesi, kurikulum pendidikan advokat. Sekalipun DAN diseleksi oleh panitia yang disiapkan pemerintah dan dipilih oleh DPR belum tentu anggota DAN yang terpilih akan tunduk terhadap anggota DPR/tekanan politis pihak yang memilihnya, tergantung integritas moral anggota DAN tersebut.
Kita bisa melihat contoh anggota KPK, mereka tidak tunduk terhadap pemerintah maupun terhadap anggota DPR yang memilihnya. Oleh karena itu sangat diperlukan partisipasi organisasi advokat untuk memberikan masukan kepada DPR terhadap integritas dan track record dari calon-calon anggota DAN yang akan di pilih.
Secara khusus, terhadap pimpinan Peradi diimbau agar tidak terlalu resisten terhadap revisi UU Advokat karena revisi UU Advokat tersebut yang mengatur lebih detail tentang seluk beluk profesi Advokat diyakini akan banyak manfaat untuk profesi Advokat.
Sudah tidak zamannya lagi organisasi advokat merupakan wadah tunggal karena berdasarkan sejarah sudah terbukti organisasi wadah tunggal advokat di Indonesia tidak dapat bertahan lama karena sering konflik dan pecah. Berkenaan dengan hal tersebut mengingat revisi UU Advokat sangat diperlukan guna perbaikan mutu profesi advokat dan penegakan hukum di Indonesia, dimohon kepada pansus revisi UU advokat DPR untuk segera mengesahkanya menjadi UU.
* Penulis merupakan praktisi hukum KAI
(asp/asp)











































