Sebenarnya, 4 (empat) pesan yang disampaikan Presiden SBY yang merupakan hasil perenungan pribadi SBY, juga sudah menggambarkan bagaimana kondisi kekinian Indonesia. Presiden SBY mengharapkan Indonesia dapat menjaga empat hal dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara, yaitu:
Pertama, menjaga sistem bernegara, tak boleh hanya tergantung figur. "Jangan pernah lupa, yang paling penting adalah sistem demokrasi, politik, dan ekonomi. Demokrasi tidak boleh tergantung pada figur seseorang. Selama sistem itu kuat, maka rakyat dan negara akan kuat. Jika sistem lemah dan keropos, maka demokrasi bisa labil dan mengalami kemunduran," kata SBY.
Kedua, jaga ke-Indonesia-an kita. Indonesia bukan negara agama. SBY menegaskan Indonesia merupakan negara dengan paham Pancasila. Filsafat negara ini menjaga Indonesia dari paham-paham luar yang bisa mengancam keberagaman Indonesia. Tidak ada gunanya kita semakin makmur dan modern tapi kehilangan dasar negara kita yakni Pancasila. Paham agama bertendensi kekerasan harus dijauhkan dari Indonesia. Organisasi ISIS disebut SBY sesat dan berbahaya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketiga, demokrasi jangan transaksional, sehingga demokrasi kehilangan jiwa kerakyataan dan hanya elite poltik yang transaksional. Keempat, jaga momentum kebangkitan bangsa. SBY mengimbau agar Indonesia bisa menjaga momentum kebangkitan dari krisis. Jangan sampai Indonesia jatuh dan kehilangan momentum ini.
"Setelah 69 tahun merdeka, Indonesia telah tampil menjadi demokrasi yang besar, ekonomi yang kuat, dan pemain internasional yang disegani, serta dengan masa depan yang menjanjikan," kata SBY dari mimbar.
"Terlepas dari segala permasalahan dalam negeri yang masih kita hadapi, kita bisa membuktikan kepada dunia bahwa di bumi Indonesia, demokrasi, Islam dan modernitas dapat tumbuh bersama; kita bisa menunjukkan bahwa konflik dapat diselesaikan secara damai dan demokratis; kita bisa bangkit dari berbagai krisis yang beruntun menerpa kita; dan kita bisa memperlihatkan bahwa bangsa yang majemuk seperti kita juga dapat menjadi bangsa yang rukun," kata SBY.
Memperbaiki Indonesia
Sejauh ini, tidak ada satupun negara yang mampu mengalahkan Indonesia dalam soal berpolitik, berdemokrasi dan kebebasan pers. Walaupun kebebasan pers ditandai dengan sejumlah persoalan mendasar akhir-akhir ini seperti munculnya cengkeraman oligarki media akibat tidak adanya pembatasan kepemilikan media, siaran atau program siaran yang partisan dan tidak bermutu semakin mendominasi, berkembang pesatnya media sosial yang menyebarkan beragam fitnah, membocorkan rahasia negara tanpa adanya sensor atau waktu yang cukup dari pengelola media sosial untuk menyeleksinya, sehingga media sosial menjadi 'pasar bebas' informasi yang sebagian besar sudah kebablasan.
Dalam soal berpolitik dan berdemokrasi, kesuksesan melaksanakan Pemilu Legislatif pada 9 April 2014 dan Pemilu Presiden pada 9 Juli 2014 mendapatkan apresiasi dari berbagai negara. Dan 'kerja politik lima tahunan' tersebut juga mendapatkan liputan pemberitaan media asing yang cukup meluas, termasuk beragam pujian salah satunya dari Senator AS, Jhon McCain. Walaupun, kesuksesan Pilpres 2014 diyakini oleh sebagian kalangan, terutama pendukung dan pemilih Prabowo-Hatta diwarnai dengan beragam kecurangan, sehingga patut diperkarakan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Ada yang menilai upaya memperkarakan hasil Pilpres 2014 ke MK hanya sebagai cara 'men-delay kekalahan' semata, namun ada juga yang menganalisis sebenarnya kubu Prabowo-Hatta sudah dapat menerima kekalahan, namun intisari gugatan ke MK adalah 'memberikan pelajaran hukum' terhadap oknum penyelenggara pemilu yang dinilai mereka bertindak partisan dan tidak profesional. Ini yang sekarang disidangkan ke MK.
Terlepas dari itu semua, masih banyak yang harus diperbaiki oleh Indonesia di usianya yang ke-69 agar semakin menjadi negara yang maju, transparan, sehat, demokratis dan dapat disegani.
Pertama, reformasi birokrasi dan profesionalisme aparatur negara tetap harus ditingkatkan. Reformasi birokrasi jangan semata-mata mengarah kepada tuntutan remunerasi, namun perlu adanya penerapan yang rigid atas prinsip "the right man in the right place”, “merit system”, modern service, reward and punishment dan siap untuk bersaing di ranah regional dan global.
Oleh karena itu, reformasi birokrasi baik di ranah aparatur sipil negara maupun di ranah militer dan aparat penegak hukum terus diberlanjutkan, antara lain: penempatan pejabat negara terutama mulai eselon II ke atas agar semakin selektif, melalui fit and proper test (agar dapat dipilih pejabat yang mampu memangku dan memikul tugas dan tanggung jawabnya, bukan pejabat yang drop-dropan atau pejabat diangkat dari KKN), sudah mulai dipikirkan pejabat eselon II minimal bergelar pasca sarjana dari universitas terkemuka, sedangkan pengisian jabatan eselon I juga sebaiknya melalui fit and proper test.
Kedua, percepatan pertumbuhan ekonomi harus terus digenjot melalui pembangunan infrastruktur, pengembangan dan penguatan biodisel atau energi terbarukan, pemberdayaan dan penguatan sektor-sektor yang bersifat padat karya lebih dikedepankan, termasuk sektor-sektor UKM serta industri kreatif sehingga dapat mengurangi pengangguran serta mengurangi 'gini ratio' saat ini yang masih menggambarkan “economic gap” yang cukup melebar.
Ketiga, memperkuat alutsista pertahanan negara, termasuk meningkatkan profesionalisme keprajuritan, sehingga mereka sebagai benteng terdepan negara dalam mengawal tetap tegaknya NKRI. Di samping itu, perlu ada kebanggaan menjadi militer Indonesia untuk tetap berprofesi sebagai militer sampai pensiun. Bagaimanapun juga kebanggaan dan jiwa korps sebagai militer tetap harus dikedepankan dan negara harus menjamin kesejahteraan prajurit, sehingga bila mereka gugur di medan laga atau medan perang membela negara, maka masa depan keluarganya tidak terabaikan.
Keempat, menata kembali kondisi sosial budaya dan 'kebebasan' kita, karena diakui atau tidak kondisi sosial budaya saat ini yang diwarnai dengan korupsi, maraknya geng motor, rendahnya pendidikan dan kesehatan, mulai berkembangnya penganut dan pengikut aliran sesat ataupun aliran “modern yang menyesatkan” seperti gay, lesbian, transgender dll serta kebebasan pers yang kurang terkontrol terutama di ranah sosial media yang menyebabkan mudahnya pihak asing melakukan propaganda yang merusak generasi muda Indonesia.
Ujung dari upaya menata kembali kondisi sosial budaya kita saat ini, adalah bagaimana kita merekonstruksi dan memperkuat national charracter building saat ini sebagai deterrence factor menangkal keterpengaruhan terhadap ideologi radikal.
Kelima, trust dan kepatuhan rakyat terhadap pemimpin nasional harus dipulihkan dan diperkuat, dengan rakyat Indonesia bersama-sama mendukung, mengawal dan mengkritisi pemerintahan hasil Pilpres 2014. Kedepankan prinsip check and balances serta menjadi 'oposisi' tidak mentabukan. Rakyat akan senang jika elit dan parpol yang kalah dalam Pileg dan Pilpres 2014 kemarin menjadi “oposisi” dan “penyeimbang” pemerintahan, sehingga tetap terkawal, demokratis dan pro terhadap “wong cilik”. Semoga.
*) Toas H adalah pemerhati masalah kebangsaan. Tinggal dan lahir di Jakarta.
(nwk/nwk)











































