Transformasi 6 Ruas Tol ke Commuter Line
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Transformasi 6 Ruas Tol ke Commuter Line

Senin, 21 Jul 2014 16:58 WIB
Agus Pambagio
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Transformasi 6 Ruas Tol ke Commuter Line
Jakarta - Kegigihan PT Jakarta Toll Development (JTD) sebagai anak perusahaan PT Pembangunan Jaya (PJ) untuk kekeuh membangun 6 ruas tol dalam kota Jakarta (6 RJTDK) perlu diacungi jempol, meskipun penambahan jalan bukan solusi terbaik untuk kota sepadat Jakarta. Buktinya penambahan 2 ruas Jalan Layang Non Tol (JLNT) Antasari dan Casablanca, tidak melancarkan lalu lintas tetapi menambah kemacetan di JLNT maupun jalan-jalan di sekitarnya.

Gagalnya JLNT mengurai kemacetan rupanya belum menjadi pelajaran berharga bagi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk tidak mengulangi membangun jalan secara masif dengan membangun 6 RJTDK Jakarta melalui investasi swasta. Buktinya Gubernur sudah menyetujui pembangunan tahap awal dengan membangun 2 ruas terlebih dahulu, yaitu ruas Semanan-Sunter dan ruas Sunter-Pulogebang sepanjang hampir 30 Km.

Sebagai investor 6 RJTDK Direksi PT JTD pantang mundur melobi Gubernur DKI Jakarta. Patut diduga Gubernur tidak enak hati menolak karena Pemprov DKI Jakarta banyak dibantu oleh PT PJ dan beberapa BUMD Pemprov DKI Jakarta, seperti PT Jaya Ancol dan PT Jakarta Propertindo (Jakpro) dalam menangani pembenahan Jakarta, seperti pembangunan Rusunawa, revitalisasi waduk-waduk dan sebagainya. Meskipun saat kampanye Cagub/Cawagub, di beberapa media keduanya tidak setuju pembangunan 6 RJTDK.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pembangunan 6 RJTDK hampir seluruhnya dibiayai oleh swasta, yaitu PT PJ dan kelompoknya, bukan dibiayai oleh APBD melalui BUMD karena PT PJ dan anak perusahaannya PT JTD merupakan perusahaan swasta, bukan BUMD seperti yang selalu dikatakan oleh Pemprov DKI Jakarta. Dengan alasan tidak menggunakan dana APBD, maka Gubernur mengijinkan 6 RJTDK dibangun. Apa betul pembangunan 6 RJTDK dibutuhkan oleh warga Jakarta?


Transformasi 6 RJTDK ke Angkutan Umum Berbasis Rel

Mengapa dana pembangunan 6 RJTDK yang sekitar Rp 40 Triliun tidak ditransformasikan saja ke pembangunan rel double-double track khusus untuk kereta Commuter Line (CL) Jabodetabek, baik yang dikelola PT KCJ maupun CL baru milik PT JTD? Secara finansial transformasi tersebut dapat diatur menggunakan sebuah kebijakan khusus.

Sudah banyak bukti di beberapa negara, keberadaan jalan tol dalam kota bukan memperlancar lalu lintas tetapi menambah kemacetan semakin parah. Sehingga beberapa kota, seperti Seoul menghancurkan jalan tol dalam kotanya demi membebaskan Kota Seoul dari kemacetan total. Sebagai gantinya, Pemerintah Kota Seoul memperluas dan memperbaiki sistem jaringan transportasi umumnya dan terbukti pada akhirnya kemacetan terurai.

Seharusnya Pemprov DKI mau belajar dari pengalaman kota Seoul dan kegagalan 2 ruas JLNT yang dalam hitungan jam setelah diresmikan sudah macet dan sekarang semakin parah. Bahkan jalan di sekitar JLNTpun terimbas kemacetan parah. Bisa dibayangkan, Jakarta akan jadi seperti apa ketika 6 RJTDK selesai dibangun? Dapat saya pastikan bahwa Jakarta akan menjadi tempat parkir kendaraan terluas di dunia.

Selain itu dapat diperkirakan bahwa dalam 10 tahun mendatang, gangguan kesehatan warga Jabodetabek, khususnya pengendara motor dan pejalan kaki, yang terekpos langsung oleh gas buang dari kendaraan bermotor akan meningkat, misalnya gangguan kesehatan penyakit degeneratif dan kanker.

Sudah banyak teori dan implementasi yang membuktikan bahwa untuk mengurangi kemacetan di kota-kota besar, seperti Jakarta, harus digunakan angkutan umum yang berbasis rel yang berdaya angkut besar, seperti kereta komuter dan atau Mass Rapid Transit (MRT) yang terkoneksi baik dengan sistem Bus Rapid Transit (BRT) atau Busway, people mover seperti Monorel dll. Bukan membangun JLNT dan 6 RJTDK.

Untuk itu alangkah arif dan bijaksananya Pemprov DKI Jakarta jika dana pihak swasta untuk pembangunan 6 RJTDK yang sekitar Rp 40 Triliun itu ditransformasikan ke pembangunan rel double-double track, khusus untuk kereta Commuter Line (CL) Jabodetabek supaya tidak tercampur dengan rel KA jarak jauh seperti sekarang.

Selain itu akan muncul perusahaan CL baru milik PT JTD di luar CL Jabodetabek yang selama ini dikelola oleh PT KCJ. Bagaimana? Beranikah Pemprov DKI melakukan transformasi atau bahkan revolusi transportasi?

PT JTD sebagai perusahaan swasta dan anak perusahaan PT PJ yang berkonsorsium dengan beberapa BUMN dan BUMD, seperti PT Jaya Ancol dan PT Jakpro seharusnya paham usulan saya di atas jika tujuannya untuk mengurai kemacetan di Jakarta. Kecuali mereka memang hanya mau mengambil untung besar di tengah penderitaan rakyat Jakarta/Jabodetabek. Secara legal usulan tersebut dilindungi oleh UU No. 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian, pembangunan prasarana dan sarana perkeretaapian dapat dilakukan oleh badan hukum swasta, Pemerintah Daerah dan Pemerintah. Jadi PT JTD dapat menjadi perusahaan kereta api swasta seperti di Jepang.

Investasi PT JTD membangun 6 RJTDK sekitar Rp 40 Triliun dan ini sangat cukup jika digunakan untuk membangun rel layang atau elevated double-double track di Jabodetabek termasuk signaling, gardu listrik, rolling stock beberapa set dll. Investasi untuk membangun CL dengan rel elevated, supaya mengurangi persoalan pembebasan lahan, sekitar Rp. 500 - Rp 600 miliar/km.

Langkah Strategis

Pemprov DKI Jakarta sebagai regulator dan pemegang saham minoritas di PT JTD harus mendesak supaya PT TJD mengalihkan investasinya dari jalan tol ke pembangunan kereta api/CL. Sebenarnya langkah ini bukan sekedar transformasi tetapi sudah merupakan revolusi transportasi yang harus segera direalisasikan.

Langkah tersebut diatas menjadi menarik bagi PT JTD jika mendapat dukungan dari Pemerintah Pusat (Kementerian Keuangan dan Kementrian Perhubungan) dan Pemprov DKI berupa kebijakan dan pemberian insentif fiskal supaya adil dan sehat ketika harus bersaing dengan CL Jabodetabek yang dikelola oleh PT KCJ/KAI. Pemerintah harus memberikan fasilitas yang equal.

Berbagai insentif fiskal yang dapat diberikan oleh Pemerintah, seperti pembebasan bea masuk (PPnBM) barang impor, pembebasan PPN, membantu proses pembebasan tanah, seperti layaknya skim yang digunakan oleh BLU BPJT di Kementrian Pekerjaan Umum dll. Jika persaingan sehat ini bisa dilakukan, maka warga Jabodetabek pengguna CL akan mendapatkan pelayanan yang prima dari 2 operator ini.

Usulan diatas harus ditindaklanjuti demi kelancaran pergerakan manusia di Jabodetabek yang pada akhirnya akan melancarkan roda perekonomian masyarakat dan mengurangi resiko terkena penyakit degeneratif dan kanker di Jabodetabek. Sekali lagi jangan bangun 6 ruas jalan tol dalam kota Jakarta.

*) Agus Pambagio, pengamat kebijakan publik

(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads