Tentu saja hal ini tidak bisa dibiarkan, karena demokrasi tidak diboleh dirusak oleh mereka yang menipulatif dan tidak kredibel dalam bekerja. Pemerintah maupun masyarakat harus serius bertindak, sehingga ke depan tidak ada lagi lembaga survei nakal yang merusak demokrasi dan suara rakyat yang seharusnya sangat dihormati. Semua pihak harus menyadari, potensi ancaman horizontal yang terjadi di masyarakat tentunya tidak dapat ditukar dengan egoisme untuk mendapatkan legitimasi kemenangan dalam pemilu.
Menyeleweng Menjadi Alat Propaganda Politik
Hasil yang manipulatif dari beberapa lembaga survei tentunya bukanlah suatu kesengajaan. Hal ini sesungguhnya sudah direncanakan sejak lama, dan dengan persiapan yang matang. Lembaga survei yang seharusnya bersikap netral dan objektif, dapat berubah menjadi menyesatkan dan mengancam kesatuan bangsa demi kepentingan sesaat, dan menjadi alat propaganda politik dari salah satu pasangan kandidat.
Kegaduhan politik akibat kesalahan dari lembaga survei bukan baru saja ini terjadi, namun sebelumnya levelnya hanya sampai pemilihan kepala daerah. Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Selatan 2008 lalu, Puskaptis merilis data quick count yang sangat berseberangan dengan hasil Pilkada di Sumatera Selatan. Akibatnya, kegaduhan dan kericuhan sempat terjadi pada Pilkada yang akhirnya dimenangkan oleh Alex Noerdin tersebut. Pimpinan Puskaptis pun harus diamankan oleh polisi dari amukan massa.
Lembaga survei seharusnya bekerja secara objektif menurut kaidah statistik yang perumusan sampelnya telah diatur sedemikian rupa, sehingga hasil yang diraih tidak jauh berbeda dengan realitas. Margin error atau batas ambang kesalahan hanyalah satu persen dari perhitungan nyata. Namun tatanan ini bisa hancur dengan mudah ketika lembaga survei bersedia dijadikan sebagai alat propaganda politik, dan berafiliasi pada salah satu kandidat.
Dengan menjadi alat propaganda politik, maka lembaga survei akan meninggalkan kaidah metodologi, dan menggunakan segala cara agar pasangan yang diusung menang. Sampel yang manipulatif, dan merubah jumlah hasil perolehan di lapangan merupakan cara termudah yang dapat dilakukan.
Mencegah lembaga survei menjadi alat propaganda politik harus menjadi salah satu agenda politik pemerintahan ke depan. Pemerintah bersama DPR harus membuat suatu regulasi atau perundangan khusus tentang lembaga survei. Ke depan, harus ada konsekuensi hukum bagi lembaga survei yang mempublikasikan kebohongan atau data yang tidak akurat. Lembaga survei yang terbukti memiliki afiliasi politik juga harus ditutup, dan pada pengurusnya dikenakan ancaman pidana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ancaman Vote Trading
Tujuan utama dari adanya dua klaim pemenangan dalam pilres lalu adalah menimbulkan kebingungan di masyarakat. Masing-masing pasangan calon mengklaim kemenangan untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Namun, apabila keduanya mengklaim sebagai pemenang, maka perpecahan lah yang sesungguhnya akan terjadi.
Namun ancaman sesungguhnya yang paling berbahaya adalah terjadinya penjualan suara atau vote trading di dalam rekapitulasi suara. Berbeda dengan negara-negara maju di mana data dari TPS langsung masuk ke tabulasi data nasional. Maka perhitungan manual di Indonesia harus melewati rekapitulasi di tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga di tingkat nasional.
Panjangnya rantai perhitungan suara ini yang kemudian menjadi celah untuk terjadinya penjualan suara atau vote trading. Di dalam politik, kita tidak dapat beranggapan bahwa semua panitia Pemilu adalah orang yang jujur sehingga tidak dapat disogok. Namun fenomena sebaliknya yang justru terjadi. Dalam pemilihan legislatif lalu misalnya, ratusan calon legislator melaporkan kehilangan suara ke Mahkamah Konstitusi karena merasa suaranya dicuri atau dihilangkan dalam perhitungan oleh panitia Pemilu.
Pada level ini, tatanan etika dan moral dalam berpolitik sudah tidak ada. Dengan demikian kehancuran suatu negara tidak dapat terhindarkan lagi. Ketika lembaga panitia Pemilu dianggap lagi tidak kredibel dan jujur, maka tidak dapat dibayangkan seperti apa konflik yang bisa muncul.
Untuk mencegahnya ada dua hal yang dilakukan. Dari sisi masyarakat dan partai politik, pengawalan perhitungan atau rekapitulasi suara harus dilakukan pada setiap level. Formulir C1 harus disimpan oleh setiap saksi, sehingga tidak ada satu pun suara yang berubah dari Sabang hingga Marauke. Kedua, partai politik sebagai organisasi terdepan yang memberikan pendidikan etika dan moral politik, sehinga tidak ada kadernya yang akan berniat curang. Ketiga, membuka pos pengaduan 24 jam bagi siapa pun yang meihat atau mencurigai terjadinya penjualan suara pada saat rekapitulasi.
Dari sisi pemerintah, semua aparat atau tatanan birokrasi harus diberdayakan dalam pengamanan suara. Pemerintah memiliki Kementerian Dalam Negari yang memiliki staf hingga tingkat terbawah. Begitu juga dengan Kepolisian dan TNI yang dapat juga diperbantukan. Kedua, sistem teknologi informasi KPU harus dijaga ketat. Belajar pada kasus 2009, maka kecurangan pada perhitungan di sistem informasi amat mungkin dilakukan dan terulang kembali.
Dengan mencegah terjadinya penjualan suara maka proses demokrasi akan semakin matang dan terhindar dari konflik yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Namun hal ini harus melibatkan semua unsur bangsa, baik pemerintah maupun masyarakat harus terlibat aktif. Dengan demikian, mereka yang menginginkan kemunduran dalam berdemokrasi tidak bisa merusak tatanan yang telah baik terbangun.
*) Otjih Sewandarijatun adalah alumnus Universitas Udayana, Bali. Tinggal di Jakarta.
(nwk/nwk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini