Saya mulai tulisan ini dengan bismillahirohmanirrohim, semoga kalimat ke depanya tidak terjebak pada perasaan pamrih yakni ujub (sombong), riyaβ (ingin dilihat), dan sumβah ingin didengar). Tulisan ini saya niati untuk berbagi pendapat dan argumentasi tentang capaian suatu bangsa dalam sudut pandang yang mungkin kecil sekali, sebagaimana yang mampu penulis tangkap.
Perjalanan gegap gempita pemilihan presiden yang tinggal beberapa hari lagi ini terasa menguras energi para pendukung khususnya tim sukses masing-masing pasangan, baik JKW-JK ataupun Prabowo-Hatta. Kedua-duanya sibuk menggali kreasi dan ide gila dalam rangka menjaring simpati dan dukungan rakyat. Kegaduhan media, khususnya sosmed melepuhkan pori-pori kearifan hingga tumbuh bibit dan anak fitnah di publik. Akibatnya rakyat kurang mendapati suguhan pendidikan politik dan tanggung jawab dalam berbangsa dan bernegara, yakni terlibat secara aktif untuk berdiskusi dalam menentukan pilihan calon presiden secara sehat dan merdeka.
Pada pesta pilpres kali ini rakyat lebih banyak dijejali oleh jargon dan propaganda, bukan kenyataan politik tentang kedirian sosok capres cawapres serta obyektifikasi dan rasionalitas sebuah program pemerintahan yang hendak dibangun ke depan. Dalam pandangan penulis, semua rata-rata sibuk berapologi dalam jebakan kata-kata dan kalimat agar mendapati citra /kelihatan gagah, sederhana, cerdas dan sangat pro rakyat. Dengan hanya berakrobat semacam itu, adakah kepastian rakyat mampu memahami, mencerna secara baik, selajutnya memilih para capres-cawapres berdasar program-program yang ditawarkannya? Berapa persen rakyat melakukan sikap semacam ini? Marilah kita renungi secara bersama-sama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara tim sukses sendiri kurang menggubris hal-hal yang bersifat nilai, gagasan, kesadaran, visi dll. Tim sukses dan masing-masing pendukung tidak menggubris itu semua, mereka hanya bersemangat pokoβe harus pilih jagonya sendiri. Jika demikian, benarkah kita sedang menawarkan pimpinan yang terbaik dengan cara yang terbaik? Marilah kita sadari dan bicarakan bersama supaya tidak terjebak dalam kegiatan anarki dan bahasa kampanye hitam ataupun propaganda negatif.
Sekadar refleksi kecil, pasca reformasi kehidupan politik kita berubah secara mendasar, demokrasi kita lahir dari jerih payah perjuangan dan pengalaman pahit masa lalu dan tetap berpegang pada semangat pendiri Republik Indonesia. Masa jabatan presiden dibatasi, peran dan posisi DPR menjadi bebas dan maksimal serta hak-hak asasi manusia dicantumkan dalam UUD.
Sejak masa itu terbukalah kehidupan politik dan media, kemerdekaan pun meluas. Demokrasi yang kita wanti-wanti berdiri hingga kini dalam pemerintahan SBY yang kita rasai bersama. Pemerintahan SBY berjuang dengan keras menyeimbangkan antara pertumbuhan dan kebebasan. Menyunggi kepentingan ekonomi dan kesejahteraan sosial serta demokratisasi dan keamanan berbangsa. Sebuah tanggung jawab besar yang telah dan hampir selesai ditunaikan oleh SBY. Perjalanan dan pelajaran berharga ini tidak hendak kita cicil dalam mengapresiasi, tetapi harus kita tanamkan dalam praktek berpolitik yang makin tertib dan dewasa.
Dalam pelajaran ini penulis melihat ada tiga faktor yang telah dilakukan oleh SBY (dalam rangka menuju demokrasi yang modern), sehingga pemerintahan beliau berjalan relatif efektif pertama adalah suasana politik yang stabil, kedua birokrasi pemerintahan yang berjalan baik dan ketiga, kebijakan dasar yang rasional dan realistis.
Pemerintahan SBY bukanlah pemerintahan yang tanpa masalah, apalagi demokrasi yang berkembang dalam tahap konsolidasi, hal ini bukankah pekerjaan mudah. Tetapi seperti pengalaman sejarah kita, kestabilan politik harus selalu mengasumsikan masyarakat yang tanpa konflik dan perbedaan. Menghadapi suasana semacam ini SBY tidak pernah melakukan tindakan represif terhadap perbedaan pendapat, bahkan terhadap penentang kebijakanya sekalipun. SBY dalam konteks ini selalu mengedepankan landasan hukum dan menjaga perasaan keadilan di tengah masyarakat.
Dasar-dasar kebijakan menuju Negara modern telah diletakkan oleh pemerintahan SBY, akankah hal ini ke depan bisa menjadi landasan bagi percepatan pembangunan dan pemerataan kesejahteraan? Mari kita sama-sama menjaga dan mengupayakanya menuju harapan tersebut. Untuk melakukan hal tersebut, kita mau tak mau harus mengembangkan kepemimpinan (baca; elite politik) yang memiliki komitmen dan konsensus dalam hal-hal pokok bernegara dan bermasyarakat.
Setelah melewati perjalanan dalam mengawal demokratisasi dan perubahan kepimpinan sejak reformasi, mestinya kita telah memasuki masa pendewasaan politik lewat pemilihan capres-cawapres tahun ini. Menjaga dan merawat pelembagaan politik agar semakin sehat dan mapan, mengawal modernisasi demokrasi yang sudah dibangun oleh SBY dan berujung pada semakin mendekatkan demokrasi politik terhadap kenyataan kesejahteraan rakyat. Semua itu hanya bisa jika semangat kompetisi kali ini ialah berebut cinta di hati rakyat!
Allahu Aβlamu bishawab
*Mantan aktivis 98 dan Sekretaris DPP PD
(nrl/nrl)











































