Dari sekian banyak moda transportasi, penggunaan tansportasi darat milik pribadi masih akan menjadi primadona pemudik. Hal ini terjadi karena adanya mitos bahwa membawa pulang kendaraan pribadi ke kampung halaman merupakan keharusan untuk menunjukkan bahwa yang bersangkutan hidupnya sukses di kota, seperti Jakarta.
Mitos tersebut diperlancar dengan murahnya harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan mudahnya memperoleh kredit kendaraan bermotor. Selain itu sulitnya mendapatkan transportasi umum di kota/desa tujuan juga menyebabkan ribuan kendaraan pribadi milik pemudik, baik roda empat maupun roda dua, selalu memadati jalan raya sepanjang P. Jawa dan P. Sumatra.
Dari data survei Potensi Permintaan Angkutan Lebaran 2014 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan, jumlah pemudik Lebaran tahun 2014 akan mencapai sekitar 28 juta orang atau meningkat sekitar 7% dari tahun lalu, dan terbesar berasal dari wilayah Jabodetabek. Ini jumlah yang banyak dan harus difasilitasi dengan baik oleh Pemerintah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perjalanan Panjang Nan Melelahkan
Pada tanggal 18 Juni 2014 dengan menumpang bus AKAP Lorena Executive, saya memulai perjalanan dari Terminal Bus Rawamangun tepat pukul 11.45. Perjalanan berjalan nyaman di tengah kepadatan lalu lintas hingga Simpang Jomin. Selepas itu kemacetan panjang diselingi dengan perbaikan (pengaspalan dan pembetonan) jalan dan jembatan mulai mendera saya hingga memasuki wilayah Cirebon.
Pembetonan berselang-seling sepanjang 1 - 2 kilometer (km) bisa memacetkan lalu lintas hingga 2 - 5 kilometer. Hebatnya perbaikan jalan tersebut tidak selalu dilengkapi dengan rambu-rambu lalu lintas. Kondisi tersebut sangat membahayakan pengguna jalan, khususnya kendaran roda dua atau motor. Perbaikan jalan dan jembatan terjadi di daerah Gempolsari, Patrol dan terus hingga menjelang pintu tol Kanci.
Kemacetan berkilo-kilometer bertambah buruk ketika banyak kendaraan besar seperti bis dan truk mengambil tindakan 'blong' atau mengambil jalur berlawanan arah untuk menghindari kemacetan tanpa diambil tindakan oleh aparat Polisi Lalu Lintas, begitu pula dengan bus yang kami tumpangi. Tindakan ini sangat membahayakan keselamatan penguna jalan lainnya dan menciptakan kemacetan bertambah parah. Alhasil perjalanan Jakarta- Cirebon ditempuh dalam waktu lebih dari 7 jam.
Di jalan tol Kanci-Pejagan yang kondisi betonnya buruk dan bergelombang, di beberapa tempat juga sedang diperbaiki tanpa ada rambu-rambu. Sangat berbahaya. Keluar di Pejagan kendaraan kembali dihadapkan dengan kemacetan dan perbaikan yang tak henti tanpa tahu pasti kapan akan selesai, meskipun lebaran sudah tinggal 1 bulan lagi.
Perbaikan jalan dan jembatan dengan minim rambu di sekitar daerah Bulakamba (Brebes), Kaligangsa (Tegal) dan Paleman (Pemalang) terus membuat perjalanan saya terhambat dan harus bertarung dengan maut karena bis yang saya tumpangi selalu nge-blong. Jalan baru kembali licin ketika memasuki Gringsing - Alas Roban hingga memasuki kota Semarang sekitar pukul 03.00 dini hari atau 15 jam perjalanan dari Jakarta. Di saat lebaran tentunya perjalanan akan semakin panjang.
Perjalanan sedikit lancar hingga menjelang kota Demak. Perbaikan jalan kembali muncul dan berdampak pada kemacetan kian parah hingga lepas kota Lasem. Kemacetan bisa mencapai lebih dari 5 km di beberapa ruas sebagai akibat perbaikan jalan dan jembatan serta kecelakaan karena banyak kendaraan besar yang nge-blong. Selepas Lasem hingga Lamongan, kualitas jalan buruk, bergelombang dan bopeng namun tidak ada pekerjaan perbaikan. Kemacetan berkepanjangan kembali mendera menjelang kota Lamongan hingga memasuki jalan tol ke Surabaya.
Tepat pukul 13.15 tanggal 19 Juni 2014, bus memasuki Terminal Bungurasih Surabaya. Artinya Jakarta-Surabaya ditempuh dalam waktu 25 jam menggunakan bus AKAP Lorena di H - 40. Bisa dibayangkan ketika arus mudik dan balik, berapa lama pemudik harus tersiksa dengan kemacetan?
Tidak terbayangkan ketika mudik tiba, dengan panjang jalan yang tidak bertambah berbagai kendaraan harus berjibaku berebut ruang tersisa yang bebas perbaikan di jalur Pantura. Selain minimnya rambu-rambu, perbedaan tinggi permukaan jalan akibat pembetonan, tiadanya bahu jalan atau bahu jalan menjadi tempat parkir truk, permukaan jalan berlubang, berpasir atau tidak rata ditambah kelelahan merupakan perangkap bagi pengguna jalan, khususnya motor.
Langkah Penanganan Yang Diperlukan
Lambannya pembangunan dan perbaikan infrastruktur, seperti di jalur Pantura, harus dihindari dengan penggunaan angaran yang lebih baik dan tidak koruptif, pendanaan multi tahun yang tidak tergantung pada jadwal penganggaran di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta pengawasan internal dan eksternal yang ketat.
Untuk menghindari sabung nyawa di Pantura serta pembelajaran bagi Pemerintah supaya bekerja lebih baik, publik harus mulai berani melakukan tuntutan hukum kepada penyelenggara jalan sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) dan (20) serta Pasal 273 UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Untuk jalur Pantura, tuntutan ditujukan kepada kepada Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementrian Pekerjaan Umum (PU). Sebagai penyelenggara jalan, Ditjen Bina Marga wajib menyediakan rambu-rambu di sepanjang jalan yang sedang diperbaiki maupun masih rusak. Jika tidak, maka penyelenggara jalan dapat dihukum pidana atau denda maksimum sebesar Rp. 120 juta.
Akhir kata, semoga janji Kementerian PU untuk menyelesaikan jalur Pantura pada tanggal 30 Juni 2014 terlaksana dan untuk menghindari sabung nyawa, Pemerintah juga harus segera memberikan alternatif cara mudik tanpa menggunakan kendaraan pribadi, khususnya sepeda motor, namun lebih aman dan semurah kalau dikendarai. Selamat menjalani ibadah puasa dan selamat berlebaran bersama keluarga di kampung halaman.
*Pengamat Kebijakan Publik
(nrl/nrl)











































