Brasil 2014 dan BRIC
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Brasil 2014 dan BRIC

Kamis, 12 Jun 2014 11:35 WIB
Ardi Winangun
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Mulai 12 Juni 2014 hingga 30 hari ke depan, ratusan juta umat manusia di dunia akan tertuju ke Brasil. Di negeri yang terletak di Benua Amerika Latin itu akan digelar Piala Dunia, rutinitas pertandingan sepak bola empat tahunan yang melibatkan seluruh negara. Helatan Piala Dunia 2014 itu merupakan kedua kalinya bagi negeri samba untuk menjadi tuan rumah. Pada tahun 1950, negeri yang berbahasa resmi bahasa Portugis itu juga menjadi tuan rumah.

FIFA menunjuk kembali negeri yang memiliki motto Ordem e Progresso atau Orde dan Kemajuan untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia karena pertimbangan prestasi sepakbola dan kemajuan ekonomi negeri itu. Sebagaimana diketahui negeri yang bertabur bintang pemain bola (kalau disebutkan satu persatu halaman ini tidak cukup) telah lima kali menjadi juara Piala Dunia. Kesebelasan yang ber-jersey kuning itu menjadi juara pada tahun 1958, 1962, 1970, 1994, dan 2002. Sedang untuk Piala Amerika atau Copa America, raihan juara lebih banyak lagi, yakni 7 kali. Pada tahun 1919, 1922, 1949, 1989, 1997, 1999, 2004, dan 2007.

Brasil dinilai layak menjadi tuan rumah oleh FIFA sebab beberapa tahun ini negeri yang memiliki luas 8,5 kilometer persegi itu mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Pertumbuhan ekonomi di Brasil menggeliat ketika negeri itu dipimpin oleh Presiden Luiz Inacio Lula da Silva.
Di bawah da Silva, negara itu mampu mengentaskan dirinya dari kemiskinan. Tak sekadar itu bahkan Brasil menjadi sebuah kekuatan ekonomi baru, baik di Amerika Latin maupun dunia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Buktinya, Brasil bersama dengan Rusia, India, dan China membentuk blok kekuatan ekonomi yang terhimpun dalam BRIC. Sebagai himpunan negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kekuatan BRIC mampu menandingi blok ekonomi yang lebih dulu mentereng, G-7. G-7 terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, Italia, Kanada, dan Jepang.

Da Silva dalam masalah ekonomi tak hanya sekadar memikirkan pertumbuhan namun juga melakukan pemerataan. Kaum petani, nelayan, dan buruh yang masih menjadi kelompok yang melimpah di negeri itu, terangkat oleh kebijakan-kebijakan pria yang pernah berkunjung ke Indonesia itu.
Di bawah kepemimpinan da Silva, membuat IMF memprediksi pada tahun 2020, Brasil menjadi 5 besar kekuatan ekonomi dunia. Hal demikian, ditambah keberpihakan pada masyarakat bawah membuat dirinya dua kali menjadi Presiden, periode 2002-2006 dan 2006-2010. Raihan suara dalam Pemilu Presiden pun mencapai 61 persen.

Ganti Presiden bisa saja ganti kebijakan, di bawah Presiden Dilma Rousseff, Brasil tidak seperti saat di bawah da Silva. Pertumbuhan ekonomi tak jelas dan kiprah hubungan internasional Brasil tak kelihatan. Di masa da Silva, hubungan internasional Brasil mampu menjadi kekuatan penekan seperti Rusia dan China.

Ketidakjelasan program ekonomi Dilma Rousseff itu terlihat dalam persiapan negara itu menjadi tuan rumah Piala Dunia. Awal dari demonstrasi menolak penyelenggaraan Piala Dunia di Brasil berangkat dari kenaikan ongkos transportasi namun karena masalah tersebut tidak teratasi maka isu berkembang menjadi mempertanyakan tingginya biaya untuk menyelenggarakan hajatan 4 tahunan itu.

Sebagai negara yang terkenal sebagai negara bola, mungkin kita mempertanyakan mengapa banyak masyarakat di sana menolak acara itu. Memang Brasil adalah negeri bola namun seperti pada masyarakat pada umumnya, bila mereka tidak makan dan tidak sejahtera, maka jangankan bola, agama pun ditinggalkan.

Saat ini bisa jadi di Brasil pertumbuhan ekonomi turun, lapangan kerja sempit, banyak pengangguran, dan kemiskinan tumbuh, namun di sisi lain triliunan uang pemerintah dikucurkan untuk penyelenggaraan Piala Dunia. Jadi di sini tidak nyambung antara kesejahteraan dan maraknya Piala Dunia. Demo menentang Piala Dunia tidak akan terjadi bila kesejahteraan dan tersedianya lapangan kerja tercipta di Brasil.
Β 
Di sinilah tantangan bagi Dilma Rousseff untuk mempertahankan apa yang sudah dilakukan da Silva, yakni membawa Brasil sebagai kekuatan ekonomi dunia dan menjadikan Brasil sebagai Juara Piala Dunia 2014. Bila Dilma Rousseff tak mampu mempertahankan apa yang sudah dilakukan da Silva dan Brasil gagal dalam hajatan bola itu maka seusai Piala Dunia nasibnya bisa tamat.

*) Ardi Winangun adalah pengamat politik, tinggal di Matraman, Jakarta Pusat.

(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads