FIFA menunjuk kembali negeri yang memiliki motto Ordem e Progresso atau Orde dan Kemajuan untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia karena pertimbangan prestasi sepakbola dan kemajuan ekonomi negeri itu. Sebagaimana diketahui negeri yang bertabur bintang pemain bola (kalau disebutkan satu persatu halaman ini tidak cukup) telah lima kali menjadi juara Piala Dunia. Kesebelasan yang ber-jersey kuning itu menjadi juara pada tahun 1958, 1962, 1970, 1994, dan 2002. Sedang untuk Piala Amerika atau Copa America, raihan juara lebih banyak lagi, yakni 7 kali. Pada tahun 1919, 1922, 1949, 1989, 1997, 1999, 2004, dan 2007.
Brasil dinilai layak menjadi tuan rumah oleh FIFA sebab beberapa tahun ini negeri yang memiliki luas 8,5 kilometer persegi itu mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Pertumbuhan ekonomi di Brasil menggeliat ketika negeri itu dipimpin oleh Presiden Luiz Inacio Lula da Silva.
Di bawah da Silva, negara itu mampu mengentaskan dirinya dari kemiskinan. Tak sekadar itu bahkan Brasil menjadi sebuah kekuatan ekonomi baru, baik di Amerika Latin maupun dunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Da Silva dalam masalah ekonomi tak hanya sekadar memikirkan pertumbuhan namun juga melakukan pemerataan. Kaum petani, nelayan, dan buruh yang masih menjadi kelompok yang melimpah di negeri itu, terangkat oleh kebijakan-kebijakan pria yang pernah berkunjung ke Indonesia itu.
Di bawah kepemimpinan da Silva, membuat IMF memprediksi pada tahun 2020, Brasil menjadi 5 besar kekuatan ekonomi dunia. Hal demikian, ditambah keberpihakan pada masyarakat bawah membuat dirinya dua kali menjadi Presiden, periode 2002-2006 dan 2006-2010. Raihan suara dalam Pemilu Presiden pun mencapai 61 persen.
Ganti Presiden bisa saja ganti kebijakan, di bawah Presiden Dilma Rousseff, Brasil tidak seperti saat di bawah da Silva. Pertumbuhan ekonomi tak jelas dan kiprah hubungan internasional Brasil tak kelihatan. Di masa da Silva, hubungan internasional Brasil mampu menjadi kekuatan penekan seperti Rusia dan China.
Ketidakjelasan program ekonomi Dilma Rousseff itu terlihat dalam persiapan negara itu menjadi tuan rumah Piala Dunia. Awal dari demonstrasi menolak penyelenggaraan Piala Dunia di Brasil berangkat dari kenaikan ongkos transportasi namun karena masalah tersebut tidak teratasi maka isu berkembang menjadi mempertanyakan tingginya biaya untuk menyelenggarakan hajatan 4 tahunan itu.
Sebagai negara yang terkenal sebagai negara bola, mungkin kita mempertanyakan mengapa banyak masyarakat di sana menolak acara itu. Memang Brasil adalah negeri bola namun seperti pada masyarakat pada umumnya, bila mereka tidak makan dan tidak sejahtera, maka jangankan bola, agama pun ditinggalkan.
Saat ini bisa jadi di Brasil pertumbuhan ekonomi turun, lapangan kerja sempit, banyak pengangguran, dan kemiskinan tumbuh, namun di sisi lain triliunan uang pemerintah dikucurkan untuk penyelenggaraan Piala Dunia. Jadi di sini tidak nyambung antara kesejahteraan dan maraknya Piala Dunia. Demo menentang Piala Dunia tidak akan terjadi bila kesejahteraan dan tersedianya lapangan kerja tercipta di Brasil.
Β
Di sinilah tantangan bagi Dilma Rousseff untuk mempertahankan apa yang sudah dilakukan da Silva, yakni membawa Brasil sebagai kekuatan ekonomi dunia dan menjadikan Brasil sebagai Juara Piala Dunia 2014. Bila Dilma Rousseff tak mampu mempertahankan apa yang sudah dilakukan da Silva dan Brasil gagal dalam hajatan bola itu maka seusai Piala Dunia nasibnya bisa tamat.
*) Ardi Winangun adalah pengamat politik, tinggal di Matraman, Jakarta Pusat.
(nwk/nwk)