Kampanye calon presiden sudah dimulai. Bagaikan pelari, Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta kencang mengejar kemenangan. Mereka menyodok bulan. Menggaet simpati. Menebar pesona. Berbaik-baik. Berakrab-akrab ria dengan rakyat, agar suara diberikan pada sang calon di saat coblosan tiba.
Tim sukses dibentuk dimana-mana. Masuk di segala sektor. Dari kampung dan kota, media sosial, radio, koran, televisi, internet, hingga ke blog-blog. Semua riuh dengan itu. Mengutak-atik kejelekan lawan. Menjunjung kebaikan setinggi langit calon yang diidamkan. Akibat itu semuanya menjadi bias. Tidak jelas benar siapa yang baik dan siapa yang jelek.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melihat situasi ini, kegamangan meninggi. Air telah keruh. Ikan yang mau ditangkap tidak diketahui tempatnya. Ruang publik terkotak-kotak. Televisi partisan. Antar-teman dan sanak-saudara tergadai demi partai dan jago yang diusung. Nilai kemanusiaan dan kekerabatan terkoyak. Terluka, yang untuk menyembuhkannya kembali butuh waktu lama.
Rakyat seperti gabah diinteri. Batin tiap individu negeri ini dicekam kepanikan. Takut suasana yang memanas ini tidak berhenti pada dinamika. Tetapi embrio chaos, yang melahirkan sikap destruksi. Berkelahi lagi. Tawuran lagi. Bakar-bakaran kayak dulu lagi. Dan jatuh korban lagi.
Ketakutan itu menaik, karena didasari pemahaman, demokrasi itu berlangsung ideal jika rakyat cerdas dan rasional. Rakyat menghargai suaranya sebagai suara Tuhan. Suara penentu bagi siapa saja yang ingin tampil sebagai pemimpin. Namun adakah rakyat negeri ini cerdas dan rasional?
Lihatlah pilihan calon legislatif kemarin. Rakyat lebih memilih yang memberi uang ketimbang yang berniat luhur mengangkat harkat dan martabatnya sebagai rakyat. Rakyat terlalu murah ‘menjual’ dirinya. Petugas pengawas dan penghitung juga idem dito. Jadilah pemilu koruptif. Serasa rakyat telah siap wakilnya kelak jadi koruptor. Mentransaksikan amanah demi memperkaya diri sendiri. Masih adakah harmoni?
Sebagai manusia beragama, kita haqqul yakin Gusti Allah memilihkan yang terbaik buat bangsa ini. Relijiusitas itu tidak terkurangi riuh-rendahnya para penjual kecap di pilpres ini. Itu karena sudah terbukti, rakyat negeri ini selalu mendapat pertolongan Yang Kuasa. Sejak merebut kemerdekaan, menyusun aturan negeri, hingga berkali-kali memasuki situasi sulit yang tak dinyana bisa teratasi.
Kepasrahan pada kehendak Yang Kuasa itu dalam literatur Jawa dimaknai, kekuasaan itu bersifat mistis. Dianalogikan sebagai sinar kemilau berwarna biru yang melanglang di langit. Di sepi malam yang pekat, ketika kantuk menghinggapi sebagian penghuninya, sinar itu turun melebih kilat. Dia manjing (menyatu) pada manusia yang ditunjuk. Manusia yang meminta dan meminta, zikrullah, kata Syech Abdul Qodir Jailani.
Dalam bahasa rakyat yang lebih lugas, wahyu itu adalah pulung. Berasal dari kata ‘pitulung’ atau ‘pitulungan’. Pertolongan Tuhan. Kendati identifikasi pulung itu sama bentuknya dengan wahyu, tetapi warnanya tidak tunggal. Tidak hanya hijau kebiruan, tetapi juga berwarna merah. Ini sebagai pengejawantahan, jika Tuhan tidak memberinya pertolongan, untuk urusan apa saja, itu sama dengan Tuhan menghukumnya. Untuk itu ada risiko yang harus dibayarkan.
Maka di Gunung Kidul dan Boyolali, Jawa Tengah, rakyat gantung diri taklah aneh. Mereka meyakini, jika ada sinar mistis warna merah yang disebut pulung gantung, esoknya akan diikuti dengan tragedi bunuh diri. Mereka tak menyoal pulung itu berkaitan dengan perebutan kekuasaan atau tidak.
Kini, dua capres sedang sibuk berkampanye. Mereka mengerahkan segalanya. Suasana negeri ini, hari-hari ini, bak pasar yang ramai transaksi. Saling jual dan saling beli. Saya pilih tidak nonton tivi, menghapus kiriman provokasi di akun pribadi. Dan diam tenang membuat kesibukan sendiri.
Siapakah capres yang akan ketiban pulung? Mendapat pertolongan Gusti Allah untuk membawa biduk ini ke hari depan? Sepesimis apapun kita tetap optimis, bahwa Gusti Allah akan memilihkan yang terbaik untuk bangsa dan negara ini.
*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya. Penulis tinggal di Jakarta.
(nwk/nwk)











































