MRT Jakarta Nasibmu Kini
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Catatan Agus Pambagio

MRT Jakarta Nasibmu Kini

Senin, 09 Jun 2014 10:35 WIB
Agus Pambagio
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
MRT Jakarta Nasibmu Kini
Jakarta - Beberapa hari terakhir ini isu pembangunan Mass Rapid Transit Jakarta (MRTJ) yang bermasalah muncul secara marathon di harian utama ibu kota, Kompas. Seolah-olah penyebab tersendatnya proyek pembangunan MRTJ karena Pemerintah Pusat (Pempus) dan Presiden yang tidak kunjung memberikan persetujuan. Apa iya seperti itu?

Setelah lebih dari 30 tahun MRTJ hanya menjadi bahan diskusi berbagai pihak tanpa ada aksi nyata, maka zaman Gubernur Fauzi Bowo pembangunan MRTJ mulai dilakukan melalui pembentukan PT MRT Jakarta untuk membangun dan mengoperasikan MRTJ setelah dana pinjaman berupa two step loan dari Pemerintah Jepang ditandatangani.

Seperti kita ketahui bersama Proyek Pembangunan MRTJ dibiayai oleh dana pinjaman dari Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) melalui Proyek (Project Loan Contract) IP No. 554: Γ’Loan Agreement for Construction of Jakarta Mass Rapid Transit Project (I) between JICA and the Republic of Indonesia: March 31, 2009.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di masa Gubernur Jokowi, proyek konstruksi MRTJ dimulai. Pembangunan MRTJ yang dimulai pada tanggal 10 Oktober 2013 ternyata masih menyisakan banyak masalah, antara lain persoalan pemindahan stadion dan terminal Lebak Bulus serta lokasi stadion penggantinya, pengalihan hak tanah di Kompleks Polri Ciputat, ganti rugi lahan sepanjang koridor Fatmawati, dll masih memerlukan penanganan serius. Semua persoalan ini adalah persoalan Pemprov DKI Jakarta. Bukan Pemerintah Pusat.

Persoalan pembebasan lahan di berbagai lokasi tersebut membuat pembangunan MRTJ saat ini tersendat. Ironisnya di tengah keterlambatan ini, para pihak yang terkait bukannya mencari solusi untuk mempercepat pembangunan tetapi saling lempar tanggung jawab. Nasibmu kini MRTJ.

Antara Kewenangan dan Lempar Batu Sembunyi Tangan

Sesuai dengan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 961 Tahun 2009 tentang Tim Pendamping Proyek Jakarta Mass Rapid Transit Sistem, Pemprov DKI membentuk Tim Pendamping Proyek MRTJ. Personel, kewajiban dan anggaran Tim sudah diatur dalam Keputusan Gubernur tersebut. Keputusan ini mulai berlaku tanggal 12 Juni 2009. Tugas mereka jelas dan harus melapor langsung ke Gubernur DKI Jakarta.

Di era Gubernur Fauzi Bowo, Kepala Bappeda bertindak sebagai Ketua Tim Pendamping Proyek MRTJ. Ketua Tim melapor langsung ke Gubernur. Saya kurang tahu apakah di era Jokowi, Tim ini masih ada atau tidak. Kalau Tim masih ada namun lamban dan menimbulkan banyak persoalan, sebaiknya Gubernur merombak Tim ini demi percepatan pembangunan MRTJ bukan menyalahkan Pempus.

Saat itu dibuat kesepakatan antara Direktur Jenderal Perkeretaapian (Dirjen KA), Kementerian Perhubungan, Kepala Bappeda dan Dirut PT MRT Jakarta yang isinya berupa pembagian tugas dan kewenangan ynag jelas antara ketiganya. Kesepakatan tersebut kemudian diformalkan melalui Surat keputusan Dirjen KA. Jadi secara kebijakan kewajiban dan kewenangan para pihak di pembangunan MRTJ jelas.

Persoalan ketersedian stabling (tempat parkir) dan Depo yang menjadi salah satu kebutuhan utama pembangunan MRTJ, harus selesai tepat waktu. Apa jadinya jika semua jalur sudah selesai dan rolling stock (kereta) sudah tersedia tetapi tidak ada tempat parkir dan Depo perawatan? Jadi aneh jika persoalan lokasi untuk kedua fasilitas ini tak kunjung segera dibereskan oleh Tim Pendamping Proyek MRTJ, Pemprov DKI Jakarta.

Persoalan penggunaan sebagian tanah di Perumahan POLRI Ciputat juga harus dibebaskan karena diperlukan untuk langsir kereta MRTJ. Pengalihan lahan harus menggunakan metoda tukar guling, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 96 Tahun 2007 tentang tata Cara Pelaksanaan Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara.

Masalah pengambilalihan lahan milik sebagian warga di Jalan Fatmawati seharusnya juga sudah ditangani oleh Pemprov DKI Jakarta melalui Tim Pendamping Proyek MRTJ. Perihal tanah di koridor Fatmawati sempat mendapatkan perlawanan keras dari sebagian warga, namun saya dengar saat pergantian Gubernur sebagian warga sudah setuju dengan nilai ganti ruginya.

Namun belakangan persoalan pembebasan lahan di koridor Fatmawati dengan tujuan supaya Right of Way (lebar jalan) di koridor Fatmawati menjadi 22 meter terkendala ketika muncul Peraturan Daerah DKI Jakarta No 16/2011 tentang PBB Perdesaan dan Perkotaan. Warga Fatmawati yang semula sepakat ganti rugi sesuai NJOP lama menolak dan minta supaya ganti rugi lahan sesuai dengan NJOP baru.

Kelambanan Pemprov DKI Jakarta menyebabkan pemilik lahan di koridor Fatmawati ingkar janji, lahan pengganti Stadion Lebak Bulus di Taman BMW Jakarta Utara juga juga belum beres, dan tukar guling lahan Perumahan POLRI Ciputat juga bermasalah sehingga PT MRT Jakarta harus menanggung akibatnya, jadwal pembangunan MRTJ terlambat.

Kontribusi kesalahan PT MRT Jakarta pada keterlambatan pembangunan MRTJ adalah ketika PT MRTJ menanda tangani kontrak dengan kontraktor pelaksana pembangunan stabling dan Depo Lebak Bulus pada tanggal 16 Oktober 2013 dan commencement date (waktu pekerjaan dimulai) pada tanggal 26 Nopember 2013. Padahal lahan belum bebas. Seharusnya kontrak dan serah terima lahan ke kontraktor baru bisa dilaksanakan setelah semua lahan bebas.

Dalam kasus stadion Lebak Bulus, sampai tulisan ini dibuat belum beres. Stadion pengganti yang rencananya berlokasi di Taman Bersih Manusiawi Wibawa (BMW) di Jl RE Martadinata, Kelurahan Papanggo, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara ternyata lahannya bermasalah atau bodong. Meskipun Pemprov DKI Jakarta sudah memegang sertifikat tanahnya. Kasus Tanah Taman BMW sudah ada di KPK.

Langkah yang Harus Diambil

Proyek MRTJ sudah terlambat dari jadwal karena munculnya persoalan lahan yang tak kunjung beres. Saya khawatir target penyelesaian tahap I koridor Selatan - Utara mundur dari 2018 ke 2020. Kalau ini terjadi tentunya ada persoalan serapan dana APBD dan munculnya berbagai tuntutan denda dari para kontraktor yang sudah harus mulai bekerja, namun sampai hari ini masih menganggur, sementara sudah ada biaya yang harus dikeluarkan oleh PT MRT Jakarta.

Tidak ada jalan lain kecuali Gubernur DKI Jakarta harus mendesak Tim Pendamping Proyek Jakarta MRT untuk segera menyelesaikan semua persoalan. Dana tersedia, peraturan perundang-undangan tersedia, kontrak kerja dengan kontraktor pelaksana siap, jadi tidak ada alasan bagi Pemprov DKI Jakarta untuk melempar tanggungjawab ke Pemerintah Pusat atau PT MRTJ atau pihak-pihak lain. Jika Tim tidak bisa bekerja, berhentikan segera dan ganti dengan personel lain yang mampu dan berani memutuskan.

*) Agus Pambagio adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen

(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads