Sejak pertengahan tahun 2013 industri penerbangan nasional kembali melemah, perlahan tetapi pasti. Selain hantaman harga avtur yang terus merangkak naik, melemahnya nilai Rupiah terhadap US Dollar, buruknya regulator dan manajemen maskapai penerbangan, serta padatnya bandara-bandara utama Indonesia, membuat industri penerbangan Indonesia sulit berkembang.Â
Sebagai otoritas/regulator penerbangan Indonesia, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (DJU) tampaknya enggan untuk berkembang mengikuti perkembangan teknologi penerbangan sipil. Kemampuan aparat DJU perlu direvolusi supaya dapat mengikuti perubahan kebijakan dan teknologi industri penerbangan sipil Internasional. Sebagai salah satu Negara dengan wilayah udara terluas di dunia, seharusnya DJU bisa berperan lebih aktif di International Civil Aviation Organization (ICAO).
Dari sisi keselamatan penerbangan sipil Internasional, peran DJU mengurus penerbangan sipil Indonesia buruk. Ini terbukti sudah 7 tahun (mulai 2007) otoritas penerbangan Amerika Serikat, Federation Aviation Administration (FAA) dan European Unian (EU) melarang penerbangan Indonesia melintas bebas di wilayah udara mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meskipun hasil Universal Safety Oversight Audit Program (USOAP) dari International Civil Aviation Organization (ICAO) 2014 yang saya terima tidak lengkap, tetapi sudah bisa menunjukkan bahwa DJU mempunyai Lack of Implementation by Critical Element. Artinya kemampuan dan peran DJU dinilai lemah. Lalu apa implikasinya pada penerbangan nasional?
Implikasi Hasil Audit USOAP-ICAO bagi Penerbangan Nasional
Dari hasil USOAP-ICAO tersebut ada 8 poin (pokok-pokok) penting yang terkait dengan kemampuan dan peran DJU terhadap keselamatan penerbangan sipil dan sayangnya sebagian besar buruk hasilnya. Kedelapan poin tersebut antara lain adalah:
1. Primary aviation legislation & civil aviation regulations (LEG) = 71,53%
2. Civil aviation organization (ORG) = 88,24%;
3. Personnel licensing and trainingÃ(PEL) = 66,67%;
4. Aircraft operations (OPS) = 63,31%;
5. Airworthiness of aircraft (AIR) = 41,58%;
6. Aircraft accident and incident investigation (AIG) = 68,52%;
7. Air navigation services (ANS) = 44,81%;
8. Aerodromes and ground aids (AGA) = 57,05%.
Penilaian kinerja DJU berdasarkan USOAP-ICAO terbaru ini menggunakan metode Lack of Implementation (LEI) Score, hasil penilaian terbagi menjadi 3 katagori, yaitu paling baik (skor LEI di bawah 30%), cukup baik (skor LEI 30%-50%), buruk (skor di atas 50%).
Dari 8 poin hasil audit tersebut terlihat bahwa skor LEI DJU mengkhawatirkan (di atas 50%), hanya ada 2 poin yang skor LEI-nya cukup baik, yaitu kategori AIR atau Airworthiness of Aircraft 41,58% dan ANS atau Air Navigation Services 44,81%. Sedangkan 6 kategori lain, skornya buruk karena diatas 50%, termasuk LEG, ORG, PEL, OPS, AIG dan AGA. Apa artinya ?
Artinya berdasarkan skor LEI di atas, DJU bisa kita asumsikan gagal menjadi regulator penerbangan sipil yang baik karena 75% dari kategori yang diaudit, skornya buruk atau di atas 50%. Jadi jangan heran jika sampai hari ini Category 2 FAA tak kunjung dicabut dan UE juga tak kunjung membebaskan Indonesia dari Community List (daftar larangan terbang). Benar-benar terpuruk otoritas penerbangan Indonesia.
Jadi jangan pernah berharap pada tahun 2016 kuasa navigasi di wilayah udara Kepulauan Natuna Sektor A bisa kita dapat dari Singapura. Jangan harap dengan ASEAN Open Sky yang mulai berlaku 1 Januari 2015 mendatang, Indonesia akan berjaya di wilayah udaranya. Juga jangan berharap dalam 3 tahun mendatang Indonesia bisa menggantikan Malaysia untuk duduk sebagai Council Member Part III di ICAO, setelah gagal pada tahun 2013.
Persoalan posisi regulator Indonesia di FAA masih pada Category 2 dan masih masuk Community List di UE, membuat maskapai penerbangan Indonesia kesulitan untuk mendapatkan air right atau hak terbang, mendarat dan membawa penumpang/kargo dari atau ke negara lain karena negara lain khawatir kalau pesawat maskapai RI dengan kode PK bermasalah di wilayah mereka serta menimbulkan korban jiwa dan harta benda.
Buruknya kinerja DJU membuat Batik Air dan Citilink sampai hari ini belum dilepas dari Community List-nya UE, meskipun sudah diupayakan terus. Dampaknya, misalnya sampai hari ini Citilink belum diizinkan oleh otoritas penerbangan Australia untuk terbang ke wilayah Australia, meskipun Citilink anak perusahaan Garuda Indonesia.
Lalu apa kerja DJU beserta perwakilan Indonesia di ICAO Montreal, Atase Perhubungan di KBRI Washington DC dan Atase Perhubungan di KBRI Den Haag? Percuma saja mempunyai Atase Perhubungan dan Wakil di Markas Besar ICAO di Montreal jika tidak bisa meyakinkan Amerika Serikat dan Uni Eropa bahwa otoritas dan maskapai penerbangan Indonesia sudah 'top markotop'. Kalau tidak berfungsi lebih baik mereka ditarik pulang saja.
Langkah yang Harus Diambil oleh DJU
Selain menarik pulang pejabat Kementerian Perhubungan yang tidak dapat bekerja dengan baik dan mengganti dengan pejabat yang lebih bijak, cerdas dan komunikatif, Pemerintah juga harus menjadikan kasus penerbangan dan navigasi kita menjadi prioritas utama bukan hanya membeli terus BBM bersubsidi.
Pemerintah yang sekarang harus bekerja optimal hingga tetes darah penghabisan dan Pemerintah yang baru harus menunjuk Menteri Perhubungan yang cerdas, punya jaringan International yang kuat, lugas dalam bernegosiasi, transformatif, lancar berbahasa Inggris, paham tentang pelayanan dan konektivitas serta tidak harus bergelar panjang.
ASEAN Open Sky 2015 sudah tinggal 6 bulan lagi dan rasanya kembali Indonesia, khususnya dunia penerbangan Indonesia, harus menelan pil pahit tertunduk lesu menyaksikan maskapai Negara ASEAN berjaya di wilayah udara negara tercinta ini. Sementara maskapai penerbangan nasional game over satu persatu karena tidak mampu bersaing, bahkan maskapai nasional Garuda Indonesia pun saat ini sudah mulai tertatih-tatih jalannya karena merugi. Dimana dignity dan sovereignity bangsa ini kelak?
*) Agus Pambagio adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen
(nwk/nwk)