Siapa yang menang dan kalah saya tidak berurusan. Tetapi sebagai warga bangsa, maka perlu sikap nintingi (menimbang-nimbang), pribadi mana yang layak menjadi nakhoda negeri ini lima tahun ke depan. Itu yang membuat kita tidak terlibat, tetapi dipaksa melibatkan diri karena menyangkut hidup kita di hari-hari depan.
Demi untuk nasib kita dan bangsa ini, maka tulisan kolom kali ini agak panjang. Itu untuk memberi gambaran sosok seperti apa pemimpin yang layak tampil sebagai pemimpin. Sketsa itu begitu indah. Bersarang di hati dan pikiran kita, syukur ketika nanti memerintah, watak itu tidak luntur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ajaran ini pernah diberikan Rama pada Wibisana, ketika ksatria itu akan menduduki tahta sebagai Raja Alengka sepeninggal Rahwana. Ajaran ini turun-temurun diajarkan pada keluarga Arjuna. Diwariskan pada puteranya yang bernama Abimanyu, dan kelak diturunkan lagi pada Parikesit di pasca Perang Bharatayudha.
Sebagai cerita yang khas Jawa yang bertumpu pada paham harmonisasi jagad, maka pada masa pemerintahan Parikesit ini juga terlontar paham itu. Parikesit meminta pada dewa agar lawan-lawannya yang juga saudara-saudaranya itu (Kurawa) dihidupkan kembali. Itu agar jagad tidak sepi dan tidak hanya dihuni manusia-manusia baik saja. Sebab hakekatnya, baik dan buruk itu harus berdampingan. Itu agar kebaikan tetap menjadi kebaikan jika ada keburukan.
Ajaran tentang kuasa dan penguasa yang adiluhung itu bersanding dengan era Singasari yang memunculkan Ken Arok sebagai pelahir raja-raja. Si masa yang lebih lama ini tidak terlihat keluhuran universal. Astabrata atau Hastabrata tentang keluhuran budi itu belum tampil sempurna. Padahal ajaran ini tidak saja layak untuk diteladani bagi pemimpin bangsa ini, tetapi juga pemimpin-pemimpin lain yang ada di muka bumi.
Kuasa Ken Arok diambil berdarah-darah. Bermula dari murid Lohgawe itu jalan-jalan ke kota. Saat itu sedang ada kunjungan Akuwu Tunggul Ametung bersama istrinya yang cantik jelita bernama Ken Dedes.
Ketika turun dari kereta kuda yang ditumpangi, angin nakal menyibak kain yang dipakai. Paha mulusnya menyeruak, dan bagian intimnya tidak bisa ditutupi. Cahaya bersinar terang berpendar dari area terlarang itu. Ken Arok tercengang. Batinnya terusik, menerbitkan sejuta tanya tentang pemandangan yang baru dilihatnya.
Pulang dari perjalanan, pengalaman itu diceritakan pada guru spiritualnya. Sang guru dengan jernih berkata, bahwa perempuan yang memiliki kelamin bersinar itu sebagai pertanda, siapa saja yang dilahirkan dari rahimnya, akan tampil sebagai raja. Ini memotivasi Ken Arok masuk sebagai prajurit Tunggul Ametung. Bergaul dengan Kebo Ijo, menyudahi Empu Gandring yang tidak kunjung menyelesaikan keris yang dipesannya.
Ken Arok berhasil membunuh Tunggul Ametung. Menggantikan posisinya, dan mengawini Ken Dedes. Dia juga memisahkan diri dari kerajaan induk Kediri, mendirikan Kerajaan Singasari dan mentahbiskan diri sebagai raja yang kelak menurunkan raja-raja berikutnya. Kutukan Empu Gandring membuat anak-anaknya saling bunuh, hingga akhirnya kerajaan Singasari harus menerima takdir, hilang digantikan kerajaan lainnya.
Sebagai ajaran, keteladanan baiklah yang akan survival dan mengendap di hati rakyat. Hastabrata adalah kebaikan itu, dan ajaran ini pula yang bersemi di hati rakyat tatkala menunggu datangnya pemimpin baru. Hastabrata adalah dasar bagi Satrio Piningit, Satrio Pinilih untuk menduduki tahta tertinggi sebagai Ratu Adil atau hilang dihujat rakyatnya.
Ajaran ini ditularkan layaknya ajaran lama. Dinarasikan melalui tokoh-tokoh, mirip sosialisasi Bharatayudha karya Empu Sedah dan Empu Panuluh, maupun di zaman yang lebih baru, seperti Serat Gatolotjo, Serat Darmogandul, Serat Wirid Hidayatjati, Serat Centhini, Serat Kanda dan sejenisnya.
Balada itu dalam zaman yang lebih baru tertuang dalam pupuh-pupuh yang dilagukan (macapat), dan akhirnya pupus tatkala modernisasi mengusung perang kebudayaan. Cerita asing yang heroik dan up to date berdatangan, menggeser cerita keluhuran yang dianggap monoton dan kuno.
Dalam Hastabrata yang dipersepsi sebagai wahyu, berintikan delapan unsur yang mengambil watak alam yang dilegitimasi sebagai personifikasi para dewa. Pertama adalah watak matahari. Ini tersirat dalam diri Bathara Surya. Dia hidup menghidupi, membangkitkan semangat, dan memberi alur bagi kesulitan yang dirasakan rakyat.
Kedua adalah meniru Candra atau bulan. Sifat ini manjing dalam diri Bethari Ratih. Kelembutan harus dipunyai seorang pemimpin. Kasih sayang dan belas asih terpola di dalamnya. Syukur-syukur memiliki kecantikan atau ketampanan sebagai penyempurna. Seorang pemimpin selalu berada dalam suka maupun duka yang dialami rakyat. Dia penyaksi sekaligus pamomong batin-batin yang resah agar terobati.
Yang ketiga adalah meniru Kartika, bintang-gemintang, yang kendati letaknya jauh, tetapi selalu menerbitkan rasa rindu. Pitutur (saran) dan pituduhnya (petunjuk) dinanti, dan teguh serta kukuh pendirian dalam sikap maupun tindak. Tegas sekaligus mengayomi itu sebagai cerminan Bathara Ismaya.
Pemimpin itu juga harus meniru watak Angkasa. Sareh lan lereh. Sabar dan pengertian dalam menghadapi berbagai persoalan. Tidak emosional terhadap rakyat yang mengkritisi dan mencaci sang pemimpin, tidak tebang pilih dalam menentukan kebijakan. Semuanya disandarkan keutamaan. Itu agar dicapai keadilan yang dirasa rakyat sebagai keputusan yang benar-benar adil. Watak ini mengejawantah dalam diri Bathara Indra.
Maruta adalah angin sebagai jatidiri Bathara Bayu. Dia berada di mana-mana, tanpa pilih tempat, dan tanpa pilih waktu. Seorang pemimpin harus meniru laku itu. Dia tidak berjarak dengan rakyatnya. Blusukan adalah bagian dari ini, untuk mengetahui dan memahami kondisi rakyat, agar kebijakan yang diambil tidak merugikan dan menyengsarakan rakyat.
Meniru Samudra adalah kata lain dari jembar segarane. Ini adalah ungkapan untuk terbukanya pintu maaf bagi siapa saja yang salah. Sifat itu memberikan ketenangan dan kedamaian bagi rakyat, dan rasa hormat yang tulus terhadap pemimpinnya. Sebab pemimpin yang berwatak Bathara Baruna itu memberi tauladan, tidak adigang adigung (sombong dan angkuh), serta menjadi bapak yang pemaaf dan kasih terhadap rakyatnya.
Pemimpin juga harus memiliki watak Dahana atau api. Selain harus lembut, mensejahterakan, dan asih, pemimpin wajib tegas dan keras. Sifat Bathara Brahma mewajibkan itu. Jika ada yang salah harus dihukum dan dikenai sanksi. Dan jika benar perlu diapresiasi. Punishment dan reward itu wajib dilakukan tanpa pandang asal dan muasal. Untuk itu seorang peragu bukanlah watak pemimpin. Sebab jika memimpin, negara dan pemimpinnya tidak disegani, tidak diturut, dan tidak dihargai.
Yang terakhir, Bumi adalah cermin yang wajib dijadikan tauladan. Bumi memberi kehidupan. Dia tidak menuntut, tetapi selalu menyediakan lahan bagi kemakmuran rakyat. Sifat Dewa Wisnu yang mengental dalam ajaran ini akan mengangkat performa seorang pemimpin yang didambakan. Sebab dia harus bersikap murah hati, tulus, tidak menyakiti, dan memberi kesejahteraan pada rakyat.
Dalam tataran ajaran ini, seorang pemimpin harus siap lahir dan batin. Dia sudah siap dengan finansial yang memberinya kemungkinan menolong rakyat miskin. Batinnya terasah untuk tidak berpikir kebendaan. Itu agar dia tampil sebagai pemimpin teguh, yang tidak tergoda korupsi atau memperkaya diri sendiri. Paham ini memang wahana untuk memperbaiki kehidupan rakyat dan menjalankan amanah rakyat.
Hastabrata adalah ilmu kesempurnaan seorang pemimpin. Ini seperti harapan rakyat, yang berpandangan, bahwa raja yang memerintah adalah keturunan dewa. Dia bijak dan waskita. Dia tidak boleh dibantah perintahnya. Punya idu geni, tuah yang maujut.
Dari sana kata-kata raja mempunyai kekuatan mistis sebagai sabda pandita ratu. Tiap ucapnya adalah titah. Tidak boleh diingkari, dan juga tidak boleh ditarik kembali. Maka ketika datang bangsa baru (penjajah) yang menyalahi pakem-pakem itu, rakyat pun mencatatnya sebagai ancaman.
Sekarang, menghadapi pilpres yang segera digelar, siapakah yang mendekati watak yang luhur itu? Jokowikah? Atau Prabowo? Kalau saya, tetap pada prediksi tahun lalu yang saya tulis di kolom ini. Prediksi berdasar tafsir kitab kuno Jawa. Benarkah itu?
*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya. Penulis tinggal di Jakarta.
(nwk/nwk)











































