Menyabung Nyawa dengan Rokok Murah
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Catatan Agus Pambagio

Menyabung Nyawa dengan Rokok Murah

Rabu, 28 Mei 2014 10:48 WIB
Agus Pambagio
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Produk tembakau atau yang biasa kita sebut rokok, saat ini pertumbuhannya sudah sangat fantastis, yaitu sekitar 350 miliar batang rokok per tahun (2013-2014) diproduksi di Indonesia. Ini sejalan dengan meningkatnya jumlah perokok aktif di Indonesia, khususnya anak-anak (laki-laki dan perempuan) usia 12-18 tahun.

Saat ini Indonesia merupakan Negara terbanyak jumlah perokoknya di dunia setelah China dan India. Dari 350 miliar batang rokok, menurut Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) ada sekitar 17%-nya atau sekitar 60 miliar batang merupakan rokok murah, umumnya sigaret kretek tangan (SKT) yang dijual seharga Rp. 2.000-Rp. 8.000 per bungkus isi 12 batang. Belum lagi rokok selundupan atau rokok dengan cukai palsu. Jadi kemungkinan angka rokok yang beredar di Indonesia saat ini bisa di atas 350 miliar batang.


Dari sisi industri rokok, jumlah pabrik rokok di Indonesia menurut data dari DJBC saat ini ada sekitar 1.320 pabrik tersebar di Pulau Jawa dan sedikit Sumatra. Kemudian ada sekitar 1.800 merek rokok yang beredar di pasar dan mayoritas merupakan produsen rokok murah (sumber: rangkuman dari berbagai data di media online).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari 1.320 pabrik tersebut hanya ada 4 pabrik rokok besar, seperti Philip Morris-Sampoerna, Djarum, Gudang Garam, dan BAT-Bentoel, sisanya merupakan perusahaan menengah kecil yang banyak memproduksi rokok murah, seperti rokok merek Sawah Garam yang dijual Rp 2.000/bungkus atau merek Magnum Bintang Mas yang dijual Rp 4.000/bungkus atau merek Sampoerna PAS yang dijual Rp 6.850/bungkus, dll.

Pertanyaannya, apakah kualitas rokok murah sama dengan rokok bermerek? Mengingat harganya bisa sampai 70% lebih murah. Apakah industri rokok murah itu membayar cukai pada Negara sesuai dengan UU No. 39 tahun 2007 tentang Cukai? Apa yang harus segera dilakukan oleh Pemerintah, khususnya Kementrian Kesehatan supaya kita tidak menyabung nyawa akibat menikmati rokok?

Kondisi Industri Rokok (Murah)

Sebagai Negara dengan jumlah perokoknya nomor 3 di dunia dengan produksi rokok sebesar 350 miliar batang, seharusnya penerimaan Negara dari cukai dan pajak rokok sangat besar. Namun pada kenyataannya di tahun 2013 penerimaan Negara dari cukai rokok hanya sekitar Rp. 108,7 triliun (sumber: APBN 2014). Jauh dari biaya yang harus dikeluarkan oleh Negara untuk menanggulangi penyakit akibat merokok yang besarnya lebih dari Rp 250 triliun (Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kemenkes 2010) sebagai beban makro akibat merokok, seperti kanker, jantung koroner dsb.

Bila dirinci, pengeluaran makro akibat rokok sebesar itu antara lain untuk memenuhi beberapa keperluan sebagai berikut: (1) Pembelian rokok itu sendiri (Rp 138 triliun), (2) Biaya perawatan medis rawat inap dan rawat jalan (Rp 2,11 triliun), dan (3) Kehilangan produktivitas akibat kematian prematur dan morbilitas maupun disabilitas (Rp 105,3 triliun).


Pertumbuhan produksi rokok terus bertambah tanpa dapat dikendalikan oleh Pemerintah karena kuatnya lobi industri rokok pada Pemerintah dan lembaga Legislatif/DPR. Khususnya rokok murah yang dijual rata-rata Rp. 4.000/bungkus, pertumbuhannya semakin sulit di kontrol dan menjadi konsumsi utama perokok anak, perempuan hamil dan miskin.

Adanya rokok murah selain supaya terjangkau oleh masyarakat miskin dan anak-anak juga supaya cukai yang dibayarkan juga minimalis sehingga keuntungan industri maksimalis. Dari sisi kualitas bahan baku (tembakau dan cengkeh), tentunya rokok murah perlu diwaspadai. Contohnya, mengapa kandungan tar dan nikotin rokok murah jauh lebih tinggi? Siapa yang menjamin jika tembakau dan cengkehnya bukan dari rokok bekas (puntung rokok) dsb.

Tidak ditaatinya Road Map Tembakau oleh Pemerintah dan industri rokok juga membuat produksi rokok tidak terkontrol. Sesuai dengan Road Map Tembakau, strategi industri tembakau prioritas kepentingannya dibagi 3 tahap, yaitu:
(a) 2007-2010: 1. Penyerapan Tenaga Kerja, 2. Pendapatan Negara, 3. Kesehatan Masyarakat;
(b) 2010 - 2015: 1. Pendapatan Negara, 2. Kesehatan Masyarakat, Penyerapan Tenaga Kerja;
(c) 2015 dst : 1. Kesehatan Masyarakat, 2. Penyerapan Tenaga Kerja, 3. Pendapatan Negara.

Dari ketiga tahapan tersebut, saat ini Pemerintah harus sudah siap-siap masuk ke tahapan utama periode ketiga, yaitu kesehatan masyarakat. Target kesehatan masyarakat harus dicapai supaya pada tahun 2015 jumlah batang rokok yang diproduksi dan jumlah perokok, khususnya anak-anak, perempuan (hamil) dan perokok miskin bisa turun drastis. Bagaimana caranya?

Langkah Pemerintah dan Industri

Dampak negatif dari tumbuhnya industri rokok murah di Tanah Air adalah meningkatnya jumlah perokok, khususnya anak-anak, perempuan hamil dan perokok aktif dewasa laki-laki miskin. Akibatnya beban Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan akan meningkat karena korban gangguan kesehatan karena rokok bertambah. Untuk itu perlu langkah konkret dari Pemerintah untuk melindungi kesehatan bangsa ini.

Pertama, Pemerintah harus segera menjalankan Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 28 tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau dengan penegakan hukum yang tegas.

Kedua, Pemerintah harus segera segera menerapkan Road Map Tembakau di mana hanya akan ada 2 jenis rokok, yaitu Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Kretek mesin (SKM) serta masing-masing hanya ada 2 golongan. Ini akan mengurangi jumlah golongan cukai dari 28 menjadi hanya 4 golongan. Pengurangan ini akan menyederhanakan besaran cukai tanpa harus mengubah UU Cukai. Artinya semua jenis rokok akan dikenakan besaran cukai yang hampir sama.

Jika hal tersebut terjadi, maka tidak ada lagi rokok murah dan jumlah perokok (orang miskin, anak-anak dan perempuan) akan berkurang. Industri rokok terafiliasi juga akan berkurang sehingga jumlah produksi rokok akan terkendali. Dengan sendirinya kondisi kesehatan masyarakat juga akan membaik. Sementara pendapatan Negara dari cukai naik dan biaya makro ekonomi akibat rokok turun.

Sebagai penutup minggu depan tanggal 31 Mei adalah hari tanpa tembakau yang diperingati setiap tahun, kemudian tanggal 29-31 Mei 2014 akan ada the First Indonesian Conference on Tobacco or Health oleh WHO di Jakarta. Tepat sekali jika kita membahas dampak buruk rokok, khususnya rokok murah, pada kesehatan melalui tulisan ini.

*) Agus Pambagio adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen.

(nwk/nwk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads