Kesepahaman Etis Koalisi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kesepahaman Etis Koalisi

Selasa, 20 Mei 2014 13:24 WIB
Danang Sangga Buwana
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengesahkan penghitungan suara secara nasional hasil Pemilu Legislatif (Pileg) 2014. PDI Perjuangan menjadi pemenang pemilu dengan meraih 23.681.471 suara (18,95%), disusul Partai Golkar dengan 18.432.312 suara (14,75%). Partai Gerindra berada di posisi tiga dengan 14.760.371 suara (11,81%). Jumlah keseluruhan suara pada Pemilu ini mencapai 124.924.491. KPU menyatakan 10 dari 12 Partai politik (parpol) peserta pemilu 2014 berhasil memenuhi ambang batas (Parliamentary Threshold/PT) secara nasional sebesar 3,5%. Dua parpol yang tidak memenuhi PT dan karenanya tidak bisa menempatkan wakil di Senayan adalah Partai Bulan Bintang dan PKPI.

Menilik hasil KPU tersebut, tidak satupun parpol yang dapat mengusung pasangan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) secara sendirian. Hal ini mengingat aturan Pasal 9 UU No 42/2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, bahwa ambang batas sebuah parpol dalam mengusung pasangan Capres-Cawapres pada Pemilu Presiden-Wakil Presiden (Pilpres) adalah 25% suara sah nasional atau 20% perolehan kursi DPR RI. Dari aspek suara sah nasional, tak satupun Parpol mecapai keterpenuhan 25%. Sementara dari aspek jumlah kursi nasional, tidak satupun parpol yang mampu mencapai 20%, kecuali dimungkinkan PDIP. Disini, mutlak dibutuhkan koalisi untuk Pilpres.

Selain berorientasi mencukupi keterpenuhan ambang batas pencapresan, koalisi parpol dilakukan untuk menambah pundi suara dan memenangkan kontestasi kepemimpinan nasional. Baik PDIP yang mengusung Capres Jokowi, Partai Golkar dengan Capres Aburizal Bakrie, dan Partai Gerindra yang mengangkat pencapresan Prabowo Subianto sedang gencar-gencarnya melakukan penjajakan dan silaturahim ke parpol lain. Rajutan koalisi pun tak hanya dilakukan bersama parpol lolos PT saja, tetapi juga kepada parpol tak lolos PT demi menjaring suara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nota Tertulis
Secara etimologis etika berasal dari Yunani “Ethe” dan “Ethikos” yang menurut Aristoteles berarti baik buruknya suatu sifat : kejahatan dan keutamaan. Karya Aristoteles “Ethique a Nicomaque” menyebutkan, selain kata “ethos” yang berarti “kualitas suatu sifat” digunakan juga kata “etos” yang berarti kebiasaan. Jadi, etika dapat berarti suatu cara berpikir merasakan, bertindak dan bertingkah laku yang memberikan ciri khas kepemilikan seseorang terhadap kelompok dan sekaligus merupakan tugas bersama.

Terlepas dari siapapun figur capres-cawapres yang nantinya bertarung, masing-masing fatsun politik musti menyadari sejauhmana koridor koalisi yang akan dibangun. Penulis sepakat dengan gagasan koalisi tertulis, kalau dimungkinkan berupa notariil atau bermeterai. Aturan ini sejatinya juga sesuai dengan UU No. 42/2008, utamanya Pasal 11 ayat ayat (2), bahwa kesepakatan antar-Partai Politik maupun antara Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dan Pasangan Calon dinyatakan secara tertulis dengan bermeterai cukup yang ditandatangani oleh pimpinan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dan Pasangan Calon. Yang terpenting adalah sejauhmana konsistensi kelompok koalisi menjalankannya.

Meskipun koalisi macam ini dikritik karena mengambil analogi “perusahaan jasa dengan pembagian sahamnya” yang dapat mengooptasi hak dalam perbedaan politik. Tetapi, di dalam demokrasi kita membutuhkan bangunan permanen dalam sketsa koalisi yang beretika. Hal ini penting untuk memperjelas jenis koalisi yang selama ini masih buram. Tidak adanya ketegasan peran antara partai pemerintah (ruling party) dengan partai oposisi (opposition party) menstimulasi para politisi di parlemen bermain petak umpet dan tidak tegas menyikapi pelbagai kebijakan pemerintah. Inilah faktor utama hadirnya sistem presidensial bercita rasa parlementer di Indonesia.

Untuk menjamin hadirnya koalisi permanen dibutuhkan serangkaian etika dan perangkat politik-hukum sebagai koridor. Ini penting, agar di masa mendatang tidak ada lagi perilaku oportunis parpol-parpol yang seolah menjadi peragaan jamak dalam praktik politik kita. Meski tak diatur secara tekstual di dalam UU pilpres perihal koalisi permanen, perangkat politik dan hukum dalam koalisi dapat dilakukan selama tidak kontraproduktif dengan aturan UU. Setidaknya koalisi tertulis dan diumumkan di masyarakat mempunyai implikasi positif bagi perkembangan demokrasi kita.

Pertama, demi hadirnya keseimbangan hubungan check and balances dalam pemerintahan dan parlemen. Kestabilan roda pemerintahan akan kian terjamin bila kelompok koalisi kian tertuntut untuk konsisten dengan kesepakatan bersama. Ikatan ini menjadi sarana penting dinamika politik untuk mengakhiri fluktuasi politik masa transisi, utamanya bagi implementasi sistem presidensialisme.

Kedua, menjamin transparansi demokrasi. Dengan kesepakatan tertulis dan diketahui secara luas, publik akan mengetahui keberpihakan parpol dalam kontestasi politik membangun demokrasi. Hal itu dilakukan, selain untuk memberikan kedewasaan dan literasi politik masyarakat, juga untuk membangun kembali kepercayaan mereka kepada parpol, khususnya terkait dengan konsistensi perjuangan parpol untuk kepentingan rakyat. Baik yang dilakukan oleh partai pendukung pemerintah maupun partai oposisi. Memang ada serangkaian kelemahan, misalnya kekhawatiran adanya intervensi, baik oleh parpol kepada kebijakan pemerintah atau pun sebaliknya. Untuk itu musti dijelaskan detail kesepahaman yang ada di dalam akta notaris. Pada prinsipnya, keraguan itu dapat diatasi dari transparansi aturan yang mengikat.

Ketiga, terbukanya kontrol publik. Selain minimalisasi perilaku transaksional, koalisi tertulis menjadi semacam kontrol bagi publik tentang seberapa besar komitmen kelompok koalisi committed terhadap kesepakatan yang telah dihasilkan. Disini rakyat akan mempunyai ruang evaluasi dan apresiasi, parpol mana saja yang suka bermain lompat-lompatan dan parpol mana pula yang tetap istiqomah dengan program yang diusung di dalam koalisi. Rakyat juga dapat menilai pelbagai motif hadirnya koalisi, sekaligus mendorong parpol untuk melakukan koalisi visioner dan ideologis, bukan sekedar koalisi kepentingan politik sesaat.

Dalam satu tarikan nafas, fakta politik tak seindah konsep ideal yang dibayangkan. Koalisi faktanya hanyalah perkawinan kepentingan. Sebatas deal to deal: parpol mana mendukung siapa dan dihargai apa. Sangat sulit membayangkan demokrasi Indonesia ditengah kegenitan para politisi yang masih berpinsip untung-rugi. Namun kita musti ingat bahwa rakyat sungguh merindukan hadirnya pemimpin berintegritas dan beretika.


*) Penulis adalah Komisioner pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat.

(gah/gah)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads