Memotret Capres-Cawapres
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Memotret Capres-Cawapres

Jumat, 16 Mei 2014 21:11 WIB
M Mubdi Kautsar
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Memotret Capres-Cawapres
Ilustrasi (Foto: Grandyos Zafna/detikcom)
Jakarta - Dunia dan wacana politik dewasa ini diwarnai oleh 'gonjang ganjing' soal capres-cawapres yang akan diusung oleh koalisi-koalisi parpol. Setidaknya sampai saat ini sudah ada dua poros koalisi yaitu koalisi PDIP dengan capresnya Joko Widodo dan koalisi yang digalang Partai Gerindra dengan capresnya Prabowo Subianto. Jokowi sendiri sudah menegaskan, koalisi tidak berdasar atas bagi-bagi kursi pemerintahan atau jatah menteri.

Jokowi sampai saat ini juga masih belum menetapkan siapa figur yang dipilihnya sebagai cawapres untuk mendampinginya pada Pilpres 9 Juli 2014. Sejumlah nama beredar yang disebut-sebut pantas sebagai cawapresnya Jokowi yaitu Jenderal Purn Ryamizard Ryacudu yang juga mantan KSAD dikenal sebagai jenderal yang bersih, nasionalisme tinggi, sederhana, tegas dan berani serta sangat loyal terhadap pimpinannya. Di samping itu, ada nama Jusuf Kalla yang disebut-sebut paling cocok mendampingi Jokowi karena profesional, menguasai perekonomian dalam dan luar negeri, cepat bertindak dan berpengalaman baik di bidang bisnis ataupun pemerintahan. Baik Ryamizard Ryacudu ataupun Jusuf Kalla sama-sama merepresentasikan luar Jawa.

Namun ada juga nama MS Hidayat yang sekarang menjabat sebagai Menteri Perindustrian disebut-sebut layak mendampingi Jokowi dengan alasan mengerti dua perekonomian dalam dan luar negeri, memiliki kapabilitas dan pengalamannya sudah teruji, di samping itu dunia usaha industri dan para pelaku pasar sudah mengetahui sosok MS Hidayat, apalagi sosok industri akan menjadi sangat strategis di pemerintahan mendatang.

Selain nama MS Hidayat, juga beredar nama cawapres ideal pendamping Jokowi menurut kalangan dunia usaha adalah Darmin Nasution yang mantan Gubernur BI karena dikenal sebagai seorang konseptual melengkapi sosok Jokowi yang merupakan eksekutor, Darmin ahli menggarap sektor rill, memiliki keahlian di bidang moneter dan fiskal serta memiliki banyak ide dalam membangun ekonomi Indonesia. Darmin Nasution juga dikenal sebagai regulator yang pro rakyat dengan memperkenalkan sunset policy sehingga dapat membantu sektor riil. Pengusaha terkenal, Sofyan Wanandi juga mengatakan, Jokowi sebaiknya didampingi cawapres yang memahami persoalan ekonomi baik di tingkat global maupun dalam negeri. Nama lainnya yang muncul adalah Mahfud MD dan Abraham Samad, keduanya ahli hukum namun dipertanyakan keahliannya di bidang luar negeri dan perekonomian yang disebut banyak kalangan konon juga tidak dikuasai secara baik oleh Jokowi.

Menurut peneliti senior Siti Zuhro, gagasan revolusi mental yang dikemukakan Jokowi berawal dari ketepatan Jokowi memilih pendampingnya, kalau cawapres yang dipilih bermasalah, maka gagasan Jokowi bersama timnya tentang revolusi mental tidak akan pernah menjadi kenyataan. Menurut temuan Founding Fathers House seperti dikemukakan peneliti seniornya, Dian Permata bahwa Jokowi harus pintar dalam memilih cawapresnya, sebab kemungkinan kalah masih terbuka bagi Jokowi jika salah pilih kandidat cawapres.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara itu, pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Zaki Mubarak mengkritik pencantuman nama Joko Widodo dalam tulisan berjudul “Revolusi Mental”, seharusnya penulisnya adalah Jokowi dan tim karena bukan berasal dari gagasan mantan Wali Kota Solo itu sendiri. “Ini pelanggaran akademik dan tidak etis”, ujarnya (republika.co.id tanggal 12 Mei 2014).

Jokowi sendiri menegaskan bahwa siapapun cawapres yang dipilihnya jelas akan dikonsultasikan, didiskusikan dan merupakan keputusan bersama dengan pengurus PDIP terutama Ketua Umumnya Megawati Soekarnoputri. Mungkin yang menjadi ganjalan terbesar bagi Jokowi ke depan malah datang dari sosok Megawati Soekarnoputri, apalagi Megawai pernah menyebut Jokowi tetap merupakan petugas partai jika terpilih sebagai Presiden RI, di mana pernyataan ini menuai kritik yang meluas.

Menurut Taslim Chaniago, salah seorang anggota DPR-RI di antaranews.com pada 15 Mei 2014 mengatakan, pernyataan Megawati tersebut menunjukkan Jokowi merupakan presiden boneka Megawati dan PDIP, artinya apapun kebijakan Jokowi harus sesuai dengan perintah Megawati. Jokowi tidak akan memiliki kewenangan pada saat memimpin negeri ini. Megawati belum sepenuhnya legowo menunjuk Jokowi sebagai capres PDIP untuk Pilpres 2014, padahal elektabilitas Megawati lebih rendah dibanding Jokowi, sehingga sebenarnya membuktikan Megawati masih ingin menjadi Presiden.

Cawapres Prabowo

'Buah simalakama' dalam memilih cawapres juga dihadapi capres dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Sejauh ini beredar kabar bahwa Prabowo Subianto akan berpasangan dengan Hatta Rajasa, bahkan Ketua Umum PAN ini rela mengundurkan diri sebagai Menko Perekonomian agar dapat mendampingi Prabowo. Namun sosok Hatta Radjasa juga masih mengalami resistensi dari teman partai koalisi Gerindra yaitu PPP dan PKS.

PPP melalui Suryadharma Ali sudah menegaskan bahwa PPP tidak meminta jatah apapun dalam koalisinya dengan Prabowo, namun Sekjen PPP Romahurmuzy juga pernah menegaskan bahwa sebaiknya cawapres Prabowo adalah Suryadharma Ali. Sedangkan Hidayat Nur Wahid dari PKS menyatakan, PKS sendiri mempunyai tiga kader yang pantas duduk sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto yaitu Hidayat Nur Wahid, Anis Matta dan Ahmad Heryawan. PKS mengusulkan kepada Partai Gerindra untuk mengadakan pertemuan bersama dalam membahas soal cawapres yang diusung oleh koalisi ini.

Yang menarik adalah langkah Partai Demokrat yang sangat hati-hati dalam memotret perkembangan situasi menjelang Pilpres. Bahkan, ada rumors bahwa mereka akan membentuk poros tersendiri dengan mengajukan nama Sri Sultan Hamengkubuwono ke X sebagai capres, walaupun kebijakan ini juga ditentang oleh banyak kalangan karena Partai Demokrat beberapa waktu yang lalu sudah menggembar gemborkan bahwa capres mereka akan dipilih dari pemenang konvensi Partai Demokrat. Konon, berdasarkan survei internal di PD ataupun aspirasi yang berkembang di kalangan grassroot PD, mereka menginginkan Dahlan Iskan yang diusung PD, namun kemungkinan “terganjal” dengan nama Pramono Edhie Wibowo.

Banyak juga yang menyarankan, agar Partai Golkar ataupun Partai Demokrat bergabung dengan koalisi PDIP atau koalisi Partai Gerindra agar Pilpres dapat berlangsung satu putaran, atau mereka menjadi oposisi saja karena selama ini belum pernah sebagai oposisi. Bagaimana ?

*) M Mubdi Kautsar adalah peneliti muda. Tinggal di Cilangkap, Jakarta Timur.

(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads