Jujur Memang Mahal
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Djoko Suud

Jujur Memang Mahal

Jumat, 21 Mar 2014 10:20 WIB
Djoko Suud Sukahar
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jujur Memang Mahal
Jakarta - Jujur itu memang mahal sekaligus menyakitkan. Dituduh partisan, dan dituding dibayar. Itu ulang kali terjadi dalam prediksi-prediksi yang saya tulis. Adakah saya harus berbohong dalam kolom ini agar dianggap tidak disogok dan tidak membela seseorang, saudaraku?

Saya prediksi Jokowi menang. Kemenangan itu sempurna (meyakinkan) jika berpasangan dengan Akbar Tanjung. Prediksi ini sebenarnya basi, sebab tahun lalu saya sudah menuliskan itu di kolom ini. Juga bagaimana kans Aburizal Bakrie, Megawati, Wiranto, Prabowo Subianto, Dahlan Iskan, Hatta Rajasa, serta fluktuasi suara partai-partai yang ada. Namun karena coblosan masih lama, maka tulisan itu kabur begitu saja, seperti tidak meninggalkan jejak.

Sekarang, ketika coblosan segera dilaksanakan, tulisan ‘up-date-an’ itu membuat geger. Tudingan disogok dan dibayar mengemuka. Saya dianggap tidak netral dan ‘mentransaksikan’ tulisan itu yang bisa menurunkan grade saya sebagai penulis. Masyaallah, kok sampai ke sana ya mengalirnya opini ini. Itu yang tidak saya duga.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Prediksi memang tidak netral. Tapi jangan salah sangka bahwa itu karena dibayar. Reputasi saya menjadi taruhan di situ. Tiga belas tahun menulis di kolom ini adalah jaminan, bahwa prediksi itu bukan hasil dagang sapi. Ini adalah hasil perenungan tentang siapa yang bakal kalah dan menang, ada yang tersakiti dan disenangkan, kendati hasil akhirnya tergantung Gusti Allah.

Kalau lagi nganggur, tolong buka-buka kolom lama. Dalam kolom politik, lihat prediksi saya tentang kemenangan SBY lawan Megawati, ‘perceraian’ JK dengan SBY, dan kemenangan SBY di periode kedua. Saking seringnya saya tuliskan alasan politis dan metafisis SBY menang, sampai banyak yang menganggap saya pembela tulen SBY. Padahal sampai hari akhir dia memerintah, saya tidak pernah kenal dengannya.

Prediksi semacam ini juga bisa dilihat ketika saya menafsir kemenangan Foke, kemenangan Pakdhe Karwo periode pertama (Gubernur Jatim), kemenangan Ketum NU KH Aqil Siraj, kekalahan Foke dan naiknya Jokowi-Ahok, serta prediksi terbaru yang akhir-akhir ini bergulir. Saya menafsir semua itu dengan kesadaran berusaha tidak kenal dengan mereka, dari dulu hingga hari ini.

Saya yang tidak ‘mengerti’ bola juga pernah menulis prediksi bola Piala Eropa secara bersambung di detik.com karena diminta. Tulisannya so pasti kacau, karena modal saya hanya ‘peka’ negara mana yang kalah dan negara mana yang menang. Alhamdulillah banyak yang benar, kalau tidak boleh disebut semuanya benar.

Saya juga pernah menuliskan prediksi bola Piala Dunia. Di sepuluh pertandingan terakhir hanya satu prediksi yang salah. Juga prediksi pertandingan MU lawan Barcelona di Piala Champion yang digelar di kandang MU, saya jagokan Barcelona menang 3-0 ternyata berkesudahan 3-1.

Tebakan-tebakan itu apa hasilnya? Dalam kolom komentar bukan main jahatnya pembaca. Olok dan caci-maki memenuhi ruang itu. Untaian kata yang terajut bukan main menyakitkan, kendati setelah berulangkali prediksi itu benar, mulai ada yang melakukan pembelaan terhadap tulisan-tulisan itu.

Sekarang prediksi politik komennya juga bernada politis. Menyayangkan saya memunculkan nama-nama yang bakal kalah dan menang. Menuding nama-nama yang saya prediksi menang itu adalah pesan sponsor. Membayar saya. Mereka lupa, bahwa jika mau, saya bisa mendapatkan uang banyak dari menjual ‘kepekaan’ saya memprediksi. Saya tidak perlu melacurkan diri dengan mengangkat nama-nama yang bakal kalah untuk ditulis akan menang. Saya tidak tertarik itu. Saya menutup diri untuk itu. Adakah dengan begitu dalam pilpres nanti Jokowi akan menang?

Keyakinan saya begitu. Lembaga survei secara fisik memberi penegasan itu. Alam yang bergolak, dari Gunung Kelud disusul meletusnya Gunung Slamet bagian dari penegasan itu. Sekarang tinggal kita tunggu kehendak Yang Kuasa. Gusti Allah mengijabahi atau tidak.

Maka dalam menyikapi dinamika politik yang akan kian menghangat, saya sering menulis, bahwa fanatisme itu menutup mata hati. Menutup kebenaran. Jika sudah fanatik terhadap sesuatu, maka sesuatu itu dianggap sebagai sebuah kebenaran. Padahal tidak!

Alhamdulillah saya tidak punya fanatisme itu. Saya hanya tukang potret, yang memotret naluri rakyat dan gelegak alam. Prediksi ini lahir dari itu.

*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya. Penulis tinggal di Jakarta.

(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads