Dalam sebuah seminar akhir minggu lalu (14/03/14) di TIM Jakarta, dibicarakan tentang kelayakan Jokowi itu menjadi presiden RI mendatang. Seorang pengamat politik Dr Anhar Gonggong menilai bahwa Jokowi bukanlah tergolong tokoh muda seperti dibicarakan banyak orang. Sebagian para pendiri bangsa ini sudah melangit namanya di tingkat nasional dan global pada awal umur 40 tahun, atau bahkan sebelum itu. Jokowi, kalau boleh dibilang tokoh, berada pada usia yang sedang. Gaek tidak, mudapun bukan.
Adapun faktor moncernya Jokowi yang dibuktikan dalam banyak jajak pendapat adalah karena tipe lelaki Solo itu merupakan sosok pemimpin yang ada dalam angan-angan masyarakat. Seorang yang bekerja tanpa harus mencari pencitraan. Mengendus masalah langsung ke sumbernya. Sederhana dan terkesan tulus. Apa yang selama ini tidak mampu dilakukan orang lain, ternyata di tangannya beres. Menyelesaikan kesemrawutan Tanah Abang hanya salah satu dari sekian contoh bagaimana pria ceking ini hands on pada permasalahan. Memang masih banyak persoalan yang menggantung, namun kepiawaiannya sudah lumayan terbukti dan itu yang membuat rakyat terkesima.
Jadi, sebenarnya tanpa harus bersusah payah melalui kampanye dan memasang aneka spanduk, Jokowi hakekatnya sudah mengantongi sebagian besar kepercayaan (trust) masyarakat. Kalau dahulu banyak ibu-ibu banyak yang bermimpi ingin memiliki presiden yang ganteng, sekarang sudah berubah menjadi mimpi memiliki presiden yang hands on. Tidak peduli apakah wajahnya pas-pasan dan badannya krempeng. Tidak perduli kalau bicara tidak terstruktur. Yang penting mau bekerja dan mengabdi bagi kepentingan masyarakat banyak.
Namun, Anhar melihat itu semua tidaklah cukup. Punya trust, pekerja keras serta krempeng tidak akan menjamin Indonesia lebih maju. Menurut pengamat yang seperti seniman ini, presiden Indonesia ke depan haruslah orang yang telah selesai dengan dirinya sendiri. Tidak lagi dikungkung oleh kepentingan pribadi, keluarga dan golongannya. Tidak lagi memikirkan tambahan uang bagi anaknya yang sedang kuliah. Tidak juga ingin membangun kerajaan bisnis bagi keluarganya agar bisa hidup nyaman tujuh keturunan. Atau, tidak akan mengeruk uang negara dengan berbagai cara untuk mengisi pundi-pundi golongan dan partainya.
Apakah kriteria terakhir tersebut ada pada Jokowi? Kalau nanti jadi Presiden dijamin tidak menjadi kaki tangan kelompok tertentu untuk kepentingan yang sempit? Siapa yang bisa menjamin kalau pencapresan Jokowi muncul dari dirinya sendiri, melainkan sebuah konsekuensi dari selembar kertas yang diteken Megawati. Ada yang menduga, kalau demikian adanya, maka Jokowi bisa jadi layaknya sebuah layang-layang yang berkibar di angkasa namun dikendalikan dari jarak jauh.
Lalu, apa bedanya dengan calon presiden yang lain yang telah menggelontorkan duit tanpa seri untuk meraih kepercayaan publik. Masyarakatpun ainul yakin bahwa calon pemimpin yang boros uang akan mengambil kembali uangnya dengan berbagai cara. Kepercayaan publik hanya pura-pura dibeli dengan harga mahal tetapi kemudian dijual lagi dengan harga yang lebih tinggi. Pokoknya nggak mau rugi lah.
Uniknya, di mata Anhar, Jokowi tergolong capres yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Dicontohkan, Jokowi sudah tidak lagi senang dengan mobil mewah atau barang bermerk yang biasanya merupakan tambahan status seseorang agar lebih moncer. Bahkan, kabarnya, gajinya pun tidak diambil. Kalau sinyalemen ini benar adanya maka dalam istilah agama, Jokowi ini termasuk orang yang zuhud, tidak peduli dengan dunia, dan orang ikhlas, tidak mengharapkan ganti dari apa yang dilakukannya.
Pemimpin yang zuhud dan ikhlas inilah yang biasanya dicintai oleh rakyatnya sampai kapanpun. Menjadi suri tauladan dan buah bibir hingga anak cucu. Senyumnya disambut rakyat dengan tepuk tangan. Marahnyapun akan disambut dengan senyuman bangsanya. Kalau memang benar adanya demikian, maka bisa jadi Jokowi layak jadi presiden. Hanya Tuhan yang tahu.
Namun, Jokowi bukanlah seorang nabi. Ia tetaplah manusia biasa yang penuh dengan keterbatasan. Buktinya sodetan kali untuk mengatasi banjir yang digagasnya tidak mulus, alias ditentang dan gagal. Pembersihan stanplat Lebakbulus untuk keperluan kereta bawah tanah termehek-mehek. Bahkan kemacetan di Kebayoran Lama akibat pedagang yang mangkal di pinggir jalan, seolah belum tersentuh, padahal jelas merupakan pemborosan BBM dalam jumlah yang luar biasa.
Semua ini memberi arti bahwa Jokowi masih memerlukan pihak lain untuk meraih kesuksesan. Semakin baik partner yang dipilihnya maka lebih banyak kesuksesan yang akan diraih. Seorang partner yang mampu menutup semua kekurangan yang ada dalam dirinya. Seperti piring dan sendok, seperti gelas dan tutupnya.
Di sisi lain, cukup menarik untuk bicara tentang Dino Patti Djalal, politisi ingusan yang sedang naik daun. Sekilas, khususnya di mata awam, terlihat apa yang dilakukannya adalah sebuah kebodohan yang luar biasa. Bayangkan saja, Dino menyelesaikan tugasnya sebagai Dubes Indonesia untuk negeri adidaya Amerika Serikat kemudian terjun bebas ke dunia politik. Sebuah arena baru yang tidak pernah ada dalam khazanah pengalamannya. Bisa jadi ia akan diterkam 'macan' lalu hilang ditelan bumi. Kemudian, tak seorangpun yang akan membantunya.
Padahal, kalau Dino mau sedikit main aman, mungkin semua akan terasa mudah. Di usianya yang belum sampai kepala lima, diperkirakan banyak orang, saat ia kembali ke Kemlu maka setidaknya akan menduduki jabatan eselon satu (Dirjen). Kalau lagi untung, mengingat jejaringnya yang luas, maka ia akan terpilih menjadi Menteri Luar Negeri. Namun, bila ia apes, ia akan bisa menjadi duta besar sekali atau bahkan dua kali. Bayangkan, di masa kini, seorang mantan menteri saja bermimpi menjadi duta besar, pada saat yang sama Dino justru melepaskan segalanya.
Dino kini menggantungkan hidupnya dengan tabungan yang dimilikinya dan bisnis klinik yang dikelola istrinya. Ketiga anaknya dibuat jarang ketemu sang bapak karena sibuk bertemu publik dengan anggaran yang sangat cekak. Ia bisa jadi memiliki ghirah melompat ke maqom (grade) yang lebih tinggi namun dengan risiko yang sangat besar. Sebuah keputusan yang tidak main-main. Ia menggelorakan sebuah sikap politik murah, tetap berkawan walau beda bendera dan mendorong agar idealisme Indonesia unggul menjadi sebuah kenyataan. Bercita-cita membuat Indonesia bangsa yang hebat di pentas global. Ia tidak hanya ingin sekedar menjadi eselon satu atau menteri.
Kalau analisa ini benar adanya, maka sebenarnya maqom Dino boleh dibilang hampir sama dengan maqom Jokowi. Mereka berada pada sebuah frekuensi yang sama. Dino yang beda 5 tahun lebih muda dari Jokowi ini rupanya merupakan salah satu manusia yang sudah selesai dengan dirinya. Ia sudah relatif tidak peduli dengan egonya, namun berpikir keras ke depan buat bangsa dan negaranya. Tidak heran kalau keduanya bisa berkawan akrab.
Sebenarnya, Jokowi dan Dino hanyalah dua contoh konkret tentang model pemimpin yang sedang diimpikan rakyat Indonesia. Antara keduanya tidak ada rivalitas dalam nuansa negatif. Tetap bisa menyatu walau berbeda suku, agama ataupun golongan. Indonesia saat ini memerlukan orang-orang yang telah selesai dengan dirinya sendiri dan mampu bergandengan tangan dengan pemimpin lain untuk memajukan Indonesia. Para pemimpin yang jauh dari rasa iri, dengki, dan saling maki. Indonesia sekarang memiliki segudang model pemimpin seperti itu. Karenanya jangan salah coblos.
*) M Aji Surya adalah pengamat sosial, tinggal di Jakarta
(nwk/nwk)