Indonesia Anno 2014: Budak, Bukan?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Indonesia Anno 2014: Budak, Bukan?

Jumat, 28 Feb 2014 15:41 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Indonesia Anno 2014: Budak, Bukan?
Oujda -

Memperkerjakan 16 orang sebagai pembantu semata karena kasihan agar tak terlantar di jalanan, demikian dalih versi seorang Brigadir Jenderal Polisi Purnawirawan kepada media, menyusul kasus dugaan penganiayaan yang membelit istrinya. Pokok logika yang hendak dibangun yakni tanpa belas kasihan MS dan istrinya, ke-16 orang itu pasti akan terlantar. Nobel sekali memang, dan teks seperti ini selalu terbilang, manakala kasus-kasus seperti ini terulang.

Versi korban persis 180 derajat oposan: dianiaya fisik (dijambak, dicakar), dianiaya mental (dimaki, dibentak-bentak), bekerja berbulan-bulan tapi gaji tidak dibayar, jam kerja tak terbatas, dimatikan hak dasarnya untuk dikunjungi atau mengunjungi. Bahkan mengontak keluarga melalui telepon pun dilarang. Ada ratio dubitandi, alasan mengapa dalih pihak pertama diragukan: ke-16 orang yang terancam terlantar itu mestinya kerasan, seandainya mereka diperlakukan manusiawi. Ada kepastian makan minum, ada atap tempat berteduh dari panas dan hujan, dan ada harapan penghasilan. Tapi siapa salah, siapa benar, biarlah mahkamah yang menilai dan memutuskan.

Hal sangat mendesak untuk diperhatikan dari "Kasus MS dan 16 Pembantunya" ini adalah bahwa dalih kasihan itu seringkali menjadi semacam charte blanc untuk praktik perbudakan terselubung. Cukup dengan deklarasi kasihan, hak-hak serta kemerdekaan sekumpulan orang bisa dirampas, dikuasai dan dieksploitasi. Rumah, mobil maunya selalu kinclong; baju selalu rapi jali. Mereka dikurung di balik tembok, yang kadang kondisinya lebih buruk daripada para narapidana di dalam penjara. Tenaga mereka diperas nyaris 24 jam tanpa perlindungan, hak berkunjung dan dikunjungi pun nul koma nul. Padahal para terpidana dijamin hak-hak untuk istirahat, berolahraga, hiburan, makan minum teratur, istirahat cukup, bahkan kesehatan mereka ditanggung oleh negara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sudah 69 tahun merdeka, praktik-praktik eksploitasi, kerja paksa dan penindasan ala era kolonial seharusnya tidak boleh ada lagi, apalagi terhadap bangsa sendiri. Ini bukan era Barbar, di mana manusia diperbudak dan para domina bisa seenaknya memperlakukan mereka. Negara harus hadir menghentikan dan mencegah praktik tidak berperikemanusiaan ini melalui instrumen UU Ketenagakerjaan. Masukkan pembantu ke dalam kelompok pekerja, sebab per definisi mereka memang pekerja. Tentukan standar gaji minimum mereka, hak-hak dan kewajiban mereka, agar negara jelas memberi jaminan perlindungan kepada mereka dan sebaliknya juga kepada penyedia kerja selaku pengguna.

Tentu, tidak menutup mata banyak keluarga yang selama ini telah memuliakan dan kasihan dalam makna sebenarnya kepada para pembantu rumah tangga. Bahkan di antara mereka sudah dianggap seperti keluarga sendiri dan mereka menikmati standar hidup nyaman. Akan tetapi urusan penggunaan tenaga manusia tidak bisa diserahkan pada dalih kasihan dari orang per orang, melainkan negara. Selebihnya unsur dan pertimbangan kasihan bisa mengisi hubungan kerja di antara kedua belah pihak.

Oujda, Marokko, 27 Februari 2014

Keterangan penulis:
Penulis adalah koresponden detikcom di Belanda. Tulisan ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan redaksi.

(es/es)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads