Menakar Potensi Dinamika Pemilu 2014
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Menakar Potensi Dinamika Pemilu 2014

Kamis, 13 Feb 2014 15:22 WIB
Suhendro
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Menakar Potensi Dinamika Pemilu 2014
Jakarta - Potensi Modal Sosial Capres Muda Di Pilpres 2014

Saat ini publik diberi kesempatan untuk memilih nama Capres dan Cawapres 2014 yang beragam, yang tentunya masih sangat segar dan muda. Kondisi tersebut berbeda jauh dengan pilpres sebelumnya.

Publik lebih mengenal sosok Cawapres Partai Hanura, Hary Tanoesoedibjo daripada Gubernur Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso, sebagai pemimpin muda (capres muda) yang usianya masih di bawah 55 tahun. Harry Tanoesoedibjo, Joko Widodo, dan Priyo Budi Santoso memiliki popularitas tertinggi. Tingginya popularitas mereka tidak dapat dilepaskan dari posisi strategis yang mereka miliki di partai politik masing-masing. Faktor intensitas kemunculan di media massa juga mempengaruhi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pilpres 2014 dapat dikatakan sebagai momentum pemimpin muda (capres muda) untuk mencoba peruntungan dengan berlaga di ajang pemilihan presiden. Hadirnya wajah baru dalam Pilpres 2014 merupakan obat penawar kejenuhan publik terhadap tokoh lama yang sudah tidak asing lagi. Hal ini terlihat dari antusiasme publik yang mau menggunakan hak pilihnya apabila pesertanya di bawah usia 55 tahun.

Jokowi, Priyo, HT dan Hidayat Nurwahid dianggap memiliki popularitas tertinggi di antara pemimpin muda yang usianya di bawah 55 tahun, terutama bagi Parpol yang memiliki kader seperti mereka. Karena pada Pilpres 2019 Hary Tanoe yang populer karena terus beriklan di medianya, muncul sebagai tokoh populer, seperti bagaimana media memberikan perhatian khusus terhadap Jokowi, maka hal yang sama juga terjadi pada HT apakah dalam iklan, kemunculannya di acara televisi dan lainnya.

Potensi Masalah Pemilu 2014

Jika DPR benar-benar melakuan pengawasan yang baik kepada Presiden maka korupsi tidak akan terjadi secara merajalela. DPR harus mempertanyakan pada Presiden apakah di partainya ada korupsi dan kalau tidak tahu itu keterlaluan sekali. Pada Pemilu 2014, DPR yang lama yang sudah jelas tidak melakukan fungsinya atau bekerja setengah hati tidak boleh dipilih lagi, untuk apa dipilih lagi 5 tahun kerjanya tidak ada.

Harusnya partai mendengar usulan dari rakyat tapi jangan melihat elektabilitas dan popularitas. Popularitas itu hal yang dapat direkayasa, pilihan berdasar elektabilitas tidak nyata, tapi yang tidak dapat direkayasa adalah integritas.

Model kampanye partai politik masih bertumpu pada politik visual dengan menjual figur, bukan dengan menjual gagasan atau program konkret untuk perubahan Indonesia pada periode pemerintahan mendatang. Sementara itu, kecurigaan netralis KPU sebagai penyelenggara Pemilu masih menjadi beban berat bagi partai politik dan masyarakat pemilih, terutama setelah adanya wacana Lemsaneg terlibat dalam pengawasan Pemilu, meskipun kesepakatan itu sudah dibatalkan. Hal ini didasari oleh memori masa lalu (Pemilu sebelumnya) yang dinilai tidak fair dan penuh dengan manipulasi suara data pemilih.
 
Persoalan daftar pemilih tetap (DPT) sampai saat ini belum tuntas diselesaikan KPU, juga persoalan dana saksi yang semula hendak didanai negara. Politik uang dalam bentuk langsung maupun tidak, masih menjadi hantu Pemilu 2014. Kekerasan politik berpotensi terjadi di daerah yang sentimen primordial dengan penggalangan politiknya masih bertumpu pada ikatan kekeluargaan atau primordial umumnya dan bos lokal masih dominan dalam melakukan kontrol sosial.

Jika diperhatikan lebih lanjut masalah DPT yang begitu rumit di sejumlah wilayah Indonesia, memang sekarang para parpol dan caleg tidak mempersoalkan hal tersebut. Namun jika diperhatikan setelah pencoblosan, di sinilah potensi konflik terjadi caleg yang kalah akan mempertanyakan keabsahan jumlah DPT.
 
Pembentukan KPPS Pemilu 2014

Pembentukan Kelompok Penyelenggaran Pemungutan Suara (KPPS) sesuai Peraturan KPU Nomor 21 Tahun 2013 akan dimulai 9 Februari-9 Maret 2014, namun demikian sampai dengan saat ini belum dilakukan pembentukan, dan PPS sudah mulai mencari calon petugas KPPS Melalui ketua RW.

Syarat menjadi anggota KPPS antara lain harus independen dan tidak pernah menjadi anggota atau simpatisan partai politik apapun. Jumlah anggota petugas KPPS yang dibutuhkan se-Kabupaten sekitar 16.058 orang untuk 2.294 TPS dengan rincian setiap KPPS beranggotakan 7 orang per TPS. Pemerintah Daerah kabupaten/kota di beberapa wilayah di Indonesia berencana untuk membentuk Tim Kelancaran Pemilu 2014 dan mendirikan posko data center, dengan melibatkan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FKPD), kepala dinas dan instansi terkait hingga camat, lurah dan kepala desa.

Tujuan pembentukan Tim Pemantau Kelancaran Pemilu 2014 untuk pengumpulan data dalam pemungutan suara yang dilaksanakan pada 9 April 2014 hanya untuk kepentingan internal, dan Panwaslu menilai hal tersebut merupakan bentuk dukungan dan peran serta Pemerintah Daerah agar pemilu berjalan lancar. Tetapi, hasil kegiatan pengumpulan data tersebut dikhawatirkan akan terjadi perbedaan antara Tim Pemantau Kelancaran Pemilu dengan KPU. Namun demikian, pembentukan tim terpadu tersebut rawan ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu, juga berbenturan dengan kewenangan KPU.

Penolakan Atribut Kampanye Pemilu 2014

Fenomena munculnya penolakan warga terhadap atribut peraga kampanye (APK) di beberapa wilayah kampung/desa di seluruh Indoesia dikarenakan masyarakat menginginkan wilayahnya bersih dan lingkungan tetap indah. Namun diharapkan masyarakat/tokoh warga yang menolak untuk tetap mengedepankan komunikasi dengan para caleg/partai politik dan menjaga situasi wilayahnya tetap aman.

Maraknya penolakan warga terhadap APK membuktikan masyarakat belum mengerti secara benar arti dari demokrasi karena dalam aturan caleg/partai politik boleh memasang APK di wilayah dapilnya selain yang dilarang dalam aturan larangan APK. Selain itu, penolakan APK karena warga menginginkan wilayahnya bersih, indah dan suasana nyaman serta kondusif tidak ada konflik antar warga pendukung caleg/parpol. Adanya penolakan terhadap APK merupakan sinyal positif dari masyarakat yang sudah jenuh dengan kampanye pencitraan.

Penertiban Alat Peraga Kampanye Pileg 2014

Permasalahan alat peraga kampanye harus ditangani secara serius oleh penyelengara Pemilu, untuk memberikan rasa keadilan kepada seluruh caleg yang akan berkompetisi pada Pileg 2014. Banyaknya dan semrawutnya pemasangan alat peraga telah menimbulkan keresahan para caleg yang tidak mempunyai modal besar dalam membuat alat peraga.

Walaupun saat ini telah memasuki tahapan sosialisasi kampanye Pileg 2014, namun penempatan alat peraga yang menyalahi aturan akan menimbulkan permasalahan apabila tidak segera ditertibkan oleh penyelengara Pemilu. Permasalahan yang harus diantisipasi penyelengara pemilu adalah adanya perusakan baliho atau alat peraga sehingga dapat memanaskan situasi menjelang Pileg.

Pembiaran alat peraga kampanye yang dilakukan oleh penyelengara Pemilu akan membuat caleg lain untuk ikut melanggarnya, sehingga penyelengara Pemilu agar segera membersihkan alat peraga tersebut. Adanya rencana penertiban alat peraga yang akan dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu, agar dapat memberikan kenyamanan masyarakat, serta tidak terkesan adanya pilih kasih penyelengara pemilu kepada salah satu parpol/caleg.

Penyelenggara Pemilu harus tegas terkait rencana tersebut, serta tidak boleh takut dengan siapapun, serta harus membersihkan alat peraga caleg banyak melanggar hukum sesegera mungkin. Sebenarnya, penertiban yang akan dilakukan tidak akan membuat efek jera bagi caleg, karena setelah dibersihkan pasti ada caleg yang bermodal besar akan memasangnya kembali, namun upaya yang dilakukan dapat memberikan kepercayaan masyarakat kepada Penyelengara Pemilu, khususnya KPU.

*) Suhendro adalah Pengamat dan Pemerhati Masalah Bangsa

(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads