Menyoal Protes KRI Usman Harun
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Menyoal Protes KRI Usman Harun

Rabu, 12 Feb 2014 19:25 WIB
Yacob Rambe
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Menyoal Protes KRI Usman Harun
Jakarta - Sejarah singkat

Sejarah TNI-AL dimulai tanggal 10 September 1945 setelah masa awal diproklamasikannya kmerdekaan negara Indonesia, administrasi pemerintah awal Indonesia mendirikan Badan Keamanan Rakyat (BKR Laut). BKR Laut dipelopori oleh pelaut-pelaut veteran Indonesia yang pernah bertugas di jajaran Koninklijke Marine (Angkatan Laut Kerajaan Belanda) di masa penjajahan Belanda dan Kaigun dimasa pendudukan Jepang.

Terbentuknya organisasi militer Indonesia yang dikenal sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR) turut memacu keberadaan TKR Laut yang selanjutnya lebih dikenal sebagai Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), dengan segala kekuatan dan kemampuan yang dimilikinya. Sejumlah Pangkalan Angkatan laut terbentuk, kapal-kapal peninggalan Jawatan Pelayaran Jepang diberdayakan, dan personel pengawaknya pun direkrut untuk memenuhi tuntutan tugas sebagai penjaga laut Republik yang baru terbentuk itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kekuatan yang sederhana tidak menyurutkan ALRI untuk menggelar Operasi Lintas Laut dalam rangka menyebarluaskan berita proklamasi dan menyusun kekuatan bersenjata di berbagai tempat di Indonesia. Di samping itu mereka juga melakukan pelayaran penerobosan blokade laut Belanda dalam rangka mendapatkan bantuan dari luar negeri.

Selama tahun 1949 s/d 1959 ALRI berhasil menyempurnakan kekuatan dan meningkatkan kemampuannya. Di bidang Organisasi ALRI membentuk Armada, Korps Marinir yang saat itu disebut sebagai Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL), Penerbanghan Angkatan Laut dan sejumlah Komando Daerah Maritim sebagai komando pertahanan kewilayahan aspek laut. Pada era 1990-an TNI AL mendapatkan tambahan kekuatan berupa kapal-kapal perang jenis korvet kelas Parchim, kapal pendarat tank (LST) kelas 'Frosch', dan Penyapu Ranjau kelas Kondor.

Penambahan kekuatan ini dinilai masih jauh dari kebutuhan dan tuntutan tugas, lebih-lebih pada masa krisis multidimensional ini yang menuntut peningkatan operasi namun perolehan dukungannya sangat terbatas. Reformasi internal di tubuh TNI membawa pengaruh besar pada tuntutan penajaman tugas TNI AL dalam bidang pertahanan dan keamanan di laut seperti reorganisasi dan validasi Armada yang tersusun dalam flotila-flotila kapal perang sesuai dengan kesamaan fungsinya dan pemekaran organisasi Korps Marinir dengan pembentukan satuan setingkat divisi Pasukan Marinir-I di Surabaya dan setingkat Brigade berdiri sendiri di Jakarta.

Rencana ke depan

Berdasarkan rencana pengembangan kekuatan periode 2005-2024, struktur operasional TNI-AL akan diubah di mana dua komando armada yang ada sekarang (Komando Armada Kawasan Barat dan Komando Armada Kawasan Timur) akan dilebur menjadi satu armada yang dipimpin laksamana berbintang tiga yang bermarkas di Surabaya. Armada ini akan membawahi tiga komando wilayah laut (Kowilla) yaitu Kowilla Barat dengan markas direncanakan di Tanjungpinang, Riau, Kowilla Tengah dengan markas di Makassar dan Kowilla Timur dengan markas di Sorong.

Pembagian komando operasional ini didasarkan pada karakteristik perairan yang membutuhkan pola operasi dan perangkat yang berbeda serta untuk memudahkan pergeseran pasukan atau logistik. Marinir juga akan dimekarkan dengan Dankormar yang dipimpin Pati berbintang tiga dengan penambahan satu Pasmar yaitu Pasmar III yang akan bermarkas di Sorong.

Proyek-proyek ke depan antara lain pembangunan 3 kapal selam jenis Changbogo Class (Lisensi Tipe 209 Jerman) yang akan selesai pada 2015, pembangunan 1 Fregat Sigma 10514 yang dijadwalkan akan selesai pada 2017, pembelian 3 MRLF (Multi Role Light Frigate) Nakhoda Ragam Class buatan BAE Inggris yang akan diterima tahun 2013 (tahap I), pengembangan armada KCR-40 kelas Clurit hingga 2014 sebanyak 8 buah, pembelian 3 KCR Stealth kelas klewang, pembelian 3 FPB-60 dari PT PAL (kontrak sudah ditandatangani), pembelian 11 helikopter anti permukaan dan anti kapal selam (AKS) dan pembelian 5 CN-235 MPA (sedang tahap pembangunan di PT DI).

Pembelian Alusista dari Inggris

Pada 2 November 2012 di Downing Street 10, London, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Inggris, David Cameron menandatangani nota kesepahaman penjualan alat-alat pertanahanan untuk ketiga angkatan. Indonesia berencana membeli peluru kendali Starstreak, senapan penembak jitu, dan kapal perang kecil multiguna (multi-roles light frigate/MRLF).

Purnomo Yusgiantoro (Menhan) pada 10 Februari 2014 mengatakan, ada tiga kapal jenis multi role light fregate yang diberi nama, yaitu KRI Bung Tomo 357, KRI John Lie 358, dan KRI Usman Harun 359. Mengenai nama kapal Usman Harun, pihak Singapura sudah menyampaikan rasa keprihatinan kepada dirinya. Tapi kita sudah sampaikan posisi kita. Kita punya alasan kuat bagaimana kita menetapkan nama terhadap setiap KRI.

Nama Usman Harun diambil dari nama Usman Hj Mohd Ali dan Harun Said, dua anggota TNI dari Korps Komando Operasi (KKO), yang kini disebut sebagai Korps Marinir, pelaku peledakan bom di Singapura saat konforntasi dengan Malaysia. Keduanya tertangkap dan kemudian menjalani hukum gantung, jenasahnya dibawa ke Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata Jakarta sebagai Pahlawan Nasional.

Akibat pemberian nama KRI Usman Harun, muncul berbagai tanggapan dari Singapura. Menteri Luar Negeri Singapura, K Shanmugam melalui Channel News Asia, mengatakan penamaan KRI Usman Harun yang baru diluncurkan oleh TNI Angkatan Laut itu, melukai perasaan rakyat Singapura, terutama keluarga korban dalam peristiwa pengeboman MacDonald House di Orchard Road, Singapura pada tahun 1965.

Sedangkan mantan koresponden Straits Times, David Boey, menyarankan agar kapal fregat milik Indonesia, KRI Usman Harun tidak diizinkan melintas di perairan Singapura. Apabila kapal sepanjang 90 meter itu diizinkan melintas, maka dikhawatirkan dapat membuka luka lama saat hubungan bilateral kedua negara tegang di tahun 1965 silam. Boey juga meminta AL Republik Singapura (RSN) sebaiknya secara sopan menolak semua latihan militer dengan kapal itu.

Sikap Pemerintah

Ditengah polemik protes Singapura itu, Kementerian Pertahanan Singapura membatalkan pertemuan dialog pertahanan dengan Kementerian Pertahanan RI yang sedianya akan digelar di Singapura bersamaan dengan acara kedirgantaraan, Singapore Airshow, 11-16 Februari 2014. Karena Singapura membatalkan dialog bilateral itu, Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, juga membatalkan kunjungannya ke Singapura.

Pembatalan jamuan secara sepihak oleh pemerintah Singapura tidak membuat pemerintah Indonesia bergeming untuk merubah nama KRI-nya. Panglima TNI, Jenderal Moeldoko menegaskan pihaknya akan tetap memakai nama Usman Harun sebagai nama salah satu kapal perangnya. Menurutnya isu yang membuat hubungan kedua negara menghangat tersebut, belum sampai mempengaruhi hubungan kerja sama militer Indonesia-Singapura, namun keberlanjutan kerja sama tersebut tergantung dari sikap Singapura dalam menyikapi masalah tersebut. Moeldoko juga menambahkan bahwa dirinya tidak terima apabila Usman dan Harun dianggap oleh negara pulau tersebut sebagai teroris.

Sementara itu, Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional, Teuku Faizasyah, menyesalkan sikap pemerintah Singapura yang dinilai berlebihan dalam menyikapi kasus KRI Usman Harun. Saat tabur bunga oleh PM Lee Kuan Yew (di makam kedua pahlawan nasional tersebut), kita sudah melihat bahwa sudah ada penyelesaikan atas masalah yang terjadi di masa lalu. Untuk mengatasi persoalan ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menugaskan Menkopolhukam, Djoko Suyanto. Namun, dia menegaskan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan mengganti nama kapal perang tersebut, hanya karena pihak Singapura merasa keberatan.

Meskipun mendapat berbagai keberatan dari Singapura, pemerintah Indonesia tetap pada keputusannya, tidak akan mengganti nama KRI Usman Harun. Kalau perlu pemerintah Indonesia mengganti nama pulau-pulau terluar yang berdekatan dengan Singapura dengan nama Pulau Usman Harun.

Polemik soal KRI Usman Harun harus dibaca dalam konstelasi bagaimana posisi bangsa Indonesia di mata negara-negara jiran, karena setidaknya ada tiga peristiwa yang mengindikasikan “Di Laut Kita Dihina” yaitu:

Pertama, pengusiran imigran Iran ke wilayah teritorial laut Indonesia oleh militer AL Australia pada 5 Februari 2014. Kedua, pembakaran perahu nelayan Indonesia dan pembuangan ke laut oleh AL PNG pada 6 Februari 2014. Ketiga, pembatalan undangan Singapore Air Show.

Ketiga peristiwa tersebut sebenarnya menunjukkan bagaimana Australia, PNG dan Singapura tidak layak disebut lagi sebagai negara sahabat oleh Indonesia. Rakyat Indonesia mendukung sikap tegas pemerintah. Pemerintah Indonesia harus menegaskan sikap dan posisi politik diplomatiknya, kita tidak boleh tunduk pada tekanan asing manapun karena harga diri bangsa berada di atas segala-galanya. Jalesveva Jayamahe yang berarti, Di Laut Kita Berjaya.

*)Yacob Rambe adalah penulis senior di Forum Dialog (Fordial) Jakarta

(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads