Rabu 5 Februari 2014 siang Detik News memuat kritikan Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho terhadap kinerja Unit Pelaksana Teknis (UPT) Hujan Buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Sutopo menuding hasil kerja UPT Hujan Buatan BPPT telah gagal merekayasa cuaca untuk mengurangi hujan yang mengguyur Jakarta, harapannya tentu saja agar Jakarta tidak direndam banjir yang parah. Tentu saja pihak UPT Hujan Buatan tidak mau disalahkan begitu saja. Kepala UPT Hujan Buatan BPPT, F Heru Widodo, beralasan tidak maksimalnya rekayasa cuaca karena kurangnya jumlah pesawat yang digunakan untuk menabur garam di awan dan juga terkait hujan yang sering turun pada malam hari.
Tidak bermaksud memperkeruh suasana, sebaliknya mari kita lihat semuanya dengan jernih dan ilmiah. Bencana seringkali membuat kita semua panik. Dalam kepanikan kita seperti orang hanyut di sungai, apa saja akan kita gapai untuk bisa selamat, tak peduli itu akar yang kuat atau sekedar rumput yang mudah tercerabut. Amsal tadi berlaku juga kala mengahadapi bencana banjir, ketika ada tawaran teknologi yang bisa mencegat hujan agar tidak jatuh di di wilayah kita serta merta diterima, berapapun ongkosnya.
Seperti jamaknya sebuah metode, tentu di dalamnya ada asumsi-asumsi yang harus dipenuhi, hitungan-hitungan biaya-manfaat (cost benefit) agar metode tersebut berhasil ketika dieksekusi, sekaligus rasional dalam pembiayaannya. Sebuah metode boleh jadi benar namun tetap saja gagal di implementasinya ketika prasyaratnya hanya dipenuhi sebagian, di sisi lain untuk memenuhi prasyarat agar berhasil biayanya terlalu mahal dan menjadi tidak rasional.
Dalam konteks rekayasa cuaca yang dilakukan oleh UPT Hujan Buatan BPPT tentu saja pijakan teori metode yang digunakan sangat sahih. Jadi mari kita pergi ke lapangan, oknum awan yang dipaksa melahirkan hujan secara prematur datang dari arah barat-barat laut, luasan rezim angin pembawa hujan ini membentang dari Laut Jawa di utara sampai Samudera Indonesia di selatan, bertiup hampir konsisten dari Desember sampai Maret dengan puncak kekayaan kandungan uap airnya pada Januari-Februari. Jadi kalau satu, dua atau sekian juta bakalan air dipercepat matang dan jatuh jadi hujan sebelum mencapai Jakarta, maka di belakangnya ada berlipat kali jumlahnya siap mengguyur Jakarta.
Taruh kata jumlah pesawat yang dikerahkan mencukupi untuk mengcover bentangan jarak utara-selatan Jakarta, bagaimana dari sisi waktu? Saat Anda berhasil menjatuh-prematurkan satu paket besar hujan, di belakangnya menyusul, dan menyusul lagi. Artinya kalo ingin hasil yang signifikan penaburan garamnya harus dilakukan berulang-ulang dalam kurun waktu yang signifikan terhadap durasi hujan yang diprakirakan akan terjadi pada hari itu, jadi tentu saja tidak cukup kalau hujannya lima jam cuma dilakukan sekali penaburan. Kalaupun ini sudah dilakukan untuk hujan hari ini, bagaimana hujan besok, lusa, dan seterusnya? Sudah pasti harus dilakukan penaburan garam lagi dan lagi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
*) Bambang Setiajid, praktisi cuaca di Surabaya.
(nwk/nwk)











































