Ada dua kesalahan dari politik dinasti ini. Pertama, kesalahan adanya pikiran tentang keharusan dipilihnya seorang pejabat karena trah atau hubungan kekeluargaan dengan pejabat sebelumnya yang dikagumi. Kedua, kesalahan kalau adanya upaya atau rekayasa yang tidak benar termasuk sebuah pelanggaran. Baik secara hukum maupun etika bernegara.
Kekaguman pada seorang tokoh atau pejabat tidak boleh sampai menutup atau mempersempit kesempatan bagi orang lain untuk maju. Ini adalah sebuah aksioma dalam sistem demokrasi terbuka. Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama didepan hukum dan untuk menduduki suatu jabatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebutkan beberapa dari tokoh-tokoh nasional itu, antara lain Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir dan Pak Natsir. Apakah mereka menjadi pemimpin nasional karena bapak atau kakeknya pernah menjadi pemimpin nasional? Tentu tidak.
Istilah trah atau politik dinasti ini merupakan hal yang baru. Sebuah penyimpangan pikiran dari mereka yang tidak tidak mampu bersaing secara obyektif dalam berkarya. Pada era perjuangan kemerdekaan, pikiran tentang dinasti atau trah itu sama sekali tidak ada. Kalau pada waktu itu ada pikiran itu, yang akan menjadi Presiden Pertama bukanlah Sukarno atau Hatta. Tapi Sultan Hamengkubuwono IX atau Sultan Hamid II atau anak Sultan-Sultan lain.
Dalam wadah Negara Kesatuan Indonesia, semua anak-anak bangsa bebas berkiprah, bebas mengabdi dan bebas bersaing secara obyektif dan wajar. Tanpa perbedaan berdasarkan keturunan dan suku bangsa.
Menjelang Pemilihan Umum yang akan datang, sewajarnyalah kita bersikap obyektif, untuk menilai secara benar, dan menghilangkan segala perbedaan-perbedaan itu. Hilangkanlah pikiran tentang trah dan segala hambatan bagi anak bangsa dalam berkiprah dan berkarya.
Β
*) Said Zainal Abidin, Guru Besar STIA LAN dan mantan penasihat KPK
(nwk/nwk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini