Memperbaiki Iklan Seorang Caleg
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Catatan M Aji Surya (12)

Memperbaiki Iklan Seorang Caleg

Senin, 20 Jan 2014 15:49 WIB
M Aji Surya
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Iklan dimanapun sama saja, isinya persuasi. Merayu pihak lain untuk percaya. Sayangnya, banyak iklan politik yang isinya "jeblok", alias tidak tahu apa yang harus diiklankan.

Siapapun setiap hari melihat iklan, baik di media cetak ataupun elektronik. Baik itu untuk sebuah produk barang, jasa, maupun iklan politik. Semakin baik konsep iklan tersebut pasti akan lebih menarik bagi yang melihatnya. Kalau dilakukan berulang-ulang, bisa jadi akan menimbulkan kepercayaan atas kebenaran iklan dimaksud.

Seberapa jauh iklan politik yang ada sekarang mampu merayu pemilih? Terus terang saja, ada beberapa iklan politik di teve yang bagus dan menarik, serta sesuai dengan kaidah-kaidah persuasi di era demokrasi. Bahkan, ada iklan capres yang sangat menyentuh sehingga ditengarai telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan atas naik daunnya (elektabilitas) sang capres. Itulah yang dinamakan kekuatan iklan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, banyak sekali iklan politik, khususnya yang bersifat outdoor, menurut saya, nilainya tidak memikat atau "katrok". Kalau diibaratkan nilai anak sekolah, hanya 4 atau paling hebat 5. Alias nilai berwarna merah. Artinya, menurut ilmu pengetahuan persuasi, iklan itu kemungkinan hanya sedikit mendongkrak nama pengiklannya di pentas politik serta keterpilihannya. Orang tersebut bagaikan membuang-buang uangnya --yang mungkin ratusan juta rupiah-- secara relatif percuma.

Cobalah sekali-kali mengamati iklan caleg yang ada di pinggir-pinggir jalan protokol, di tikungan, di perempatan jalan, pom bensin, dekat aneka keramaian hingga yang dipasang di kaca belakang angkot-angkot yang berseliweran. Hampir semua (tidak semua) pesan utamanya hanya satu hal: perkenalan. Gambar sang calon tampak begitu dominan, dengan pakaian yang baik dan necis. Di sampingnya, atau di belakangnya, terlihat ketua partai atau orang terkenal lainnya. Setelah itu, ada tulisan: Mohon doa restu. Tidak lupa dicantumkan: caleg nomor X daerah Y.

Apa arti iklan semacam ini? Saya menduga mereka merayu konstituen hanya mengandalkan kedekatannya dengan tokoh yang ada di sebelahnya. Dengan kata lain, ia mengatakan: "Gue ini temennya si A yang terkenal itu lho". Konstituen pun kemudian bisa dengan mudah berujar: "Lalu so what gitu loh kalau temannya si A?". Cukup sulit membuat konstituen memilih dan percaya. Menurut saya, iklan tersebut hanya pas untuk sebuah masyarakat yang masih beriklim "represif" dan "otoriter", karena lebih bersifat mengadalkan atau menyandarkan diri ke pihak lain atau mungkin sedikt "menakut-nakuti". Masalahnya, Indonesia sekarang sudah lama meninggalkan zaman tersebut.

Lalu kata-kata "mohon doa restu" merupakan sebuah kelanjutan dari logika kedekatannya dengan sang tokoh. "Karena dekat dengan sang tokoh, maka mohon kiranya saya dipilih sebagai caleg" atau "Karena saya sekelompok dengan orang hebat, maka pilihlah saya". Itulah arti umum dari sebuah iklan politik yang seringkali muncul di berbagai media. Bahkan, variasinya juga cukup banyak. Ada caleg yang seolah sambil memamerkan jamnya yang mahal atau bahkan cincinnya yang bertatahkan berlian. Iklan semacam ini sungguh sangat tidak tepat karena tidak bersifat merayu rakyat.

Namun demikian, iklan tersebut tidaklah salah-salah amat, alias ada kebenarannya walaupun sedikit. Begini logikanya, sebagian pemilih benar-benar tidak punya ide caleg mana yang harus dipilih, karena hampir semua caleg memang tidak dikenalnya. Tidak dikenal pribadinya apalagi karya pengabdiannya di masyarakat. Di saat yang sama, sang pemilih memang harus mencoblos. Itulah momen yang paling menentukan dimana caleg yang pernah ia lihat, caleg yang dekat orang terkenal, atau caleg yang sering dilihat di teve jadi sasaran tusukannya. Dalam keadaan demikian, memilih caleg bukan beradasarkan prestasi, namun lebih karena kenal dan tidaknya. Itulah mengapa, caleg yang berasal dari selebritas rata-rata akhirnya lolos mewakili rakyat.

Iklan caleg yang persuasif

Membuat iklan yang baik saat ini sangatlah tidak sulit. Hampir semua produk ternama mencurahkan waktu dan tenaganya untuk membuat iklan yang memikat atau persuasif. Iklan tersebut tidak perlu vulgar, sangat menonjol atau mengaitkan dengan produk lain yang lebih terkenal. Yang jelas, dalam masyarakat yang semakin maju dalam pemikiran dan menjunjung nilai-nilai demokratis ini, diperlukan iklan yang variatif dan cerdas.

Iklan sebuah produk ternama biasanya dibuat oleh mereka yang memiliki pengetahuan cukup tentang ilmu persuasi. Pengetahuan tentang bagaimana memikat konsumen agar percaya apa yang diiklankan itu benar adanya. Karenanya dibuat sedemikian rupa agar tepat benar dengan keadaan. Bisa jadi, iklan di daerah Sunda beda dengan Jawa. Iklan di musim banjir, akan beda dengan musim panas. Iklan di masyarakat Jakarta beda dengan di pedalaman.

Diantara unsur yang paling penting dalam iklan caleg --sebagaimana sebuah produk-- adalah konten bukti. Iklan tersebut harus mencantumkan adanya bukti bahwa sang caleg telah melakukan sesuatu yang berguna bagi konstituennya. Merayu dan merajuk di era demokrasi haruslah dengan bukti nyata, bukan dengan sebuah kedekatan dengan tokoh ataupun memperlihatkan kemewahan. Maklumlah, ilmu persuasi sendiri berkembang pesat seiring dengan maraknya paham demokrasi di dunia.

Jadi, di dalam iklan caleg, semestinya ditonjolkan tulisan atau apapun yang mengindikasikan bahwa sang caleg telah berprestasi bagi konstituennya. Apakah itu berupa kata-kata, statistik ataupun perbandingan. Tentu saja, prestasi tersebut akan berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Maklumlah, ada daerah yang memerlukan pendidikan, sementara yang lain lebih mengutamakan infrastruktur.

Saya sangat yakin bahwa konten bukti akan jauh lebih ampuh dalam lebih merayu dibandingkan dengan konten kedekatan. Sebab dalam konten bukti, terdapat keterkaitan antara kebutuhan yang dirasakan konstituen dengan apa yang dilakukan sang calon, dimana akhirnya konstituen ikhlas menyerahkan kepercayaannya. Ikatan kepentingan ini lebih baik daripada sekedar menautkan diri melalui ikatan individual, primordial ataupun ikatan dengan pemimpin tertentu.

Banyak konten bukti yang mudah dipahami rakyat, seperti: "Bila korupsi, siap digantung konstituen di Balai Kota", "Terus membela eksistensi KPK", "Telah membantu 1000 UKM", "Berperan dalam mendamaikan konflik", "Senantiasa memberikan bibit padi gratis", dan lain sebagainya. Tentu saja, kalimat-kalimat utama yang menjadi daya tarik itu harus sebuah kenyataan yang bisa dirasakan oleh konstituen, bukan sekedar slogan kosong, atau malah sekedar janji-janji palsu yang sering dialami oleh masyarakat.

Setelah menyebutkan bukti-bukti kongkrit tersebut barulah kemudian menyisipi berbagai pesan lain (seperti janji) yang akan menambah bobot iklan politik dimaksud. Selain itu, photo profil sang caleg sangat disarankan yang lebih merakyat, bukan foto yang narsis yang menjauhkan diri dari pemilih. Akan lebih baik lagi kalau foto profil merupakan gambaran dari keadaan nyata ketika membangun prestasi di tengah masyarakat. Suasana kebersamaan harus dibangun sedemikian rupa sehingga sang caleg merupakan bagian dari rakyat dan bukan sebuah "menara gading" yang terpisah.

Konsep diatas, saya kira sangat tepat, mengingat di era demokrasi ini pendekatan persuasif sangat penting, sedangkan pendekatan primordial apalagi yang bersifat intimidatif sudah harus dibuang jauh-jauh ke laut. Masyarakat lebih gampang diajak bersama manakala kepentingan riilnya diakomodir. Maklumlah, mereka tidak lagi terikat terlalu erat pada sebuah primordialisme. Mereka mudah loncat dari satu tempat ke tempat lain sesuai dengan kebutuhannya.

Saya sih menduga bahwa iklan-iklan politik yang bersifat narsis sekarang ini semata-mata karena adanya trend yang salah (ikut-ikutan) serta ketidakmengertian mereka tentang metodologi persuasi. Yang tidak saya harapkan adalah, semua ini dilakukan karena sang calon memang belum memiliki prestasi bagi konstituennya. Sekiranya yang terakhir itu yang terjadi, maka saran saya, berprestasilah terlebih dahulu baru kemudian nyaleg. Sebab bila tidak demikian, mereka harus bersiap menghamburkan uang dalam jumlah besar dengan hasil yang sangat minim. ()



Penulis adalah pengamat sosial dan dosen ilmu komunikasi.

(rmd/rmd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads