Menyoal Lembaga Survei
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Menyoal Lembaga Survei

Rabu, 15 Jan 2014 15:03 WIB
Amril Jambak
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Menyoal Lembaga Survei
Jakarta - Kehadiran lembaga survei di Tanah Air bak cendawan tumbuh dengan berbagai macam nama. Apakah mereka memiliki popularitas tersendiri? Tentu jawabannya terletak pada keakuratan survei yang dilakukan. Namun, kini lembaga survei memiliki persoalan-persoalan yang menjadi sorotan publik.

Bahasa β€˜survei titipan’ sering terdengar di telinga kita. Meski pembuktiannya sulit diperoleh, tapi yang jelas ada lembaga survei acap kali menggadang-gadangkan seseorang yang belum tentu besar di mata orang.

Entah pola apa yang dilakukan lembaga survei tersebut, tapi yang jelas mereka memiliki argument sendiri untuk mendulang suara dalam survei yang dilakukan guna mengungguli orang ataupun lembaga yang menjadi klien-nya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Independensi lembaga survei pun layak dipertanyakan dalam mempublikasikan hasilnya. Saat ini beberapa lembaga survei menempatkan Joko Widodo (Jokowi) di posisi teratas dalam berbagai sisi, capres favorit ataupun capres muda berpotensial.

Pada Minggu (12/1), Lembaga survei Institut Riset Indonesia (Insis) merilis survei seputar capres yang diharapkan rakyat. Hasilnya rakyat menghendaki capres yang masih muda seperti Jokowi.

"Responden yang akan menggunakan hak pilih jika capres di Pilpres 2014 berusia di atas 55 tahun hanya 63,36 persen. Kondisi berbeda jika yang maju di Pilpres 2014 adalah capres yang umurnya kurang dari 55 tahun, yang mengatakan akan menggunakan hak pilih melonjak menjadi 81,86 persen," kata peneliti Insis Mochtar W Oetomo dalam paparan hasil survei di Hotel Atlet Century, Senayan, Jakarta, Minggu (12/1).

Survei dilaksanakan pada 4 Desember 2013 hingga 8 Januari 2014 di 34 Provinsi di seluruh Indonesia. Populasi dari survei ini adalah seluruh calon pemilih dalam Pemilu 2014 atau seluruh penduduk Indonesia yang minimal telah berusia 17 tahun dan/atau belum 17 tahun tetapi sudah menikah dan bukan TNI/Polri aktif .

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara tatap muka dengan pedoman kuesioner penentuan responden dalam setiap KK dilakukan dengan bantuan kish grid. Jumlah sampel 1.070 responden, diperoleh melalui teknik pencuplikan secara rambang berjenjang (multistage random sampling) MoE+/-3 persen dan pada tingkat kepercayaan (level of confidence) sebesar 95 persen.

Di hari yang sama, Vox Populi Survey (VPS) juga mengumumkan hasil survei seputar elektabiltas capres saat ini. Hasilnya agak berbeda dibanding survei lainnya, Prabowo Subianto muncul sebagai capres nomor 1 mengalahkan Jokowi. Dalam temuan survei didapati bahwa masyarakat menginginkan suatu perubahan besar terhadap pengelolaan pemerintah yang selama ini sangat korup, lemah serta tidak punya rasa percaya diri dan selalu dilecehkan oleh negara tetangga.

"Hal ini terjawab dari jawaban masyarakat dengan tingginya elektabilitas Prabowo hingga 33,1 persen. Keterpilihan Prabowo 33,1 persen karena Prabowo memiliki strong leadership yang kuat, " kata Direktur Eksekutif VPS Henrykus Sihaloho, di Bumbu Desa, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (12/1).

Sementara itu Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri berada di urutan kedua dengan raihan 15,4 persen. Yang mengejutkan, Jokowi hanya di posisi tiga dengan raihan hanya 10,1 persen.

"Jokowi belum memiliki strong leadership yang kuat dibandingkan Megawati, hal ini terlihat dari ketidakberanian Jokowi untuk segera mendeklarasikan sebagai capres dan Jokowi juga belum memberikan keberhasilanya dalam memimpin Jakarta," klaimnya.

Jika dilihat dari dua lembaga survei tersebut, pertanyaannya, apakah lembaga survei ini sudah paham kaidah profesionalitas dan independensi? Jawabannya tentu dipulangkan kepada lembaga survei tersebut.

Namun, Sekretaris Jenderal Asosiasi Riset Opini Publik (AROPI) Umar S Bakry mengakui bahwa saat ini memang masih banyak lembaga survei yang belum memahami kaidah profesional dan independensi. Ia meminta partai politik (Parpol) memahami keberadaan lembaga survei adalah sebuah keniscayaan untuk menuju sistem politik yang demokratis.

"Semua institusi demokrasi yang ada di Indonesia juga sedang menjalani proses maturasi atau pendewasaan, termasuk lembaga survei. Sebab itu wajar kalau masih ada kekurangan dan conflict of interest antara prinsip independensi dan kepentingan partisan," ucap Umar di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Terlebih, kata dia, sekarang ini partai politik selalu bergerak berdasarkan kepentingan. Oleh karena itu, wajar kalau partai-partai mencurigai ada kepentingan tertentu dibalik rilis lembaga-lembaga survei.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Lucius Karus menilai publik belakangan ini cenderung meragukan kredibilitas lembaga survei politik. Itu karena, dalam prakteknya diduga aktivitas mereka merupakan pesanan kelompok tertentu.

Dia menambahkan, pengaturan khusus lembaga survei ini sesungguhnya didorong oleh perkembangan yang terjadi seputar sepak terjang lembaga survei dalam sejumlah iven Pemilu yang diselenggarakan. Pengamat politik Universitas Jayabaya, Igor Dirgantara, menilai beberapa lembaga survei dalam melakukan survei opini publik jarang menggunakan sampel acak berjanjang atau multistage random sampling.

Akibatnya hasil survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei tersebut menjadi kurang proporsional karena pendukung partai atau figur tertentu jadi kurang terwakili. Dari beberapa pengamatan dan penelitian yang pernah ia lakukan dengan metodelogi penggunaan multistage random sampling tersebut maka yang keluar sebagai capres terpopuler saat ini adalah Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto.

"Dari pengamatan dan penelitian yang pernah saya lakukan, dukungan Prabowo justru meluas akibat program desa 1 miliarnya, pembelaan Prabowo untuk TKI Wilfrida Soik, serta rencana pendirian Lembaga Tabungan Haji, dan lain-lain," kata Igor, di Jakarta, Kamis (9/1).

Selain itu, instrumen pertanyaan juga sangat penting ketika survei dilakukan. Sebab, sangat mungkin jawaban yang disediakan oleh peneliti di beberapa lembaga survei tidak meng-cover kemungkinan alternatif jawabannya.

Akibatnya responden hanya menyesuaikan kategori jawaban yang disediakan. "Misalnya, jelaskan dan tanya kepada responden yang jadi sampel survei terkait manfaat desanya kalau mendapat bantuan satu miliar. Pasti elektabilitas Prabowo justru meroket," ujarnya.

Sebelumnya Igor juga menilai hasil penelitian berbagai lembaga survei digunakan untuk menggiring opini publik. Ada semacam hegemoni opini bahwa figur tertentu adalah layak dan pasti menang.

Menurut alumnus pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen (KSI), Universitas Indonesia ini atensi masyarakat untuk memperhatikan permasalahan terkait dengan persiapan Pemilu Legislatif 2014 masih rendah. Padahal di sisi yang lain permasalahan Pemilu 2014 sangat banyak dan beragam. Masalah itu antara lain keberadaan lembaga-lembaga survei yang diakui atau tidak turut dalam mempromosikan ataupun mendegradasikan caleg, parpol ataupun capres, adanya lembaga quick count yang sudah berani mengumumkan hasil Pemilu seolah-olah sudah sah atau resmi sebelum hasil resmi dikeluarkan oleh KPU. Kemudian permasalahan DPT yang dihadapkan pada proses validasi dan verifikasi pemilih setelah Pemilu dilakukan KPU/KPUD, dimana luas wilayah Indonesia yang sangat luas ini membutuhkan minimal 550.000 TPS. Pertanyaan besarnya adalah bagaimana kita menangani logistik Pemilu dan validasinya?

Sekarang ini berpulang kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebagai penyelenggara Pemilu, KPU diharuskan menyikapi akan kehadiran lembaga survei di Tanah Air. Sudah saatnya KPU mengeluarkan syarat-syarat lembaga survei untuk bisa bergabung di Pemilu 2014, akan halnya telah dilakukan Pemilu 2009 dengan meloloskan 16 lembaga survei.

*) Amril Jambak adalah wartawan di Pekanbaru, Riau

(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads